|Pembahasan Mengenai Komunikasi Massa sebagai Faktor Perubah Budaya|
|Media komunikasi massa| baik itu cetak maupun elektronik telah mengubah budaya masyarakat tradisional ke budaya baru “modern”. Komunikasi massa memiliki fungsi untuk membangun konsep diri dan pengaktualisasian diri. Saat melakukan komunikasi lintas budaya, kemungkinan besar akan terjadi hambatan yang disebabkan oleh semantik, konotasi kata, perbedaan nada dan, perbedaan prespektif. Oleh karena itu di perlukan encoding dan decoding pesan.
Pada masa idustrialisasi mempengaruhi kompleksitasi sistem sosial masyarakat, dimana terjadi proses mekanisasi dan massifikasi faktor produksi, distribusi dan konsusmsi masyarakat. Komunikasi masyarakat tidak lagi dilihat dalam satu proses kebudayaan yang sederhana melainkan, komunitas masyarakat dilihat dari sistem budaya yang mempuyai tingkat budaya yang lebih kompleks.
Dari hal tersebut, terlihat bahwa media massa memiliki peran untuk membentuk keragaman budaya sebagai salah satu akibat dari pengaruh media terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Pada fungsi komunikasi kultural, budaya sebagai perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan dan mengembangkan budaya. “Budaya adalah komunikasi” dan Komunikasi adalah Budaya” (Edward T.Hall) dimana keduanya memiliki hubungan timbal balik. Media komunikasi massa dalam kebudayaan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ritual yang biasanya dilakukan secara kolektif. Selain itu fungsi komunikasi massa juga mengandung muatan persuasif dalam artian bahwa pembicara menginginkan pendengar untuk mempercayaai fakta informasi yang disampaikan.
Media massa juga memiliki peran penting dalam membentuk moralitas bangsa, diantaranya pembentukan jati diri generasi muda dan mengubah stuktur sosial masyarakat yang mendapat dukungan dari nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan. Diharapkan dengan berkembangnya media komunikasi massa, tidak hanya menyampaikan dan mengambil keuntungan komersial saja dari hasil komunikasi tersebut, tetapi juga harus mampu menyampaikan pesan moral yang mendidik generasi bangsa, serta berpartisipasi dalam proses pendewasaan pemikiran dan sikap dari generasi bangsa Indonesia. Dengan melalui media massa, banyak generasi muda yang memilih gaya hidup kebarat-baratan seperti cara berpenampilan, dan setiap tindakan yang dilakukan orang dewasa. Media elektroniklah utamanya,telah terbukti mempercepat proses imitasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini telah terjadi kontak sosial yang lebih luas melalui media massa. Media komunikasi massa merupakan kontak sekunder yang mana pesan dari komunikator melalui pihak ketiga yaitu media. Selain faktor subjektif dan self interesting juga berpengaruh pada pengiriman informasi sehingga banyak prespektif yang keliru, sosial budaya pun mengalami perubahan dan melenceng dari norma-norma yang telah ada. Namun banyak pula perubahan yang membawa diri kita kepada kondisi yang lebiih baik dan maju.
|Komunikasi Massa Merubah Perilaku Masyarakat |
Proses dari adanya komunikasi massa telah banyak menimbulkan pergeseran nilai-nilai serta mengubah dan mempengaruhi pola pemikiran masyarakat. Misalnya saja, dengan kehadiran internet memunculkan situs-situs baru seperti website pornografi , emai, chating, yang mana masyarakat mampu mengaksesnya dimana saja melalui ponsel yang mereka miliki. Inilah salah satu penyebab perubahan perilaku sebagai generasi muda bangsa yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma-norma yang berlaku, sehingga hilangnya ciri khas bangsa Indonesia yang ramah, santun dan berbudaya. Akan tetapi disisi lain dampak positif meluasnya komunikasi massa diantaranya, dengan adanya internet, negara kita mampu menjalin menjalin kerja sama bilateral ataupun multilateral dengan negara lain, dan selain itu juga dibidang industri juga mampu mengalami perkembangan yang pesat oleh karena sistem komunikasi yang kuat.
Dapat dikatakan bahwa, tidak ada teknologi yang mengubah suatu organisasi atau institusi dibandingakan dengan teknologi elektronika (Stephen R. Robin, 2001) sebagaimana saat ini muncul e-commerce , e-bussiness, yang menjadi bagian dari organisasi elektronik. Dengan perkembangan media komunikasi massa, kita sebagai generasi harus tetap kristis pada setiap kemajuan yang terjadi dalam media massa atau segala aspek dalam komunikasi massa.
|Komunikasi Massa sebagai Sarana Kepentingan Politik|
Berangkat dari pemikiran M. Harris (1983: 5) mengenai budaya, yang mana budaya adalah tradisi dan gaya hidup yang dipelajari dan didapatkan secara sosial oleh anggota dalam suatu masyarakat, termasuk cara berfikir, perasaan dan tindakan yang terpola dan dilakukan berulang-ulang. Begitu pula dengan budaya berpolitik yang mana komunikasi massa merupakan sarana yang paling efektif dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Baik dalam bentuk verbal ataupun non verbal. Dengan adanya media massa sebagai alat untuk menyampaikan segala keinginan yang telah dahulu di rancang, baik oleh kelompok-kelompok tertentu maupun pemerintah untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu melalui pendekatan persuasif, sehingga audiens terbius dalam ikatan pesan yang telah disampaikan dan mampu memberikan umpan balik. Seperti di ketahui bahwa tindakan komunikatif yang di lakukan oleh elite politik agar mendapatkan simpati dari khalayak. Para calon legislatif yang bertarung dalam pemilu legislatif, misalnya, tentu berharap agar kegiatan kampanye simpatik mereka, seperti pemeberian bantuan kepada korban bencana, dapat terekspos oleh media. Setelah terekspos media, dimana mereka mengharapkan agar khalayak bersimpati sehingga kemudia masyarakat memilihnya.
Menurut Brian McNair, membagi tiga prespektif dalam kajian tentang pengaruh komunikasi massa dalam perpolitikan. Pertama, prespektif yang melihat bahwa kegiatan komunikasi politik oleh elite politik dirancang dengan tujuan yang jelas, seperti orasi para elit epolitik, advetorial kegiatan elite politik maupun iklan para elite politik, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Dalam prespektif yang pertama ini juga dapat di bagi lagi menjadi tingkat mikro, yang menekankan pada individu yang menjdai komunikan dari pesan politik, serta tingkat makro yang lebih berfokus ketika respons khalayak diagregasikan ke dalam bentuk polling opini publik. Dan dari hasil polling inilah yang mengindikasikan keinginan politik secara kolektif. Kedua, melihat proses politik dalam masyarakat demokratis, baik dalam ranah prosedur maupun praktek, sebagai hasil implikasi dari kebangkitan komuniksi politik. Ketiga mengeksplorasi implikasi sistemik dari kebangkitan komunikasi politik,terutama setelah kapitalisme menjadi ideologi yang paling berkembang.
Dalam kegiatan komunikasi, elite poltik menggunakan berbagai metode, mulai dari konferensi pers, talk show di radio dan televisi, maupun berupaya agar kegiatannya terliput dalm berbagai pemberitaan. Motif melatari pemilihan iklan sebagai media dalam proses komunikasi politik adalah keyakinan bahawa ilkan memiliki efek yang kuat dalam mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Dengan membuat iklan politik, para elite politik sangat mengharapkan untuk mendapatkan simpati dari khalayak. Alasan lain pemilihan iklan sebagai media komunikasi politik adalah iklan memungkinkan para elite politik menentukan pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak. Riset yang dilakukan oleh Bates dan Diamond menunjukan bahwa iklan politik lebih bisa dianalisis dengan menggunakan teori Use and gratifications. Teori Use and gratifications menyatakan bahwa bukan hanya media yang semata-mata mempengaruhi khalayak, akan tetapi khalayaklah yang menentukan yang menentukan pilihan dan selera media, yang mana iklan politik sangat dipengaruhi oleh sikap politik dari khalayak. Demikian juga dengan citra seorang elite politik telah terbentuk dalam benak khalayak, maka iklan politik akan sulit mengubahnya. Dan disinilah kemudian memunculkan peran komunikasi massa, menggunakan peran humas dalam komunikasi politik, memiliki peran yang penting untuk membangun citra elite politik. Akitivitas kehumasan dalam komunikasi politik di mata khalayak akan terlihat lebih “alami” dalam membangun simpati khalayak, berbeda dengan iklan politik yang dari awal akan selalu dianggap berpihak oleh khalayak. Sebagai contoh, keberhasilan Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden secara langsung dua kali berturut-turutt, di tahun 2004 dan 2009, tidak terlepas dari citra yang telah terbangun atas sosok dirinya sebagai presiden yang cakap. Disatu sisi pada saat pemilu 2009, berbagai iklan politik yang menyerang (attacking advertising) kebijakannya. Namun ternyata, dalam pemilu 2009 rakyat tetap memilih Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Citra yang telah terbangun dan melekat pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tidak mudah dijatuhkan dengan ikan politik. Para pendukung Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu 2009 juga tidak kalah dalam pendanaan kampaye, yang telah memiliki modal citra ini, dengan mudah memperkuat citranya melalui iklan politik yang mereka ekspos di berbagai media. Realitas politik dewasa ini membuktikan bahwa iklan politik lebih mudah mengukuhkan sikap dan perilaku politik khalayak yang terlah terbentuk sebelumnya daripada mengubah sikap dan perilaku politik khalayak tersebut. Akan tetapi komunikasi massa, menggunakan iklan politik masih dilihat sebagai pilihan realistis dari elite politik karena telah membudaya dalam kehidupan para elite politik, terutama para kandidat, dalam meraup simpati dan dukungan publik.
|Media Massa dan Pemasaran Politik|
Kebiasaan yang telah menjadi budaya elite politik adalah menganggap iklan sebagai media yang efektif dalam mengkomunikasikan ide, terutama dalam konteks menjual produk dan jasa kepada konsumen. Dalam ranah komunikasi bisnis ataupun dalam komunikasi pemasaran iklan dipercaya mampu mempengaruhi keputusan khalayak utuk membeli produk yang diiklankan. Hal demikian juga terjadi dalam iklan politik. Iklan politik yang dibuat oleh partai politik pada saat menjelang pemilihan umum dengan mudah di anggap sebagai propaganda partai untuk mendapatkan dukungan dari khalayak. Iklan politik dianggap sebagai propaganda karena iklan politik merupakan bujuk rayu dari pemasangannya pada khalayak serta ajakan untuk memilih partai politik yang bersangkutan. Kelemahan iklan adalah aktivitas periklanan dianggap sebagai ‘propaganda’, bias dan parsial. Iklan politik dianggap sebagai bias karena merefleksikan sikap yang bersifat satu sisi, yaitu sikap yang berasal dari partai politik dari partai poltik yang menguasai pemerintahan yang berasal dari opososo selalu menampilkan sisi kegagalan dari pemerintah.
Hal ini memperlihatkan bahwa iklan politik itu bersifat parsial. Kelemahan iklan politik inilah yang mendorong kemunculan pandangan bahwa bentuk komunikasi yang lain lebih efektif. Untuk membangun komunikasi politik di luar jalur iklan politik, seperti yang di lakukan beberapa partai politik pada saat terjadi bencana alam di Yogyakarta mereka berbondong- bondong datang ke lokasi untuk membangun pos pengungsian yang di kelola oleh partai politik. Tentu saja, motif partai politik ada dua; Pertama, partai politik berusaha meraih simpati dari korban bencana dengan cara datang langsung ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan. Kedua, partai politik berusaha meraup simpati khalayak yang lebih luas di luar wilayah bencana dengan memasang atribut partai politik ketika menyalurkan bantuan. Ketika partai politik sedang menyalurkan bantuan di lokasi bencana tertayang oleh media televisi, partai politik tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan ruang pemberitaan. Ini berkebaliakn ketika partai politik menayangkan iklan di media televisi yang memerlukan biaya besar untuk membeli spot iklan. Aktivitas yang di lakukan partai politik di lokasi bencana dan terliput oleh media massa inilah yang disebut sebagai media bebas.
Sumber:
Junaedi, Fajar. 2013. Komunikasi Politik, Aplikasi dan Strategi di Indonesia, Yogyakarta: Buku Litera.
Gambar. Komunikasi Massa sebagai Faktor Perubah Budaya
0 comments:
Post a Comment