Pendidikan Multikultural Pembentuk Karakter Keindonesiaan

Posted by


Pendidikan Multikultural  Pembentuk Karakter Keindonesiaan

Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang mendiami setiap pulau memiliki cirikhas yang berbeda-beda. Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan. 

Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa yang satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika yang sering dimaknai sebagai ‘berbeda-beda tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala perbedaan tersebut. 

Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia. 

Latar belakang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara variabel pendidikan multikultural dan karakter keindonesiaan. Input pendidikan yang beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal membentuk karakter keindonesiaan haruslah menjadi tujuan bersama. Hal ini tampaknya merupakan kemutlakan karena setelah munculnya regulasi otonomi daerah pada tahun dua ribuan, semangat kedaerahan menjadi primordial yang berdampak lunturnya jiwa nasionalisme. 

Beberapa analis dalam konggres kebudayaan di Jawa Timur akhir 2010 lalu bahkan sempat merisaukan apakah Indonesia masih ada setelah 2028 nanti. Rasionalisasi mereka dilatarbelakangi oleh realitas bahwa solidaritas warga bangsa sebagai kesatuan bangsa kian lama luntur oleh semangat desentralisasi yang sesungguhnya tujuan utamanya menyejahterakan rakyat daerah dengan tetap menjunjung tinggi berbangsa satu bangsa Indonesia. Memahami kegamangan ini, makalah ini mengungkap dua masalah utama. Kedua masalah tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimanakah konsep pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Kedua, bagaimanakah konsep pendidikan multikultural yang berbasis karakter keindonesiaan.

Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa. 

Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan komunitas dunia.

Kuper (2000) sebagaimana dikutip Pupu Saeful Rahmat menyepadankan pendidikan multikultural dengan pendidikan multibudaya. Gelombang pendidikan multibudaya dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Secara teknis pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh Banks (1993). Banks mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apa pun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Hak-hak hidup bersama dan memeroleh penghidupan yang layak sebagai warga dunia juga menjadi perhatian dalam konsep pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik tolak Nieto (1992) dalam melihat perspektif pendidikan multikultral. Nieto menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Konsep-konsep pendidikan multkultural yang dikembangkan pakar dunia tersebut telah diadopsi oleh para pakar pendidikan di Indonsia yang konsen terhadap persoalan pluralisme. Parsudi Suparlan, pakar ilmu sosial dari UI, menjelaskan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja, pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah bergaung sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita, sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.

Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.

Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan. 

Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Keindonesiaan
Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano (2011:22) menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan 

Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai warga bangsa. 

Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 

Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain. 

Dalam rangka terbentuknya karakter keindonesiaan itu, penanaman nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air merupakan hal yang urgen. Nilai semangat kebangsaan dideskripsikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Nilai cinta tanah air dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Dua nilai inilah sebagai basik karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan dalam konteks ini didefinisikan sebagai karakter manusia Indonesia yang membedakan dengan manusia bangsa lain sebagai perwujudan eksistensi diri dan citra diri bangsa Indonesia. Pengertian ini dalam kata kunci dapat diringkas sebagai ’karakter nasionalis’.

Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan kebudayaan, aktivitas dan proses pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama, ras, suku, dan budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita sama-sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar agama mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia?

Karakter keindonesiaan melalui penanaman nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan penanaman sikap kepada peserta didik dalam bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. 

Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar (2003:173) menyatakan bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusia-manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri, lingkungan, dan realitas yang majemuk. Pendidikan multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin, 2005:4). Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman lainnya. Dalam mengembangkan pendidikan multikultural tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. 

Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural keiindonesiaan. Pertama, pendidikan multikultural sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa merupakan hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan. 

Kedua, pendidikan multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian dan konflik antaretnis dapat dihindarkan karena perasaan satu bangsa. Pendidikan multikultural bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan kelompok lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan hal penting untuk ditumbuhkembangkan sebagai jembatan jiwa nasionalisme. 

Ketiga, pendidikan multikultural dikembangkan secara integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh isi pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran lainnya. 

Keempat, pendidikan multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk perubahan sikap melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian, pembelajaran harus berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran partisipatoris. 

Kelima, pendidikan multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama, etnis, dan suku yang ada. Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus menjadi tujuan bersama pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keberagaman dalam lingkup kelompoerek sosial masyarakat, negara, dan dunia.


Referensi
Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education: An Introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education: Digest. 
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan             Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 5:24 AM

0 comments:

Post a Comment