A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kebutuhan primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendidikan, disamping bidang yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dan berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu dari sekian banyak masalah di era global yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas hasil pendidikan (Suyanto, 2007). Adanya kebijakan sertifikasi guru adalah salah satu upaya nyata Pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar guru sebagai aktor utama dalam pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya dapat meningkatkan kompetensinya.
Seorang guru penting untuk menciptakan paradigma baru untuk menghasilkan praktik terbaik dalam proses pembelajaran (Carolin Rekar Munro, 2005). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran tuntutan hasil pendidikan yang berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka gurulah yang harus berperan mewujudkan harapan itu. Guru harus selalu mengembangkan diri, baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang studi maupun pedagogik, termasuk penggunaan internet dalam mencari informasi terkini (Kok Siang Tang, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia, 2006).
Ronald Brandt (1993) menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan, seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode pembelajaran baru akhirnya tergantung kepada guru. Tanpa guru yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi belajar-mengajar, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti seorang guru tidak hanya diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, tetapi juga menguasai strategi belajar-mengajar.
Saat ini dunia pendidikan telah banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan menghadirkan strategi/model pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya mengga-irahkan minat belajar peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar. Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui model-model pembelajaran, baik jenisnya maupun cara penerapannya.
B. PEMBAHASAN1. Kondisi Pendidikan Negara Kita
Seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan, seperti perubahan dari teacher centered ke student centered; diterimanya pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang inovatif; munculnya kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat berbagai cara dan media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya pada pengembangan sumber daya manusia (human resources development), tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development); diperkenalkannya e-learning; dependence ke indepen-dence; individual ke team work oriented; dan large group ke small class.
Namun demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan pada student centered. Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemungkinan besar disebabkan banyaknya materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataan-nya materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.
Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud.
2. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model pembela-jaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.
Seorang guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.
3. Beberapa Model Pembelajaran
a. Model pembelajaran berbasis SCL
Ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan pada saat ini yang berbasis pada Student Centered Learning (SCL). Model SCL sangat digemari karena berbagai alasan, diantaranya:
1) diterimanya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran;
2) adanya pergeseran paradigma pengajaran ke pembelajaran;
3) adanya pergeseran dari teacher oriented ke student oriented;
4) adanya pergeseran dari orientasi hasil ke proses pembelajaran;
5) diterimanya konsep pendidikan sepanjang hayat;
6) diterimanya konsep multiple intelligence;
7) semakin mudah dan murahnya akses informasi melalui jaringan dan perangkat TI;
8) tersedianya buku-buku referensi yang mudah diperoleh.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendidikan, disamping bidang yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dan berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu dari sekian banyak masalah di era global yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas hasil pendidikan (Suyanto, 2007). Adanya kebijakan sertifikasi guru adalah salah satu upaya nyata Pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar guru sebagai aktor utama dalam pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya dapat meningkatkan kompetensinya.
Seorang guru penting untuk menciptakan paradigma baru untuk menghasilkan praktik terbaik dalam proses pembelajaran (Carolin Rekar Munro, 2005). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran tuntutan hasil pendidikan yang berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka gurulah yang harus berperan mewujudkan harapan itu. Guru harus selalu mengembangkan diri, baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang studi maupun pedagogik, termasuk penggunaan internet dalam mencari informasi terkini (Kok Siang Tang, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia, 2006).
Ronald Brandt (1993) menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan, seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode pembelajaran baru akhirnya tergantung kepada guru. Tanpa guru yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi belajar-mengajar, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti seorang guru tidak hanya diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, tetapi juga menguasai strategi belajar-mengajar.
Saat ini dunia pendidikan telah banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan menghadirkan strategi/model pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya mengga-irahkan minat belajar peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar. Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui model-model pembelajaran, baik jenisnya maupun cara penerapannya.
B. PEMBAHASAN1. Kondisi Pendidikan Negara Kita
Seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan, seperti perubahan dari teacher centered ke student centered; diterimanya pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang inovatif; munculnya kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat berbagai cara dan media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya pada pengembangan sumber daya manusia (human resources development), tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development); diperkenalkannya e-learning; dependence ke indepen-dence; individual ke team work oriented; dan large group ke small class.
Namun demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan pada student centered. Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemungkinan besar disebabkan banyaknya materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataan-nya materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.
Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud.
2. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model pembela-jaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.
Seorang guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.
3. Beberapa Model Pembelajaran
a. Model pembelajaran berbasis SCL
Ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan pada saat ini yang berbasis pada Student Centered Learning (SCL). Model SCL sangat digemari karena berbagai alasan, diantaranya:
1) diterimanya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran;
2) adanya pergeseran paradigma pengajaran ke pembelajaran;
3) adanya pergeseran dari teacher oriented ke student oriented;
4) adanya pergeseran dari orientasi hasil ke proses pembelajaran;
5) diterimanya konsep pendidikan sepanjang hayat;
6) diterimanya konsep multiple intelligence;
7) semakin mudah dan murahnya akses informasi melalui jaringan dan perangkat TI;
8) tersedianya buku-buku referensi yang mudah diperoleh.
Perlu diingat bahwa sebaik apapun model pembelajaran tersebut secara teoretik, tetapi keberhasilannya dalam membantu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik sangat tergantung pada kepiawaian guru dalam menerapkannya. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran yang efektif termasuk di dalam-nya memilih model pembelajaran (Aleks Masyunis, 2000). Guru memberikan warna dan nilai terhadap model yang diterapkan.
Berikut ini akan disajikan beberapa contoh model pembelajaran yang berbasis pada SCL. Contoh suatu model tidak harus ditiru 100% oleh guru, tetapi guru melakukan modifikasi sesuai dengan karakteristik peserta didik dan fasilitas yang tersedia di sekolah. Dengan demikian penerapan model pembelajaran tidak membatasi kreativitas guru dalam menjalankan tugasnya, tetapi tetap mampu mengikuti perkembangan dunia pendidikan yang digelutinya.
Berbicara mengenai proses pembelajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar. Mengapa demikian? Ya, karena kenyataan menunjukkan banyak peserta didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi mereka tidak memahaminya. Sebagian peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan. Selain itu, peserta didik kesulitan memahami konsep yang diajarkan hanya dengan metode ceramah, apalagi jika konsep yang diajarkan sangat abstrak. Padahal mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masya-rakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi peserta didik dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat:
1) Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai.
2) Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat digunakan di luar kelas.
3) Mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative).
Hal itulah yang merupakan jiwa dan inti pokok dari penerapan model pembelajaran berbasis SCL.
b. Model pembelajaran berbasis pendekatan CTL
Pendekatan CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penera-pannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questinoning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Johnson, 2002).
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual peserta didik, maka untuk dapat meng-implementasikan pembelajaran kontekstual guru seharusnya:
Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
Menggunakan teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran peserta didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
1) Pembelajaran aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat dikomunikasikan dan ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya perubahan pembelajaran dari teacher centered ke student centered. Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu, tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagaimanapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesungguhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menantang kepada anak didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menyelesaikan materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu bertambah dari hari ke hari.
2) Pembelajaran inovatif dan kreatif
Setiap manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan.
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau mengemukakan gagasan/ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada satu gagasan/ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenaran, banyak membaca artikel penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan/ide yang berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan. Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan orang yang berpikir kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha menjelaskan/menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Guru yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
3) Pembelajaran efektif
Efektif memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan, anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
4) Pembelajaran menyenangkan (joyful learning)
Saat ini di berbagai negara sedang trend dan semangat mengembangkan joyful learning dan meaningful learning, yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagaimana niat dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah dasar di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menyenangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Keadaan ini dapat diatasi apabila guru mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat/gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan relaksasi.
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar di kepala kita. Melalui joyful learning diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Seperti diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna (multicolour), lucu, multisensorik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama/ musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan, atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai materi yang diajarkan.
d. Model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berbasis lingkungan
Ketiadaan alat dan bahan praktik sering menjadi kendala tidak dilakukannya metode praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk praktikumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan kreativitas guru IPA dalam mencari alternatif bahan dan alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap dapat dilaksanakan. Dengan demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan alat yang dengan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Metode praktikum sangat dianjurkan dalam pembelajaran IPA, karena sesuai dengan tujuan pendidikan yang meliputi 3 aspek, yaitu mengembangkan pengetahuan, menanamkan sikap ilmiah, dan melatih keterampilan. Melalui praktikum peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang suatu konsep, sebab mereka melaku-kan dan melihat sendiri.
Salah satu wujud nyata peningkatan profesional guru adalah kemampuan guru dalam menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan nuansa dan esensi kurikulum yang berlaku. Salah satunya adalah pendekatan kontekstual yang mengharuskan guru mengaitkan materi ajar dengan dunia nyata peserta didik, sehingga peserta didik memiliki transfer of knowledge dan transfer of value di lingkungan keluarga dan masyarakat.
e. Model pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivistik
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman/pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi/bentukan manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan guru dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
1) Menyajikan masalah-masalah aktual kepada peserta didik dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka
2) Menekankan pembelajaran di sekitar konsep-konsep primer
3) Mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan sendiri
4) Mengkondisikan peserta didik berani menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya sendiri.
5) Menantang peserta didik agar dapat melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar penyelesaian tugas melalui pertanyaan yang menantang.
6) Menganjurkan peserta didik belajar dalam kelompok
7) Melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam konteks pembelajaran.
C. PENUTUP
Guru adalah profesi yang sangat mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa dituntut untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menye-babkan anak didik kecanduan belajar. Hidup ini penuh pilihan, semoga pilihan kita sebagai guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk surga (Amiiin).
Sumber
Aleks Masyunis. (2000). Strategi kualitas pendidikan MIPA di LPTK. Makalah pada Seminar Nasional FMIPA UNY tanggal 22 Agustus 2000.
Ball, D. L. (1988). Unlearning to teach mathematics. East Lansing : Michigan State University, National Center for Research on Teacher Education.
Brandt, Ronald. (1993). What do you mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.
Canella & Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered learners. Teacher Education Quarterly, 21(3), 27-28.
Carolin Rekar Munro. (2005). “Best Practices” in teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat citra dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning. California: A Sage Publications Company, Corwin Press, Inc.
Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia. (2006). Bridging the cognitive – affective gap : teaching chemistry while advancing affective objectives. Journal of Chemical Education. 83 (1), 59 – 63.
Mel Silberman. (2002). Active learning : 101 Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta : Yappendis.
Berikut ini akan disajikan beberapa contoh model pembelajaran yang berbasis pada SCL. Contoh suatu model tidak harus ditiru 100% oleh guru, tetapi guru melakukan modifikasi sesuai dengan karakteristik peserta didik dan fasilitas yang tersedia di sekolah. Dengan demikian penerapan model pembelajaran tidak membatasi kreativitas guru dalam menjalankan tugasnya, tetapi tetap mampu mengikuti perkembangan dunia pendidikan yang digelutinya.
Berbicara mengenai proses pembelajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar. Mengapa demikian? Ya, karena kenyataan menunjukkan banyak peserta didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi mereka tidak memahaminya. Sebagian peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan. Selain itu, peserta didik kesulitan memahami konsep yang diajarkan hanya dengan metode ceramah, apalagi jika konsep yang diajarkan sangat abstrak. Padahal mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masya-rakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi peserta didik dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat:
1) Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai.
2) Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat digunakan di luar kelas.
3) Mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative).
Hal itulah yang merupakan jiwa dan inti pokok dari penerapan model pembelajaran berbasis SCL.
b. Model pembelajaran berbasis pendekatan CTL
Pendekatan CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penera-pannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questinoning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Johnson, 2002).
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual peserta didik, maka untuk dapat meng-implementasikan pembelajaran kontekstual guru seharusnya:
Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
Menggunakan teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran peserta didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
- Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (contructivism).
- Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengeta-huan dan keterampilan melalui penemuan sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).
- Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
- Menciptakan masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar peserta didik.
- Memodelkan (modelling) sesuatu agar peserta didik dapat menirunya untuk memper-oleh pengetahuan dan keterampilan baru.
- Mengarahkan peserta didik untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
- Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).
1) Pembelajaran aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat dikomunikasikan dan ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya perubahan pembelajaran dari teacher centered ke student centered. Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu, tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagaimanapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesungguhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menantang kepada anak didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menyelesaikan materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu bertambah dari hari ke hari.
2) Pembelajaran inovatif dan kreatif
Setiap manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan.
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau mengemukakan gagasan/ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada satu gagasan/ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenaran, banyak membaca artikel penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan/ide yang berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan. Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan orang yang berpikir kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha menjelaskan/menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Guru yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
3) Pembelajaran efektif
Efektif memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan, anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
4) Pembelajaran menyenangkan (joyful learning)
Saat ini di berbagai negara sedang trend dan semangat mengembangkan joyful learning dan meaningful learning, yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagaimana niat dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah dasar di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menyenangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Keadaan ini dapat diatasi apabila guru mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat/gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan relaksasi.
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar di kepala kita. Melalui joyful learning diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Seperti diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna (multicolour), lucu, multisensorik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama/ musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan, atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai materi yang diajarkan.
d. Model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berbasis lingkungan
Ketiadaan alat dan bahan praktik sering menjadi kendala tidak dilakukannya metode praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk praktikumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan kreativitas guru IPA dalam mencari alternatif bahan dan alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap dapat dilaksanakan. Dengan demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan alat yang dengan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Metode praktikum sangat dianjurkan dalam pembelajaran IPA, karena sesuai dengan tujuan pendidikan yang meliputi 3 aspek, yaitu mengembangkan pengetahuan, menanamkan sikap ilmiah, dan melatih keterampilan. Melalui praktikum peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang suatu konsep, sebab mereka melaku-kan dan melihat sendiri.
Salah satu wujud nyata peningkatan profesional guru adalah kemampuan guru dalam menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan nuansa dan esensi kurikulum yang berlaku. Salah satunya adalah pendekatan kontekstual yang mengharuskan guru mengaitkan materi ajar dengan dunia nyata peserta didik, sehingga peserta didik memiliki transfer of knowledge dan transfer of value di lingkungan keluarga dan masyarakat.
e. Model pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivistik
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman/pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi/bentukan manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan guru dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
1) Menyajikan masalah-masalah aktual kepada peserta didik dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka
2) Menekankan pembelajaran di sekitar konsep-konsep primer
3) Mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan sendiri
4) Mengkondisikan peserta didik berani menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya sendiri.
5) Menantang peserta didik agar dapat melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar penyelesaian tugas melalui pertanyaan yang menantang.
6) Menganjurkan peserta didik belajar dalam kelompok
7) Melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam konteks pembelajaran.
C. PENUTUP
Guru adalah profesi yang sangat mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa dituntut untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menye-babkan anak didik kecanduan belajar. Hidup ini penuh pilihan, semoga pilihan kita sebagai guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk surga (Amiiin).
Sumber
Aleks Masyunis. (2000). Strategi kualitas pendidikan MIPA di LPTK. Makalah pada Seminar Nasional FMIPA UNY tanggal 22 Agustus 2000.
Ball, D. L. (1988). Unlearning to teach mathematics. East Lansing : Michigan State University, National Center for Research on Teacher Education.
Brandt, Ronald. (1993). What do you mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.
Canella & Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered learners. Teacher Education Quarterly, 21(3), 27-28.
Carolin Rekar Munro. (2005). “Best Practices” in teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat citra dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning. California: A Sage Publications Company, Corwin Press, Inc.
Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia. (2006). Bridging the cognitive – affective gap : teaching chemistry while advancing affective objectives. Journal of Chemical Education. 83 (1), 59 – 63.
Mel Silberman. (2002). Active learning : 101 Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta : Yappendis.
0 comments:
Post a Comment