A. PENDAHULUAN
Penelitian survey merupakan salah satu jenis penelitian deskriptif yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu mendeskripsikan keadaan alami saat ini, mengi-dentifikasi secara terukur keadaan sekarang untuk dibanding-kan, dan menentukan hubungan sesuatu yang hidup diantara kejadian spesifik. Model penelitian survey diyakini sebagai model yang paling baik dalam memperoleh dan mengumpulkan data asli (original data) yang mampu mendes-kripsikan keadaan populasi (Sukardi, 2004).
Namun demikian, untuk melaksanakan penelitian survey ada sedikitnya tiga persyaratan minimal yang harus dipenuhi, yaitu tujuan yang harus tepat, populasi sasaran yang menjadi pusat kegiatan penelitian, dan sumber biaya yang mencukupi. Secara umum, persyaratan yang nomor tiga adalah yang paling sulit dipenuhi. Sedangkan menurut Isaac dan Michael (1983), ada empat persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan penelitian dengan metode survey, yaitu rencana penelitian yang sistematis, populasi yang representatif, data dapat dieksplorasi secara eksplisit dan objektif, dan data dapat diekspresikan secara kuantitatif. Persyaratan-persyaratan tersebut dimaksudkan agar data yang diper-oleh dalam survey benar-benar akurat, objektif, dan dapat diandalkan. Dengan kata lain, validitas dan reliabilitas penelitian benar-benar meyakinkan.
Peningkatan validitas dan reliabilitas penelitian merupakan bagian penting dari persoalan yang berkaitan dengan perlunya usaha-usaha dalam meningkatkan ketepatan dalam penelitian di bidang pendidikan, yaitu persoalan yang berhubung-an dengan analisis kebijakan dan evaluasi. Seringkali kita mengadakan sebuah penelitian tanpa menyusun validitas, misalnya validitas yang berkaitan dengan berapa jumlah responden yang bisa menginterpretasikan masalah yang kita teliti, sehingga kualitas data yang kita kumpulkan menyisakan suatu pertanyaan atau menjadi kurang valid.
Penelitian survey biasanya menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk mengumpulkan data. Seperti diketahui, bahwa penggunaan kuesioner seba-gai instrumen pengumpul data memiliki banyak kelemahan, seperti jawaban res-ponden yang asal-asalan, responden cenderung menjawab pertanyaan survey sesuai yang diinginkan secara sosial (Burstein dkk., 1995), responden menjawab apa yang seharusnya bukan apa yang sebenarnya, bila ada pertanyaan yang membingungkan cenderung menjawab asal-asalan atau dikosongkan. Kelemahan-kelemahan tersebut menyebabkan instrumen menjadi tidak valid.
Sebagian besar responden yang menjadi sampel dari penelitian survey mengeluhkan banyaknya pertanyaan dalam kuesioner yang kadang-kadang tidak jelas maksudnya, bermakna ganda, atau mengandung istilah yang tidak lazim digunakan oleh kebanyakan. Semua itu menyebabkan kesalahpahaman dan kesalahan persepsi responden terhadap pertanyaan dan akhirnya respon yang diberikan tidak sesuai dengan yang diinginkan peneliti. Selain itu, survey yang menggunakan kuesioner dipandang tidak dapat menggambarkan hasil secara mendalam sebagaimana yang dihasilkan teknik wawancara dan observasi. Oleh karena itu, suatu penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpul data biasanya mengkombinasikan dengan metode wawancara dan observasi untuk melengkapi data atau memback-up data yang diperoleh melalui kuesioner. Dengan kata lain, kombinasi antara kuesioner – wawancara – observasi bertujuan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas pengukuran.
Sehubungan dengan hal itu, ada satu metode yang terbukti mampu meningkatkan kualitas survey dengan memfokuskan pada peningkatan validitas dan reliabilitas pengukuran, serta memperkecil bias dan kesalahan pengukuran, yaitu dengan metode wawancara kognitif (Mayer, 1999). Metode ini efektif dalam meninjau ulang pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Wawancara kognitif dapat menjadi metode yang berguna untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas penelitian dalam bidang pendidikan. Termasuk contoh untuk mengilus-trasikan kompleksitas yang dihadapi ketika mendesain penelitian berskala besar yang bertujuan untuk menjawab permasalahan kebijakan pendidikan dan pan-dangan substantif yang keduanya dapat diperoleh dengan menggunakan metode wawancara kognitif.
B. PEMBAHASAN
Wawancara kognitif merupakan sebuah metode yang memungkinkan adanya analisis mendalam dari setiap butir-butir pertanyaan. Wawancara kognitif menguji validitas respon verbal yang muncul dari proses pemikiran responden (Conrad & Blair, 1996, Blair & Presser, 1993); wawancara ini memiliki dasar teori kognitifnya Herbert Simon dan koleganya (Ericsson & Simon, 1980). Meskipun wawancara kognitif telah banyak digunakan dalam berbagai macam penelitian, seperti psikologi dan kesehatan (Nisbett & Wilson, 1997), tapi metode ini tidak digunakan dalam penelitian pendidikan.
Metode wawancara kognitif merupakan sebuah pendekatan khusus yang efektif dalam menghindari penyimpangan yang paling mungkin muncul yang dapat mempengaruhi validitas survey (Biemer, dkk., 1991). Penyebab utama dari banyaknya penyimpangan terhadap validitas berasal dari fenomena kompleks yang sekarang ini sedang dikaji para peneliti dalam suatu instrumen penelitian, seperti kemungkinan jawaban responden dalam sebuah wacana sosial yang sangat diharapkan, atau resiko bagi seorang responden yang dengan ketidaktahuannya memberikan tanggapan yang menyesatkan. Wa-wancara kognitif membantu melawan kemungkinan penyimpangan tersebut.
Wawancara kognitif merupakan cara mengungkap alasan-alasan yang dikemukakan oleh para responden, mengidentifikasikan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengabaikan gagasan kritis atau yang mewakili pandangan yang kurang pas / menyesatkan terhadap topik yang mendasari pertanyaan tersebut. Dengan memberikan kesempatan untuk menggali pemahaman responden terhadap perta-nyaan yang diinginkan, maka perancang penelitian dapat mempelajari apakah ada suatu pemahaman yang rumit atau tumpang tindih atas gagasan pokok dan kerangka berpikir konseptual penelitian ini. Kalau ada, maka pertanyaan tersebut harus segera direvisi. Bila responden salah paham terhadap pertanyaan yang ditanyakan yang berakibat salah dalam merespon, dapat terdeteksi melalui metode wawancara kognitif.
Wawancara kognitif menjadi sebuah metode yang sangat berguna dalam pengujian tingkat validitas dan reliabilitas suatu penelitian dengan menguji penga-laman para responden. Rancangan teori dari wawancara kognitif berdasarkan 4 macam tingkat proses pemikiran terhadap respon (Tourangeau, 1984; Willis dkk, 1991). Menurut jenis ini, seorang responden harus memiliki 4 fase dalam proses kognitif, yaitu (a) memahami sebuah pertanyaan, (b) memperoleh kembali informasi yang relevan, (c) membuat penilaian berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dan (d) memetakan jawaban melalui sistem laporan. Analisa yang mendalam dari data yang berasal dari wawancara memungkinkan pertanyaan dapat dimodifikasikan ke dalam format yang paling efektif untuk penelitian.
Wawancara “yang menuntut para respondennya untuk berpikir keras” merupakan komponen penting dalam teknik wawancara kognitif, dimana selama wawancara berlangsung para responden menggunakan proses pemikiran mereka dalam memberikan jawaban. Para responden dalam hal ini dapat mengomentari apa yang terdapat pada butir-butir pertanyaan yang diajukan, apa yang jelas dan akurat, apa yang ambigu dan janggal, dan apa yang belum tercakup dalam butir tersebut. Setelah melengkapi sebuah butir perta-nyaan, para responden dimintai keterangan melalui beberapa pertanyaan yang telah didesain untuk mendapatkan informasi yang dapat mengukur sejauhmana respon-den memahami butir pertanyaan sebagaimana yang diinginkan oleh pewawancara. Berikut ini beberapa contoh wawancara kognitif :
Contoh 1
Pewawancara :
Apakah menurut Anda penerapan metode kimia realistik efektif dalam mening-katkan prestasi belajar siswa ?
Guru :
“Apa yang dimaksud dengan metode kimia realistik itu ? Saya belum pernah mendengar. Bisakah Anda menjelaskan gambaran tentang metode tersebut pada saya ?
Pewawancara :
Mengapa Anda tidak menjawab seperti apa yang Anda lakukan ketika mendapat pertanyaan ini melalui kuesioner ?
Guru :
Ketika itu saya hanya menjawab berdasarkan pemahaman kata realistik yang ada di ditu, tetapi sebenarnya saya tidak memahami metode tersebut. Apakah yang Anda maksud dengan metode kimia realistik itu sama dengan metode praktikum ?.
Pewawancara :
O, bukan. Metode kimia realistik tidak sama dengan praktikum, karena pada metode kimia realistik menyajikan materi dengan memberikan contoh fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata siswa-siswanya. Baiklah, tidak apa-apa. Justru sekarang kami menjadi tahu bahwa sebenarnya pertanyaan kemarin perlu diberi penjelasan. Terima kasih, masukan Anda dapat kami gunakan untuk memperbaiki kuesioner yang kami buat.
Contoh 2
Pewawancara :
Apakah rencana pembelajaran yang Anda buat membantu dalam mencapai standar kompetensi ?
Guru :
Apakah fokus pertanyaan Anda sejauhmana rencana pembelajaran membantu saya dalam mencapai standar kompetensi atau kompetensi dasar ? Saya agak bingung, karena rencana pembelajaran mungkin hanya untuk mencapai 1 – 2 kompetensi dasar yang merupakan bagian dari standar kompetensi. Namun yang jelas, ketika saya membuat rencana pembelajaran, saya pasti mengacu pada kompetensi dasar dan standar kompetensi yang ada dalam kurikulum. Akan tetapi bagaimana rencana pembelajaran dapat “membantu” mencapai standar kompetensi, saya tidak dapat menjelaskan hubungannya secara jelas. Namun secara tegas saya katakan, saya selalu menggunakan rencana pembelajaran dalam setiap pembelajaran dan itu membantu saya dalam mengimplementasikan kurikulum. Jadi jawaban saya untuk anda adalah “Ya, rencana pembelajaran sangat membantu.”
Pewawancara :
Penjelasan yang Anda berikan sangat membantu kami untuk merevisi pertanyaan dalam kuesioner tersebut.
Contoh 1 menunjukkan bahwa ada istilah atau sesuatu yang belum lazim / banyak dikenal oleh responden yang terdapat dalam suatu butir pertanyaan dalam survey yang tidak dipahami dengan baik oleh responden. Bila survey ini tidak menggunakan metode wawancara kognitif, maka kemungkinan besar pensurvey tidak akan memperoleh data sama sekali atau data yang ada tidak valid karena sebenarnya responden asal dalam menjawab. Dengan wawancara kognitif hal ini tidak akan terjadi, karena ada revisi pertanyaan berdasarkan komentar atau masukan dari responden, sehingga dari pertanyaan yang direvisi pensurvey dapat melakukan wawancara ulang. Sedangkan contoh 2 menunjukkan konfirmasi yang dilakukan responden atas pertanyaan yang sulit dipahami, sehingga responden bisa saja salah dalam menjawab. Namun dengan adanya wawancara kognitif, kesalah-pahaman responden dapat teratasi, dan pensurvey memperoleh masukan yang berharga untuk merevisi pertanyaan tersebut.
Hasil yang diperoleh dari wawancara kognitif memberikan cukup bukti bahwa kita dapat meningkatkan validitas butir pertanyaan dalam sebuah survey dengan cara mengidentifikasi kesalahan para responden dalam memberikan respon atau jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan responden dalam menginterpretasi-kan pertanyaan tersebut, mengidentifikasi pengabaian informasi penting oleh responden, mengidentifikasi kesimpulan-kesimpulan keliru yang dibuat oleh responden akibat dari cara mereka yang memetakan ingatan yang tidak ada hubungannya dengan butir pertanyaan, atau dengan memperkecil kemungkinan adanya bias respon yang secara sosial dikehendaki oleh responden. Secara keseluruhan, hal-hal yang berkaitan dengan kognitif memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada validitas butir pertanyaan yang dianalisa dengan cara mengidentifikasi kesalahan dalam melakukan survey (Schwartz & Sudman, 1996).
Adapun langkah penerapan metode wawancara kognitif adalah : setiap responden diwawancarai selama 2 jam dengan menjawab beberapa butir perta-nyaan yang melibatkan proses “berpikir keras” dan menjawab pertanyaan-perta-nyaan yang berkaitan dengan konsepsi mereka tentang konsep survey itu sendiri. Semua pertanyaan dalam wawancara merupakan ulangan pertanyaan dalam kuesioner yang telah diisi oleh responden yang sama. Setiap wawancara direkam menggunakan videotape untuk kemudian dikaji dan dikodekan (dikelompokkan dengan memberi kode tertentu). Jawaban-jawaban terhadap butir pertanyaan survey dengan hati-hati dikodekan untuk mengetahui apakah responden menemui masalah dengan empat fase yang terdapat dalam proses kognitif. Data dikelom-pokkan dan dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel; disamping itu, data kualitatif yang dikumpulkan melalui penggalian informasi juga dikodekan dan dianalisa.
Proses perevisian butir pertanyaan survey terdiri dari prosedur pengkajian yang dilakukan dengan hati-hati oleh ahli, pengujian kembali, dan revisi final. Setelah melakukan tahap pertama wawancara kognitif, kemudian setiap butir pertanyaan dianalisis yang di dalamnya termasuk transkrip penghitungan kembali proses kognitif responden dan penghitungan deskripsi masalah yang ditemui oleh responden selama wawancara terkait dengan butir pertanyaan secara detail. Setelah itu barulah pewawancara dan tim pengembangan survey menyarankan perevisian butir pertanyaan berdasarkan analisa data wawancara kognitif. Disamping itu, pada waktu bersamaan, responden juga memberi revisi yang nantinya hasil revisi ini dijadikan bahan pertimbangan dalam tahap revisi final.
Tim pengembangan survey mengkaji ulang data, melihat rekaman wawan-cara melalui video bila perlu. Berdasarkan analisa data yang diambil dari tahap pertama wawancara kognitif, kemudian dilakukan revisi butir-butir pertanyaan yang dianggap bermasalah. Butir-butir tersebut kemudian diolah di bagian kedua tahap wawancara kognitif dengan kelompok responden yang berbeda. Data yang berasal dari tahap kedua wawancara ini dianalisa untuk menunjukkan sejauhmana revisi yang telah dilakukan dapat mengatasi masalah yang muncul pada butir tersebut dan sejauhmana dapat mengatasi masalah yang mungkin muncul pada tahap berikutnya.
Pada sebagian besar kasus yang muncul, revisi yang dilakukan berupa perubahan kata, frase, dan kalimat yang membingungkan dan menyesatkan pikiran responden. Sebagai contoh, pada pertanyaan tentang keterlibatan orangtua terha-dap sekolah, banyak diantara responden mungkin merasa kebingungan dengan frase “hubungan orangtua - sekolah” yang akhirnya membuat mereka merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ketika diubah frase tersebut menjadi “kesepakatan tertulis antara sekolah dan orang tua”, para responden barulah dapat menjawab dengan mudah butir pertanyaan tersebut dan dapat menjelaskan secara gamblang melalui informasi yang mereka berikan. Pada kebanyakan kasus, secara umum, ditemukan bahwa perevisian mengurangi sebagian besar kebingungan dan kesalah-pahaman yang seringkali ditemui oleh para responden saat pertama kali diwawancarai.
C. PENUTUP
Seperti diketahui bahwa penelitian survey biasanya dilakukan oleh suatu lembaga yang berskala nasional dalam rangka menjaring pendapat sebelum suatu kebijakan ditetapkan. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, seringkali suatu kebijakan pendidikan diawali dengan suatu survey untuk dapat memperoleh dukungan data yang memadai sebelum kebijakan ditetapkan. Namun ada suatu anggapan, bahwa selama ini survey hanyalah strategi untuk mencari data pendu-kung akan dilahirkannya suatu kebijakan, semacam public relations inspired studies dalam evaluasi program yang bersifat pseudo – evaluation. Oleh karena itu jarang kita berpikir tentang validitas dan reliabilitas dari instrumen wawancara yang digunakan dalam suatu survey.
Dengan melihat uraian di atas, maka sebenarnya melalui wawancara kognitif suatu survey dapat ditingkatkan validitas dan reliabilitasnya. Dengan demikian kualitas penelitian pendidikan yang menggunakan metode survey akan meningkat lebih baik. Namun demikian, bila melihat langkah-langkah penerapan metode wawancara kognitif yang agak rumit tersebut, nampaknya bila metode ini diterapkan di Indonesia dalam suatu survey berskala nasional, kemungkinan besar akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, baik yang menyangkut tenaga, biaya, dan waktu. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi makna dan tujuan wawancara kognitif, perlu dilakukan penyederhanaan langkah-langkah metode agar lebih mudah dalam penerapannya. Semoga hal ini mendorong kita untuk berpikir lebih jauh dalam mencari solusi peningkatan kualitas penelitian di bidang pendidikan khususnya, setidak-tidaknya menjadi bahan renungan bagi kita semua.
REFERENSI
Biemer, P., dkk. (1991). Measurement Errors in Surveys. New York : Wiley.
Blair, J. dan Presser, S. (1993). Survey Procedures for Conducting Cognitive Interviews to Pretest Questionnaires : A Review of Theory and Practice. Proceedings of the Survey Research Methods Section of the American Statistical Association
Burstein, L, dkk. (1995). Validating National Curriculum Indicators. Santa Monica : RAND.
Conrad, F. dan Blair, J. (1996). From Impressions to Data : Increasing the Objectivity of Cognitive Interviews. Proceedings of the Survey Research Methods Section of the American Statistical Association.
Ericsson, K. dan Simon, H. (1980). Verbal Report as Data. Psychological Review 87 (3) : 215 – 251.
Isaac, S. dan Michael, W. B. (1983). Handbook in Research and Evaluation. 2nd Edition. California – USA : Edits Publishers.
Mayer, D. (1999). Measuring Instructional Practice : Can Policymakers Trust Survey Data ? Educational Evaluation and Policy Analysis 21(1) : 29 – 45.
Nisbett, R. E. dan Wilson, T. D. (1997). Telling More Than We Can Know : Verbal Reports on Mental Processes. Psychological Review 84 : 231 – 259.
Schwartz, N. dan Sudman, S. (1996). Answering Questions : Methodology for Determining Cognitive and Communicative Process in Survey Research. San Francisco : Jossey – Bass.
Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara.
Tourangeau, R. (1984). Cognitive Science and Survey Methods. Washington, DC : National Academies Press.
Willis, G., dkk. (1991). The Use of Verbal Report Methods in the Development and Testing of Survey Questionnaires. Applied Cognitive Psychology 5 : 251 – 267.
Penelitian survey merupakan salah satu jenis penelitian deskriptif yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu mendeskripsikan keadaan alami saat ini, mengi-dentifikasi secara terukur keadaan sekarang untuk dibanding-kan, dan menentukan hubungan sesuatu yang hidup diantara kejadian spesifik. Model penelitian survey diyakini sebagai model yang paling baik dalam memperoleh dan mengumpulkan data asli (original data) yang mampu mendes-kripsikan keadaan populasi (Sukardi, 2004).
Namun demikian, untuk melaksanakan penelitian survey ada sedikitnya tiga persyaratan minimal yang harus dipenuhi, yaitu tujuan yang harus tepat, populasi sasaran yang menjadi pusat kegiatan penelitian, dan sumber biaya yang mencukupi. Secara umum, persyaratan yang nomor tiga adalah yang paling sulit dipenuhi. Sedangkan menurut Isaac dan Michael (1983), ada empat persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan penelitian dengan metode survey, yaitu rencana penelitian yang sistematis, populasi yang representatif, data dapat dieksplorasi secara eksplisit dan objektif, dan data dapat diekspresikan secara kuantitatif. Persyaratan-persyaratan tersebut dimaksudkan agar data yang diper-oleh dalam survey benar-benar akurat, objektif, dan dapat diandalkan. Dengan kata lain, validitas dan reliabilitas penelitian benar-benar meyakinkan.
Peningkatan validitas dan reliabilitas penelitian merupakan bagian penting dari persoalan yang berkaitan dengan perlunya usaha-usaha dalam meningkatkan ketepatan dalam penelitian di bidang pendidikan, yaitu persoalan yang berhubung-an dengan analisis kebijakan dan evaluasi. Seringkali kita mengadakan sebuah penelitian tanpa menyusun validitas, misalnya validitas yang berkaitan dengan berapa jumlah responden yang bisa menginterpretasikan masalah yang kita teliti, sehingga kualitas data yang kita kumpulkan menyisakan suatu pertanyaan atau menjadi kurang valid.
Penelitian survey biasanya menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk mengumpulkan data. Seperti diketahui, bahwa penggunaan kuesioner seba-gai instrumen pengumpul data memiliki banyak kelemahan, seperti jawaban res-ponden yang asal-asalan, responden cenderung menjawab pertanyaan survey sesuai yang diinginkan secara sosial (Burstein dkk., 1995), responden menjawab apa yang seharusnya bukan apa yang sebenarnya, bila ada pertanyaan yang membingungkan cenderung menjawab asal-asalan atau dikosongkan. Kelemahan-kelemahan tersebut menyebabkan instrumen menjadi tidak valid.
Sebagian besar responden yang menjadi sampel dari penelitian survey mengeluhkan banyaknya pertanyaan dalam kuesioner yang kadang-kadang tidak jelas maksudnya, bermakna ganda, atau mengandung istilah yang tidak lazim digunakan oleh kebanyakan. Semua itu menyebabkan kesalahpahaman dan kesalahan persepsi responden terhadap pertanyaan dan akhirnya respon yang diberikan tidak sesuai dengan yang diinginkan peneliti. Selain itu, survey yang menggunakan kuesioner dipandang tidak dapat menggambarkan hasil secara mendalam sebagaimana yang dihasilkan teknik wawancara dan observasi. Oleh karena itu, suatu penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpul data biasanya mengkombinasikan dengan metode wawancara dan observasi untuk melengkapi data atau memback-up data yang diperoleh melalui kuesioner. Dengan kata lain, kombinasi antara kuesioner – wawancara – observasi bertujuan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas pengukuran.
Sehubungan dengan hal itu, ada satu metode yang terbukti mampu meningkatkan kualitas survey dengan memfokuskan pada peningkatan validitas dan reliabilitas pengukuran, serta memperkecil bias dan kesalahan pengukuran, yaitu dengan metode wawancara kognitif (Mayer, 1999). Metode ini efektif dalam meninjau ulang pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Wawancara kognitif dapat menjadi metode yang berguna untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas penelitian dalam bidang pendidikan. Termasuk contoh untuk mengilus-trasikan kompleksitas yang dihadapi ketika mendesain penelitian berskala besar yang bertujuan untuk menjawab permasalahan kebijakan pendidikan dan pan-dangan substantif yang keduanya dapat diperoleh dengan menggunakan metode wawancara kognitif.
B. PEMBAHASAN
Wawancara kognitif merupakan sebuah metode yang memungkinkan adanya analisis mendalam dari setiap butir-butir pertanyaan. Wawancara kognitif menguji validitas respon verbal yang muncul dari proses pemikiran responden (Conrad & Blair, 1996, Blair & Presser, 1993); wawancara ini memiliki dasar teori kognitifnya Herbert Simon dan koleganya (Ericsson & Simon, 1980). Meskipun wawancara kognitif telah banyak digunakan dalam berbagai macam penelitian, seperti psikologi dan kesehatan (Nisbett & Wilson, 1997), tapi metode ini tidak digunakan dalam penelitian pendidikan.
Metode wawancara kognitif merupakan sebuah pendekatan khusus yang efektif dalam menghindari penyimpangan yang paling mungkin muncul yang dapat mempengaruhi validitas survey (Biemer, dkk., 1991). Penyebab utama dari banyaknya penyimpangan terhadap validitas berasal dari fenomena kompleks yang sekarang ini sedang dikaji para peneliti dalam suatu instrumen penelitian, seperti kemungkinan jawaban responden dalam sebuah wacana sosial yang sangat diharapkan, atau resiko bagi seorang responden yang dengan ketidaktahuannya memberikan tanggapan yang menyesatkan. Wa-wancara kognitif membantu melawan kemungkinan penyimpangan tersebut.
Wawancara kognitif merupakan cara mengungkap alasan-alasan yang dikemukakan oleh para responden, mengidentifikasikan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengabaikan gagasan kritis atau yang mewakili pandangan yang kurang pas / menyesatkan terhadap topik yang mendasari pertanyaan tersebut. Dengan memberikan kesempatan untuk menggali pemahaman responden terhadap perta-nyaan yang diinginkan, maka perancang penelitian dapat mempelajari apakah ada suatu pemahaman yang rumit atau tumpang tindih atas gagasan pokok dan kerangka berpikir konseptual penelitian ini. Kalau ada, maka pertanyaan tersebut harus segera direvisi. Bila responden salah paham terhadap pertanyaan yang ditanyakan yang berakibat salah dalam merespon, dapat terdeteksi melalui metode wawancara kognitif.
Wawancara kognitif menjadi sebuah metode yang sangat berguna dalam pengujian tingkat validitas dan reliabilitas suatu penelitian dengan menguji penga-laman para responden. Rancangan teori dari wawancara kognitif berdasarkan 4 macam tingkat proses pemikiran terhadap respon (Tourangeau, 1984; Willis dkk, 1991). Menurut jenis ini, seorang responden harus memiliki 4 fase dalam proses kognitif, yaitu (a) memahami sebuah pertanyaan, (b) memperoleh kembali informasi yang relevan, (c) membuat penilaian berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dan (d) memetakan jawaban melalui sistem laporan. Analisa yang mendalam dari data yang berasal dari wawancara memungkinkan pertanyaan dapat dimodifikasikan ke dalam format yang paling efektif untuk penelitian.
Wawancara “yang menuntut para respondennya untuk berpikir keras” merupakan komponen penting dalam teknik wawancara kognitif, dimana selama wawancara berlangsung para responden menggunakan proses pemikiran mereka dalam memberikan jawaban. Para responden dalam hal ini dapat mengomentari apa yang terdapat pada butir-butir pertanyaan yang diajukan, apa yang jelas dan akurat, apa yang ambigu dan janggal, dan apa yang belum tercakup dalam butir tersebut. Setelah melengkapi sebuah butir perta-nyaan, para responden dimintai keterangan melalui beberapa pertanyaan yang telah didesain untuk mendapatkan informasi yang dapat mengukur sejauhmana respon-den memahami butir pertanyaan sebagaimana yang diinginkan oleh pewawancara. Berikut ini beberapa contoh wawancara kognitif :
Contoh 1
Pewawancara :
Apakah menurut Anda penerapan metode kimia realistik efektif dalam mening-katkan prestasi belajar siswa ?
Guru :
“Apa yang dimaksud dengan metode kimia realistik itu ? Saya belum pernah mendengar. Bisakah Anda menjelaskan gambaran tentang metode tersebut pada saya ?
Pewawancara :
Mengapa Anda tidak menjawab seperti apa yang Anda lakukan ketika mendapat pertanyaan ini melalui kuesioner ?
Guru :
Ketika itu saya hanya menjawab berdasarkan pemahaman kata realistik yang ada di ditu, tetapi sebenarnya saya tidak memahami metode tersebut. Apakah yang Anda maksud dengan metode kimia realistik itu sama dengan metode praktikum ?.
Pewawancara :
O, bukan. Metode kimia realistik tidak sama dengan praktikum, karena pada metode kimia realistik menyajikan materi dengan memberikan contoh fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata siswa-siswanya. Baiklah, tidak apa-apa. Justru sekarang kami menjadi tahu bahwa sebenarnya pertanyaan kemarin perlu diberi penjelasan. Terima kasih, masukan Anda dapat kami gunakan untuk memperbaiki kuesioner yang kami buat.
Contoh 2
Pewawancara :
Apakah rencana pembelajaran yang Anda buat membantu dalam mencapai standar kompetensi ?
Guru :
Apakah fokus pertanyaan Anda sejauhmana rencana pembelajaran membantu saya dalam mencapai standar kompetensi atau kompetensi dasar ? Saya agak bingung, karena rencana pembelajaran mungkin hanya untuk mencapai 1 – 2 kompetensi dasar yang merupakan bagian dari standar kompetensi. Namun yang jelas, ketika saya membuat rencana pembelajaran, saya pasti mengacu pada kompetensi dasar dan standar kompetensi yang ada dalam kurikulum. Akan tetapi bagaimana rencana pembelajaran dapat “membantu” mencapai standar kompetensi, saya tidak dapat menjelaskan hubungannya secara jelas. Namun secara tegas saya katakan, saya selalu menggunakan rencana pembelajaran dalam setiap pembelajaran dan itu membantu saya dalam mengimplementasikan kurikulum. Jadi jawaban saya untuk anda adalah “Ya, rencana pembelajaran sangat membantu.”
Pewawancara :
Penjelasan yang Anda berikan sangat membantu kami untuk merevisi pertanyaan dalam kuesioner tersebut.
Contoh 1 menunjukkan bahwa ada istilah atau sesuatu yang belum lazim / banyak dikenal oleh responden yang terdapat dalam suatu butir pertanyaan dalam survey yang tidak dipahami dengan baik oleh responden. Bila survey ini tidak menggunakan metode wawancara kognitif, maka kemungkinan besar pensurvey tidak akan memperoleh data sama sekali atau data yang ada tidak valid karena sebenarnya responden asal dalam menjawab. Dengan wawancara kognitif hal ini tidak akan terjadi, karena ada revisi pertanyaan berdasarkan komentar atau masukan dari responden, sehingga dari pertanyaan yang direvisi pensurvey dapat melakukan wawancara ulang. Sedangkan contoh 2 menunjukkan konfirmasi yang dilakukan responden atas pertanyaan yang sulit dipahami, sehingga responden bisa saja salah dalam menjawab. Namun dengan adanya wawancara kognitif, kesalah-pahaman responden dapat teratasi, dan pensurvey memperoleh masukan yang berharga untuk merevisi pertanyaan tersebut.
Hasil yang diperoleh dari wawancara kognitif memberikan cukup bukti bahwa kita dapat meningkatkan validitas butir pertanyaan dalam sebuah survey dengan cara mengidentifikasi kesalahan para responden dalam memberikan respon atau jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan responden dalam menginterpretasi-kan pertanyaan tersebut, mengidentifikasi pengabaian informasi penting oleh responden, mengidentifikasi kesimpulan-kesimpulan keliru yang dibuat oleh responden akibat dari cara mereka yang memetakan ingatan yang tidak ada hubungannya dengan butir pertanyaan, atau dengan memperkecil kemungkinan adanya bias respon yang secara sosial dikehendaki oleh responden. Secara keseluruhan, hal-hal yang berkaitan dengan kognitif memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada validitas butir pertanyaan yang dianalisa dengan cara mengidentifikasi kesalahan dalam melakukan survey (Schwartz & Sudman, 1996).
Adapun langkah penerapan metode wawancara kognitif adalah : setiap responden diwawancarai selama 2 jam dengan menjawab beberapa butir perta-nyaan yang melibatkan proses “berpikir keras” dan menjawab pertanyaan-perta-nyaan yang berkaitan dengan konsepsi mereka tentang konsep survey itu sendiri. Semua pertanyaan dalam wawancara merupakan ulangan pertanyaan dalam kuesioner yang telah diisi oleh responden yang sama. Setiap wawancara direkam menggunakan videotape untuk kemudian dikaji dan dikodekan (dikelompokkan dengan memberi kode tertentu). Jawaban-jawaban terhadap butir pertanyaan survey dengan hati-hati dikodekan untuk mengetahui apakah responden menemui masalah dengan empat fase yang terdapat dalam proses kognitif. Data dikelom-pokkan dan dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel; disamping itu, data kualitatif yang dikumpulkan melalui penggalian informasi juga dikodekan dan dianalisa.
Proses perevisian butir pertanyaan survey terdiri dari prosedur pengkajian yang dilakukan dengan hati-hati oleh ahli, pengujian kembali, dan revisi final. Setelah melakukan tahap pertama wawancara kognitif, kemudian setiap butir pertanyaan dianalisis yang di dalamnya termasuk transkrip penghitungan kembali proses kognitif responden dan penghitungan deskripsi masalah yang ditemui oleh responden selama wawancara terkait dengan butir pertanyaan secara detail. Setelah itu barulah pewawancara dan tim pengembangan survey menyarankan perevisian butir pertanyaan berdasarkan analisa data wawancara kognitif. Disamping itu, pada waktu bersamaan, responden juga memberi revisi yang nantinya hasil revisi ini dijadikan bahan pertimbangan dalam tahap revisi final.
Tim pengembangan survey mengkaji ulang data, melihat rekaman wawan-cara melalui video bila perlu. Berdasarkan analisa data yang diambil dari tahap pertama wawancara kognitif, kemudian dilakukan revisi butir-butir pertanyaan yang dianggap bermasalah. Butir-butir tersebut kemudian diolah di bagian kedua tahap wawancara kognitif dengan kelompok responden yang berbeda. Data yang berasal dari tahap kedua wawancara ini dianalisa untuk menunjukkan sejauhmana revisi yang telah dilakukan dapat mengatasi masalah yang muncul pada butir tersebut dan sejauhmana dapat mengatasi masalah yang mungkin muncul pada tahap berikutnya.
Pada sebagian besar kasus yang muncul, revisi yang dilakukan berupa perubahan kata, frase, dan kalimat yang membingungkan dan menyesatkan pikiran responden. Sebagai contoh, pada pertanyaan tentang keterlibatan orangtua terha-dap sekolah, banyak diantara responden mungkin merasa kebingungan dengan frase “hubungan orangtua - sekolah” yang akhirnya membuat mereka merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ketika diubah frase tersebut menjadi “kesepakatan tertulis antara sekolah dan orang tua”, para responden barulah dapat menjawab dengan mudah butir pertanyaan tersebut dan dapat menjelaskan secara gamblang melalui informasi yang mereka berikan. Pada kebanyakan kasus, secara umum, ditemukan bahwa perevisian mengurangi sebagian besar kebingungan dan kesalah-pahaman yang seringkali ditemui oleh para responden saat pertama kali diwawancarai.
C. PENUTUP
Seperti diketahui bahwa penelitian survey biasanya dilakukan oleh suatu lembaga yang berskala nasional dalam rangka menjaring pendapat sebelum suatu kebijakan ditetapkan. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, seringkali suatu kebijakan pendidikan diawali dengan suatu survey untuk dapat memperoleh dukungan data yang memadai sebelum kebijakan ditetapkan. Namun ada suatu anggapan, bahwa selama ini survey hanyalah strategi untuk mencari data pendu-kung akan dilahirkannya suatu kebijakan, semacam public relations inspired studies dalam evaluasi program yang bersifat pseudo – evaluation. Oleh karena itu jarang kita berpikir tentang validitas dan reliabilitas dari instrumen wawancara yang digunakan dalam suatu survey.
Dengan melihat uraian di atas, maka sebenarnya melalui wawancara kognitif suatu survey dapat ditingkatkan validitas dan reliabilitasnya. Dengan demikian kualitas penelitian pendidikan yang menggunakan metode survey akan meningkat lebih baik. Namun demikian, bila melihat langkah-langkah penerapan metode wawancara kognitif yang agak rumit tersebut, nampaknya bila metode ini diterapkan di Indonesia dalam suatu survey berskala nasional, kemungkinan besar akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, baik yang menyangkut tenaga, biaya, dan waktu. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi makna dan tujuan wawancara kognitif, perlu dilakukan penyederhanaan langkah-langkah metode agar lebih mudah dalam penerapannya. Semoga hal ini mendorong kita untuk berpikir lebih jauh dalam mencari solusi peningkatan kualitas penelitian di bidang pendidikan khususnya, setidak-tidaknya menjadi bahan renungan bagi kita semua.
REFERENSI
Biemer, P., dkk. (1991). Measurement Errors in Surveys. New York : Wiley.
Blair, J. dan Presser, S. (1993). Survey Procedures for Conducting Cognitive Interviews to Pretest Questionnaires : A Review of Theory and Practice. Proceedings of the Survey Research Methods Section of the American Statistical Association
Burstein, L, dkk. (1995). Validating National Curriculum Indicators. Santa Monica : RAND.
Conrad, F. dan Blair, J. (1996). From Impressions to Data : Increasing the Objectivity of Cognitive Interviews. Proceedings of the Survey Research Methods Section of the American Statistical Association.
Ericsson, K. dan Simon, H. (1980). Verbal Report as Data. Psychological Review 87 (3) : 215 – 251.
Isaac, S. dan Michael, W. B. (1983). Handbook in Research and Evaluation. 2nd Edition. California – USA : Edits Publishers.
Mayer, D. (1999). Measuring Instructional Practice : Can Policymakers Trust Survey Data ? Educational Evaluation and Policy Analysis 21(1) : 29 – 45.
Nisbett, R. E. dan Wilson, T. D. (1997). Telling More Than We Can Know : Verbal Reports on Mental Processes. Psychological Review 84 : 231 – 259.
Schwartz, N. dan Sudman, S. (1996). Answering Questions : Methodology for Determining Cognitive and Communicative Process in Survey Research. San Francisco : Jossey – Bass.
Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara.
Tourangeau, R. (1984). Cognitive Science and Survey Methods. Washington, DC : National Academies Press.
Willis, G., dkk. (1991). The Use of Verbal Report Methods in the Development and Testing of Survey Questionnaires. Applied Cognitive Psychology 5 : 251 – 267.
0 comments:
Post a Comment