Peranan Pendidikan Dalam Mentransformasikan Jerman Menuju Negara Multikultural

Posted by

PENDAHULUAN 
Globalisasi yang telah berlangsung di semua lini kehidupan telah membawa umat manusia ke dalam tataran baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah trend sosial yang telah “memaksa” manusia untuk berinteraksi, bergaul dan berintegrasi dalam masyarakat dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda; ras, etnik, suku, agama dan lain sebagainya. Perpaduan budaya, kompromi budaya, dan pertikaian budaya akan selalu terjadi ketika kebudayaan yang berbeda-beda ini bertemu. Efek globalisasi menjadi satu hal yang tidak terelakkan lagi, bahkan dalam lingkungan yang memiliki akar budaya cukup kuat dimana masyarakatnya berpegang teguh pada tradisinya sekalipun.

Tidak semua kelompok masyarakat dapat menerima perubahan ini dengan mudah. Kondisi ini membuat semua pihak melihat betapa pentingnya mempersiapkan masyarakat untuk dapat berinteraksi dan bergaul di tengah keberagaman dengan baik untuk menghindari terjadinya pertikaian budaya dan perpecahan dalam masyarakat. Partnership for 21st century skills dalam 21st Century Learning Framework memasukkan keterampilan sosial dan lintas budaya sebagai salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh semua orang untuk dapat sukses di abad 21. Demikian juga dengan the University of Cambridge International Examination memasukkan mata pelajaran Global Perspective dalam syllabusnya. Di era globalisasi ini masyarakat dituntut untuk mampu menghargai perbedaan budaya, bekerja sama dengan orang dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda, menerima perbedaan dengan pikiran terbuka dan memanfaatkan perbedaan ini untuk menciptakan ide-ide dan inovasi baru.

Keterampilan tersebut sangat di atas sangat dibutuhkan terutama di negara-negara di mana masyarakatnya berasal dari latar belakang budaya yang beragam seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Amerika Serikat menjadi fenomena tersendiri karena sebagian besar penduduknya adalah pendatang yang memiliki latar belakang yang sangat beragam dan lebih dominan daripada penduduk aslinya. Kanada juga memiliki karakteristik yang cukup unik karena dari sekitar 34 juta penduduknya, 28% berkebangsaan Inggris, 23% berkebangsaan Perancis, 15% dari negara-negara lain di Eropa, 2% keturunan Amerika India dan selebihnya dari Asia, Afrika, Arab dan latar belakang campuran (CIA: the World-Factbook, 8 November 2011). Di negara Jerman yang penduduknya mencapai 92 juta, seperlima diantaranya memiliki latar belakang imigran. Komposisi yang kurang lebih sama juga terdapat di negara-negara Eropa lain seperti Perancis, Spanyol, Italia, dan lain-lain.

Di antara negara-negara multikultural yang tersebut di atas, Jerman memiliki keunikan tersendiri. Jermanlah satu-satunya negara yang memiliki trauma masa lalu dalam hal isu rasial, yang kemudian berhasil bangkit, bertahan dalam keberagaman dan mampu mempertahankan stabilitas politiknya. Komposisi penduduk Jerman berdasarkan data tahun 2009; 18,4% dari setiap kelompok umur dan 30% dari anak-anak Jerman memiliki setidaknya satu orang tua yang lahir di luar negeri yaitu dari latar belakang Turki, Italia, Yunani, Kroasia, Belanda, Serbia, Montenegro, Spanyol, Bosnia dan Herzegovina, Austria, Portugal, Vietnam, Maroko, Polandia, Macedonia, LebanonPerancis, dan lain-lain.

Sulit untuk memperkirakan jumlah pasti masing-masing etnis yang menetap di Jerman karena pemerintah Jerman tidak menyimpan semua informasi dan statistik tentang etnis atau ras warganya. Trauma yang dialami bangsa Jerman pada masa pemerintahan Nazi dengan adanya pembersihan etnis, menyebabkan latar belakang etnis menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Namun angka tersebut dipastikan akan terus bertambah di masa datang mengingat pertumbuhan populasi Jerman nol atau bahkan menurun sehingga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja akan semakin banyak pendatang masuk ke Jerman. Hal ini pernah terjadi sebelumnya yaitu di tahun 1950an, pertumbuhan ekonomi Jerman yang cukup tinggi telah menarik migran terutama dari Turki dan Eropa timur.

Keberagaman di atas hanya dilihat dari sisi latar belakang etnik saja, kemajemukan ini akan semakin luas dengan memasukkan variabel agama dalam komposisi penduduk Jerman. Sebagai contoh di kota Stuttgart, menurut penelitian Dr. Michael Blume dari Ministry of State Baden-Württermberg pada tahun 2006, dari sejumlah bayi yang lahir pada tahun tersebut; 25,9% dari keluarga Protestan, 25% dari keluarga Katolik, 17,5% dari keluarga Muslim, 23,2% dari keluarga yang tidak memiliki afiliasi agama dan sisanya berasal dari latar belakang agama yang cukup bervariasi: Saksi Yehova, Yahudi, Hindu, Budha, Sikh, Bahai, dan lain-lain. Yang menjadi menarik adalah di tengah-tengah kemajemukan ini, belum pernah terjadi perselisihan atau perpecahan yang cukup berarti dalam masyarakat. Apakah bangsa Jerman sudah belajar banyak dari kejadian masa lalu yang dialaminya sehingga lebih mampu menerima perbedaan atau ada hal lain yang membuat masyarakat Jerman mampu hidup dengan harmonis dalam keberagaman.


SEJARAH PENDIDIKAN DI JERMAN
 Negara Jerman atau lengkapnya Republik Federal Jerman adalah salah satu negara yang memiliki posisi ekonomi dan politik yang cukup penting di Eropa dan bahkan di dunia. Jerman menjadi salah satu negara pencetus Masyarakat Ekonomi Eropa yang kemudian menjadi Uni Eropa. Selain menjadi salah satu anggota kunci Uni Eropa, Jerman juga dikenal sebagai negara dengan penguasaan ilmu dan teknologi maju di berbagai bidang baik sains, sosial maupun humanities. Di bidang olah ragapun Jerman memiliki prestasi yang cukup menonjol seperti Formula 1 dan sepak bola. Klub-klub sepak bola Jerman memiliki penggemar dari berbagai negara. Tak ketinggalan berbagai merek besar lahir di negara ini seperti: Mercedes-Benz, Bosch, Porsche, Zeiss dan lain-lain. Perguruan-perguruan tinggi di Jerman juga telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia dan memenangkan penghargaan Nobel. Hal ini menjadikan Jerman sebagai negara yang sangat berpengaruh dan sangat menghidupkan dunia.

Suatu prestasi yang luar biasa mengingat luas Jerman hanya 352.021 km2 atau kurang lebih dua setengah kali luas pulau Jawa. Jumlah penduduk Jerman berdasarkan data bulan Juli tahun 2011adalah 81.471.838 jiwa, jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk Indonesia. Jerman memiliki sumber daya yang terbatas baik alam maupun manusia. Keterbatasan ini menyebabkan pemerintah Jerman memandang perlu untuk memberdayakan sumber daya manusia yang ada sebagai pemeran utama dalam pembangunan melalui pendidikan, pelatihan, penelitian dan penemuan. Kebijakan pendidikan menjadi inti dari kebijakan pemerintah (State’s Institute for School Development of Baden-Württermberg, 2009).

Tak terbayangkan juga negara Jerman yang memiliki stabilitas ekonomi dan politik yang kokoh, dalam sejarah pernah mengalami trauma yang cukup dalam bukan hanya satu kali tapi dua kali dengan jangka waktu yang tidak terlalu panjang.

Dr. Peter Strutzberg dari Universitas Humboldt Berlin mengemukakan bahwa kebangkitan pendidikan di Jerman dimulai setelah berakhirnya Napoleon, yaitu pada tahun 1810 ketika Wilhem von Humboldt menjadi menteri pendidikan Kerajaan Prusia. Wilhelm von Humboldt memulai institusi pendidikan formal dengan ide memberikan pendidikan bagi seluruh kaum muda dengan system yang sama untuk mempersiapkan mereka menjalani kehidupan yang selayaknya. Humboldt yang selanjutnya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Jerman menyusun sistem pendidikan Prusia dalam 3 jenjang; pendidikan dasar (elementarschule), pendidikan menengah (schule) dan pendidikan tinggi (universitat). Pola ini kemudian menjadi contoh sistem pendidikan di berbagai negara di dunia. Pendidikan di Jerman mengalami kemajuan yang luar biasa dengan tradisi riset yang kuat telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia.

Pada masa ini rasa kebangsaan Jerman tumbuh cukup kuat mengingat sebelumnya mereka merasa terpecah belah oleh Napoleon. Sebelum Napoleon, bangsa Jerman terpecah belah berdasarkan subetnik mereka, seperti subetnik Bayern, subetnik Swabia, Baden, Sachsen, Kölsch, dan sebagainya. Di samping itu juga terdapat etnik minoritas asli mencakup etnik Denmark di utara, etnik Frisia di barat laut, serta etnik Sorbia dan Kashubia di beberapa tempat di Jerman timur laut, serta etnis minoritas migran yaitu etnis Yahudi, Italia, Polandia dan Ceko.

Trauma pertama dialami bangsa Jerman setelah masa Perang Dunia I di bawah kepemimpinan rezim Nazi. Runtuhnya kekaisaran Jerman memunculkan pemerintahan otoriter di bawah pimpinan Adolf Hitler. Pada masa ini, Jerman mengalami kemunduran luar biasa, terutama dalam bidang intelektual. Dalam sejarah, banyak ilmuwan besar lahir di Jerman seperti Max Planck, Gabriel Fahrenheit, Carl Friedrich Gauss, Wilhelm Conrad Rontgen dan lain-lain, namun kemunduran terjadi pada masa Hitler yang secara alami anti-intelektual. Hitler sendiri tidak pernah menamatkan sekolahnya dan memilih belajar secara mandiri.

Di bawah Hitler, sekolah dasar dan sekolah menengah seluruh Jerman menjejali muridnya dengan ideologi Nazi. Misi utama sekolah pada masa ini adalah mendidik pemuda untuk melayani Bangsa dan Negara dalam semangat Nasional Sosialis. Hitler menyingkirkan semua pihak yang menentang ideologi Nazi, terutama dalam hal ini adalah kaum Yahudi Jerman. Seluruh jajaran pengajar di Jerman, mulai dari sekolah dasar sampai tingkat universitas, dibersihkan dari instruktur Yahudi dan siapapun yang dianggap mencurigakan secara politik, dengan mengabaikan prestasi atau kemampuan mengajar mereka. Sekitar sepuluh persen dari kekuatan pendidikan di Jerman hilang, terutama dalam bidang fisika quantum dan matematika yang memang banyak dikuasai oleh orang Yahudi. Termasuk dalam bilangan ini adalah ilmuwan terkemuka dunia, Albert Einstein, yang mengungsi ke Amerika bersama para intelektual lainnya.

Seluruh mata pelajaran dimasuki muatan-muatan yang melegitimasi semua tindakan rezim Nazi (http://www.historylearningsite.co.uk/Nazis_Education.htm). Mata pelajaran yang paling terkena dampak adalah Sejarah dan Biologi. Dalam pelajaran Sejarah diajarkan bahwa penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I adalah bangsa Yahudi demikian juga dengan penyebab hiperinflasi pada tahun 1923. Sejarah didasarkan pada kemuliaan bangsa Jerman. Hal yang sama terjadi pada pelajaran Biologi. Pelajaran ini berkembang menjadi indoktrinasi superioritas ras Arya. Biologi menjadi studi ras yang berbeda untuk membuktikan bahwa ras Arya adalah yang terbaik dan bahwa pernikahan antar ras akan mengakibatkan penurunan kualitas. Pelajaran olah raga menjadi pelajaran yang cukup penting dan mendapat porsi 15% dari keseluruhan muatan kurikulum. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan generasi muda yang kuat secara fisik.

Diskriminasi dalam pendidikan juga terjadi dengan dikeluarkannya peraturan Nuremberg pada tahun 1935 yang melarang anak Yahudi untuk bersekolah. Sikap anti-Yahudi juga diajarkan dalam berbagai pelajaran melalui contoh-contoh soal yang sangat mendiskreditkan bangsa Yahudi.

Rezim Hitler runtuh dengan kalahnya Jerman pada Perang Dunia II tahun 1945. Seiring dengan runtuhnya rezim Hitler, terjadilah proses unifikasi Jerman yang pertama. Ribuan etnis Yahudi dan Polandia yang sebelumnya terusir dari negaranya pulang kembali ke kampung halamannya. Tidak hanya itu, booming industri pasca mengundang banyak pekerja migran dari Turki dan Balkan ke negara Jerman. Kaum pekerja ini mendapatkan ijin resmi untuk menetap di negara Jerman dan menambah keberagaman masyarakat Jerman.

Berdasarkan hasil Perjanjian Postdam, Jerman sebagai negara yang kalah perang terpecah menjadi Jerman Barat yang berideologi liberal dan Jerman Timur yang berideologi komunis. Kota Berlin yang secara geografis terletak di Jerman Timur dibagi menjadi dua bagian; Berlin Barat dan Berlin Timur. Pada masa inilah bangsa Jerman mengalami trauma yang kedua.

Perbedaan ideologi memunculkan perbedaan yang mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Di Jerman Timur dengan ideologi sosialis-komunis menyediakan pendidikan secara gratis untuk semua warganya, sementara di Jerman Barat diperlukan biaya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini menyebabkan banyak orang Jerman bersekolah di wilayah Jerman Timur dan tentu saja menjadi beban pemerintah Jerman Timur. Sementara itu dengan iklim keterbukaan, perekonomian di Jerman Barat tumbuh lebih cepat sehingga lapangan pekerjaan dan juga standar gaji lebih tinggi dibanding Jerman Timur. Akibatnya berbondong-bondong warga Jerman pergi ke Jerman Barat untuk bekerja.

Pada periode 1954-1960, Jerman Timur mengalami brain drain dimana pada masa tersebut 36.759 orang dari kalangan akademik dan profesional mulai dari dosen, dokter, insinyur dan teknisi pindah ke Jerman Barat untuk bekerja (http://www.berlinermauer.se/BerlinWall/bygg.htm). Kondisi ini sangat merugikan Jerman Timur yang pada masa itu sangat membutuhkan tenaga ahli untuk membangun kembali negaranya setelah kehancuran pada . Akhirnya pada bulan Agustus 1961 dibangunlah tembok Berlin yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur sekaligus menutup akses dan perpindahan warga antara dua negara tersebut. Pembangunan tembok ini menyebabkan banyak keluarga terpisah dan tidak dapat bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal inilah yang menyebabkan trauma pada rakyat Jerman.

Dampak terhadap sistem pendidikan dengan adanya perpecahan ini selain masalah pembiayaan adalah perbedaan tujuan utama pendidikan. Di Jerman Barat, misi pendidikan adalah untuk mengembangkan setiap peserta didik agar menjadi warga negara yang terpelajar dan tenaga kerja yang efisien dalam lingkungan yang demokratis. Pada tahun 1960-an, sekolah-sekolah di Jerman Barat menambahkan misinya dengan menanamkan sikap menghargai dan saling memahami antar negara, buadaya, dan kepercayaan melalui membaca, diskusi dan riset.

Masalah keberagaman yang muncul pada masa antara Barat dan Timur bukan berasal dari perbedaan etnik dan budaya melainkan pada perbedaan status sosial ekonomi yaitu tidak adanya pemerataan kesempatan belajar kepada semua warga. Dengan sistem 3 jenis sekolah menengah yang tersedia yaitu: Hauptschule, Realschule dan Gymnasium tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang paling tinggi. Hauptschule atau pendidikan dasar tingkat lanjut diperuntukkan bagi siswa yang akan melanjutkan ke sekolah kejuruan atau dengan kata lain siswa yang tidak mampu melanjutkan ke universitas. Sebagian besar siswa Hauptschule berasal dari keluarga migran dan dari kelas pekerja. Realschule adalah bagi siswa yang memiliki kemampuan untuk melanjutkan ke sekolah tinggi dan ingin mendapatkan sertifikat kecakapan khusus. Gymnasium adalah sekolah untuk anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan untuk melanjutkan ke universitas dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang paling tinggi.

Sebagai respon dari kondisi ini, maka pada tahun 1970-an berkembanglah bentuk sekolah keempat yaitu Gesamtschule (comprehensive school). Gesamtschule adalah bentuk sekolah yang menyatukan 3 jalur pendidikan Hauptschule, Realschule dan Gymnasium. Di sekolah ini, siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda baik dalam kemampuan ekonomi maupun kemampuan akademik belajar dalam sistem yang sama dengan maksud memberikan kesempatan belajar yang sama untuk semua. Pada prakteknya, pengelompokan berdasarkan kemampuan akademik tetap terjadi dalam pembagian kelas, namun keberadaan sekolah ini mampu menjawab kritikan terhadap 3 jalur pendidikan menengah yang ada sebelumnya.

Sementara di Jerman Timur, sistem pendidikan yang berlaku sama dengan yang berlaku di Uni Sovyet. Misi utama pendidikan adalah “pendidikan tinggi untuk semua warga, melalui pendidikan dan training di segala bidang dan terwujudnya pribadi sosialis yang secara sadar mengelola alam dan menjalani hidup dengan bahagia sebagai manusia” (Encyclopedia Americana). Tersedianya pendidikan mulai dari usia sekolah 3 tahun (preschool) memberikan kesempatan bagi para ibu untuk bekerja atau melanjutkan pendidikannya. Pendidikan formal terbagi menjadi dua yaitu pendidikan dasar dan pendidikan lanjut dalam bentuk sekolah politeknik didirikan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik tidak hanya belajar tapi juga pelatihan kerja.

Dari sisi sistem pendidikan, pendidikan di Jerman Timur sesuai dengan ide Humblodt mengenai pendidikan dimana semua warga mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Namun sebagai tambahan semua siswa di Jerman Timur diwajibkan belajar Marxisme-Leninisme serta penerapannya dalam bidang politik-ekonomi seperti halnya di Uni Sovyet.

Setelah lebih dari 40 tahun terpisah, akhirnya di tahun 1990 Jerman kembali bersatu. Gagasan glasnost dan perestroika yang dikemukakan oleh Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Sovyet pada masa itu, membuka peluang Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu kembali seiring dengan melemahnya ideologi sosialis-komunis di negara-negara Eropa Timur. Peristiwa bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pasca perang dingin dikenal sebagai unifikasi Jerman yang kedua.



REFORMASI PENDIDIKAN
Bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990 membawa perubahan pada sistem pendidikan di Jerman.  Bentuk pemerintahan mengikuti Jerman Barat yaitu republik federal. Dengan adanya desentralisasi pemerintahan dalam Republik Federal Jerman, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah negara bagian (Länder).  Di negara-negara bagian yang konservatif seperti Baden-Württermberg, sistem persekolahan mengikuti kebijakan di Jerman Barat yaitu menyediakan 3 jalur pendidikan menengah, sementara di negara-negara bagian yang reformis seperti Berlin mulai berkembang bentuk sekolah Gesamtschule meskipun secara umum bentuk pendidikan alternatif ini kurang berkembang. Dalam hal pembiayaan, pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis bagi semua warganya dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi seperti halnya yang berlaku di Jerman Timur.
            
Pada tahun 2000, OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) menyelenggarakan PISA (Programme for International Students Assessment) yaitu suatu program asesmen tiga tahun sekali terhadap siswa berumur 15 tahun dari berbagai negara dengan fokus pada reading comprehension.  Hasilnya Jerman berada pada rangking bawah dibanding 34 negara-negara OECD yang lain.  Program yang sama dijalankan pada tahun 2003 dengan menambahkan fokus pada kemampuan bahasa dan IPA.  Hasilnya kurang lebih sama dengan dengan asesmen pertama.  Hasil ini benar-benar mengejutkan kalangan pendidikan di Jerman, sebagian dari mereka menyebutnya sebagai PISA shock.  Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hasil yang rendah ini dicapai oleh siswa dengan latar belakang migran dan dari kelas sosial-ekonomi bawah yang belajar di Hauptschule. Hasil ini menunjukkan bahwa sekolah di Jerman belum berhasil menjalankan fungsinya dalam mempersiapkan generasi muda  (Strutzberg, 2009).  Menindaklanjuti hal ini, pemerintah mulai melakukan reformasi di bidang pendidikan.

Reformasi dalam bidang pendidikan perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampak lebih jauh kesenjangan hasil belajar ini.  Perbedaan hasil belajar siswa dari kalangan migran dan kelas pekerja dengan siswa dari kelompok sosial ekonomi menengah ke atas apabila dibiarkan berlarut-larut akan memicu kecemburuan antar kelompok karena secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peluang karir dan jenis pekerjaan yang terbuka bagi masing-masing kelompok.  Apabila hal ini terjadi tidak menutup kemungkinan terjadinya perpecahan dan bentrokan antar kelompok etnis.

Selain PISA shock ada beberapa hal lain yang membuat pemerintah melakukan reformasi terhadap sistem pendidikan di Jerman, antara lain:
a.         Otonomi sekolah
Desentralisasi kekuasaan tidak saja menyerahkan urusan pendidikan kepada pemerintah negara bagian tapi juga menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada masing-masing sekolah.  Akibatnya variasi proses dan hasil pendidikan semakin besar.
b.        Penurunan jumlah siswa di sekolah
Pertumbuhan jumlah penduduk Jerman mencapai angka 0 atau bahkan bisa dibilang negatif karena jumlah pasangan yang ingin memiliki keturunan semakin sedikit.  Penurunan jumlah penduduk menyebabkan penurunan jumlah siswa di sekolah.
c.         Bertambahnya jumlah siswa migran
Penurunan jumlah penduduk Jerman diiringi dengan bertambahnya jumlah migran di Jerman untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah siswa dengan latar belakang migran dan kelas pekerja.  Angka arus imigrasi perkapita di Jerman pada tahun 1980-an bahkan jauh lebih tinggi dari pada angka imigrasi di negara-negara imigrasi klasik seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia.
d.        Siswa berkebutuhan khusus
Secara statisitik jumlah siswa berkebutuhan khusus meningkat, bukan saja di Jerman tapi di seluruh dunia.  Selama ini siswa berkebutuhan khusus bersekolah di Sonderschule (semacam sekolah luar biasa di Indonesia).
e.         Berkembangnya kota-kota di Jerman menjadi pusat perdagangan dunia 
      Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan arus globalisasi menjadikan kota-kota seperti Bremen, Frankfurt    menjadi pusat perdagangan dunia.  Jumlah expatriate residence dari berbagai negara bertambah yang   berdampak pada bergesernya pola pergaulan dan kehidupan bermasyarakat menuju masyarakat multikultural.  
           
Dengan melihat keseluruhan fakta di atas, pemerintah federal menilai sasaran utama dari reformasi pendidikan adalah kaum migran dengan misi utama memberikan kesempatan pendidikan yang lebih baik kepada pemuda dengan latar belakang migran.  Komitmen ini tercantum dalam Rencana Integrasi Nasional sebagai hasil dari Konferensi Integrasi yang dipimpin langsung oleh Kanselir Angela Merkel pada tahun 2006 (http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/main-content-08/migrasi-dan-integrasi.html).  Konferensi ini dihadiri oleh wakil semua kelompok masyarakat yang terkait termasuk di dalamnya oraganisasi-organisasi kaum migran.
           
Seluruh Jerman bergerak memperbaiki system pendidikan.  Jerman mengirim para pakar pendidikan untuk melakukan studi ke sekolah-sekolah di luar negeri untuk dijadikan model.  Beberapa program reformasi pendidikan  yang telah dijalankan antara lain:
1.        Mereview sistem 3 jalur sekolah menengah
Salah satu yang menjadi inti permasalah dalam sistem pendidikan menengah adalah penjurusan siswa ke dalam 3 jalur berdasarkan kemampuan akademik yang dirasa oleh berbagai kalangan tidak adil karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik.  Pada kenyataannya penjurusan bukan saja berdasarkan pada kemampuan akademik saja tapi juga kemampuan sosial ekonomi.  Sementara tekanan untuk menyatukan ketiga jalur cukup besar tidak saja dari pakar pendidikan tapi juga dari para orang tua (seiring meningkatnya status ekonomi) yang menuntuk hak yang sama untuk melanjutkan ke universitas.  Untuk itu didirikan lebih banyak Gesamtschule di semua negara bagian kecuali Sachsens, di Saxony-Anhalt dan Thuringia  Hauptschule dan Realschule digabung menjadi Sekundarschule, bahkan di Hamburg dan Berlin sistem 3 jalur ini dihapus sehingga hanya ada dua jenis pendidikan menengah yaitu Gesamtschuledan Gymnasium.  Pemerintah negara Berlin juga mengharuskan setiap Gymnasium memberikan tempat bagi siswa dari kalangan imigran dan sosial-ekonomi bawah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang sama kepada semua warganya.
2.        Fleksibilitas perpindahan siswa pada 3 jalur pendidikan menengah
Kebijakan reformasi pendidikan juga memberikan fleksibilitas pada jalur pendidikan menengah.  Siswa dimungkinkan untuk pindah dari Hauptschuleke Realschule atau dari Realschule ke Gymnasium, sehingga pemisahan menjadi 3 jalur yang dilakukan di tahun ke-5 Grundschule(sekolah dasar) bukan menjadi harga mati.  Bagi siswa Hauptschule dan Realschule masih terbuka kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke universitas.  Demikian juga lulusan Realschule mendapat kesempatan melanjutkan ke universitas dengan menempuh dua semester tambahan.
3.        Peningkatan penguasaan Bahasa Jerman
Penguasaan bahasa Jerman menjadi salah satu faktor yang menghambat proses integrasi penduduk migran dengan penduduk asli dan juga menjadi faktor yang mempengaruhi prestasi akademik siswa di kelas.  Kurangnya penguasaan bahasa Jerman menyebabkan siswa tidak mampu memahami konsep pelajaran secara utuh dan selanjutnya berpengaruh terhadap jalur pendidikan menengah yang dapat diambil.  Untuk itu pelajaran Bahasa Jerman dimulai dari level yang paling dini.
4.        Program bilingual di sekolah
Penyelenggaraan program bilingual di sekolah-sekolah adalah untuk merespons meningkatnya jumlah warga asing yang bersekolah di sekolah umum di Jerman.  Dengan program bilingual memungkinkan warga negara asing bersekolah di sekolah reguler tanpa menemui kesulitan.  Pada saat ini program bilingual baru dilaksanakan di Gymnasium saja.  Bahasa kedua yang digunakan di sekolah-sekolah ini sebagian besar adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.
5.        Pembelajaran bahasa asing
Pembelajaran bahasa asing menjadi program wajib dengan bersatunya negara-negara Eropa dalam wadah Uni Eropa.  Sebagai bagian dari masyarakat global Uni Eropa setiap warga negara Eropa wajib menguasai salah satu dari bahasa dunia, untuk itu bahasa asing sudah mulai diperkenalkan sejak tahun pertama Grundschule (sekolah dasar).  Sebagai contoh, seluruh sekolah dasar di negara bagian Baden-Württermberg sudah mengajarkan bahasa asing terutama Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris serta sebagian kecil Bahasa Spanyol, Bahasa Yunani dan Bahasa Latin.
6.        Pembelajaran agama di sekolah
Sebelumnya pernah diwacanakan untuk memasukkan pengajaran Agama Islam sebagai agama terbesar ketiga di Jerman setelah Protestan dan Katolik sebagai pengajaran resmi.  Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman antar agama, karena selain etnik dan bahasa, agama adalah salah satu variabel keberagaman di negara Jerman.  Di negara bagian Niedersachsen, Islamic Studies sudah diajarkan kepada sekitar 1400 murid dari 26 sekolah dasar semenjak tahun 2003.  Langkah yang dilakukan negara bagian Niedersachsen merupakan suatu terobosan besar dalam proses integrasi budaya di Jerman dan sejauh ini baik siswa maupun orang tua merasa puas dengan program ini karena telah menambah wawasan dan juga kesepahaman mereka mengenai Agama Islam.
7.        Integrasi siswa berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler
Pemisahan siswa berkebutuhan khusus dari jalur sekolah reguler telah memicu kritik karena dianggap tidak memberikan kesempatan belajar yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus.  Kebijakan ini kemudia direview sehingga siswa berkebutuhan khususpun dimungkinkan untuk belajar bersama siswa yang lain terutama Hauptschule, untuk beberapa siswa yang mampu bisa bergabung di Realschule atau bahkan Gymnasium.  Jumlah siswa berkebutuhan khusus baik karena kesulitan belajar maupun gangguan perkembangan kurang lebih 5% dari keseluruhan jumlah siswa dan pemerintah sangat memberikan perhatian yang serius kepada siswa-siswa ini.  Di negara bagian Hessen, di Frankfurt misalnya, sekolah berkebutuhan khusus atau Sonderschulememberikan pelayanan luar sekolah tidak saja kepada siswa tapi juga kepada orang tua siswa yang ingin berkonsultasi.
8.        Pembukaan sekolah internasional
Definisi sekolah internasional di Jerman adalah sekolah yang mengakomodir siswa dari berbagai kewarganegaraan yang berbeda.  Tumbuhnya kota-kota di Jerman menjadi kota metropolitan menyebabkan kebutuhan akan sekolah internasional meningkat.  Jumlah warga expatriatebertambah bahkan di wilayah-wilayah yang bukan merupakan pusat bisnis sekalipun.  Mengikuti model pendidikan di negara-negara lain, sekolah internasional yang dibuka biasanya berbentuk Gesamtschuleyang memungkinkan siswa dari berbagai latar belakang sosial ekonomi budaya dan kemampuan akademik bersekolah di tempat yang sama.  Sebagai contoh International Gesamtschule Heidelberg menampung siswa dari 70 kewarganegaraan yang berbeda.  Heidelberg bukanlah kota bisnis, namun karena di sini terdapat Universitas Heidelberg yang sangat terkenal sebagai universitas tertua di Jerman menyebabkan banyak warga negara asing tinggal di kota ini. 

Berbagai program di atas tidak sepenuhnya berjalan mulus, banyak sekali kontroversi dan kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan.  Tidak semua negara bagian dapat melakukan semua program di atas.  Pendidikan adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah negara bagian, bukan pemerintah federal, sehingga implementasinya pun masih berbeda-beda antar negara bagian demikian juga dengan hasilnya.  Kanselir Angela Merkel sendiri pada suatu kesempatan pernah menyampaikan bahwa Jerman belum berhasil mewujudkan masyarakat multikultural karena memang proses integrasi mutikultural bukanlah hal yang mudah dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup panjang.  Hasil reformasi dalam pendidikan integrasi ini mulai nampak sedikit demi sedikit.  Beberapa peningkatan yang terukur antara lain:
a.         Peningkatan peringkat PISA
Pada PISA III tahun 2006, ranking Jerman mulai meningkat meskipun masih terdapat kesenjangan antara hasil siswa Gymnasium dan Hauptschule.  Di PISA I tahun 2003, posisi Jerman berada pada 30% terbawah, pada tahun 2006 siswa Jerman berada pada ranking 13 untuk keterampilan sains, ranking 20 untuk keterampilan matematika dan ranking 18 untuk keterampilan membaca.  Meskipun demikian karena masih terdapat kesenjangan antara siswa Gymnasium dan siswa Hauptschule, menunjukkan bahwa kondisi sosial-ekonomi masih sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.   Hal ini masih menjadi PR besar negara Jerman.
b.        Peningkatan rasio siswa dari kalangan pekerja yang bersekolah di Gymnasium
meningkat terutama di negara-negara bekas Jerman Timur dimana pembagian kelas sosial-ekonomi tidak terlalu besar.  Di negara bagian bekas Jerman Barat rasio jumlah siswa dari kelas pekerja yang bersekolah di Gymnasiumadalah 1:7,26 namun di negara-negara bagian bekas Jerman Timur rasio siswa dari kelas pekerja yang bersekolah di Gymnasium adalah 1:2,78 yang artinya kurang lebih 25% siswa Gymnasium berasal dari kelas pekerja.  Rasio ini bervariasi di beberapa negara bagian namun menunjukkan peningkatan yang signifikan, semakin banyak siswa dari kelas pekerja yang mampu melanjutkan pendidikan ke universitas.
c.         Peningkatan persentase warga migran yang melanjutkan ke pendidikan tinggi
Jumlah warga migran yang melanjutkan ke universitas juga meningkat dibandingkan warga Jerman yang berada di kelas sosial-ekonomi yang sama.  Di negara bagian Nordrhein-Westfalen hanya 14% anak dari kalangan pekerja Jerman yang ingin mengambil ujian Abitur (sertifikat untuk masuk Universitas), sedangkan dari kelas pekerja migran 27% berkeinginan menyelesaikan Abitur.  Terbukanya peluang melanjutkan ke universitas memotivasi siswa dengan latar belakang migran untuk meningkatkan prestasi akademiknya untuk bisa diterima di Universitas.
d.        Munculnya elite baru di Jerman
Peningkatan kualitas pendidikan warga migran telah memicu pergeseran status sosial-ekonomi warga migran.  Mereka mendapatkan kesempatan untuk duduk dalam pemerintahan dan juga telah menunjukkan eksistensinya di berbagai bidang.  Martha Aykut, wakil kepala bagian politik integrasi kota Stuttgart pada tahun 2009 berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang migran, beberapa orang dari etnik Turki juga berhasil duduk di kursi parlemen negara bagian.  Penggemar sepak bola Jerman pasti mengenal Mesut Özil, pesepak bola yang cukup bersinar di ajang Piala Dunia 2010 dan menjadi tumpuan timnas Jerman.  Beberapa yang sempat menjadi sorotan di berbagai media masa antara lain: Fatih Akin, sutradara film terpenting Jerman yang telah mendapatkan berbagai penghargaan internasional berasal dari Turki dan Feridun Zaimoglu, penulis novel yang tidak ada duanya dalam kesusastraan Jerman  (Andrea Dembach, Tagesspiegel 2009/Qantara 2009).


PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, banyak sekali hal yang bisa dipelajari dari keberhasilan Negara Jerman, tidak saja dalam mereformasi pendidikan namun juga dalam mengintegrasikan masyarakatnya yang berasal dari latar belakang etnis, budaya, bahasa dan agama yang berbeda.  Kesimpulan yang bisa diambil dari perjalanan sejarah negara Jerman adalah:
1.        Keberanian pemerintah Jerman mengakui kegagalan dan melakukan upaya perbaikan. Negara Jerman yang cukup berhasil dalam bidang keilmuan dan menjadi kiblat pendidikan menerima hasil PISA dan mengakui bahwa mereka telah gagal menyelenggarakan pendidikan berkualitas untuk semua warganya.  Bukan mencari-cari alasan atau kambing hitam, pemerintah Jerman dengan serta merta mengambil langkah nyata untuk mereformasi sistem pendidikan mereka.  Berbagai riset dilakukan dan juga studi ke negara-negara yang lebih berhasil dalam bidang pendidikan seperti Finlandia.
2.        Kemampuan pemerintah Jerman mengambil langkah antisipatif dari permasalahan yang mungkin timbul.  Pemerintah menyadari kesenjangan sosial-ekonomi antara warga asli dan migran apabila dibiarkan dapat memicu permasalahan yang lebih besar bahkan bentrokan antar etnis.  Untuk itu dicari akar permasalahannya dan diupayakan pemecahannya untuk menghindari permasalahan lain yang mungkin timbul.  Pemerintah Jerman berhasil mengidentifikasi kesenjangan pendidikan sebagai penyebab kesenjangan di berbagai hal yang lain, untuk itu kebijakan dalam pendidikan menjadi inti dalam proses integrasi bukan sektor ekonomi yang menjadi perhatian.
3.        Keterbukaan masyarakat Jerman menerima perbedaan
Berada dalam lingkungan masyarakat global menyebabkan masyarakat Jerman terbiasa dengan perbedaan dan secara pelan-pelan mau membuka diri dan menerima perbedaan tersebut.  Diterimanya siswa berkebutuhan khusus di sekolah reguler menunjukkan bahwa generasi muda Jerman telah mampu menerima perbedaan dan hidup bersama-sama dalam perbedaan.
4.        Reformasi dalam pendidikan memiliki multiple effect
Reformasi yang dilakukan pemerintah dalam dunia pendidikan ternyata membuahkan hasil di berbagai bidang mulai dari politik, olah raga dan sosial-ekonomi.  Semakin banyaknya siswa dari kalangan pekerja migran yang melanjutkan pendidikan sampai ke universitas telah meningkatkan status sosial-ekonomi dalam masyarakat dan hal ini telah membuka peluang dan akses mereka ke bidang-bidang lain yang sebelumnya tidak dapat dijangkau warga migran seperti politik, riset-akademik, dan lain-lain.
Trauma masa lalu memang telah mengajarkan bangsa Jerman untuk menjadi bangsa yang lebih toleran dan menghargai perbedaan.  Namun itu saja tidak cukup generasi muda juga perlu dididik untuk menjadi bagian dari masyarakat majemuk.  Melalui pendidikan terbukti mampu mensejajarkan warga pendatang dengan warga asli dan memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk bersosialisasi dalam masyarakat multikultural dalam lingkup kecil.


SUMBER:
Tatsachen uber Deutschland. 1992. Frankfurt/Main: Societäts-Verlag.
Landesinstitut für Schulentwicklung.  2009.  The Educational System and Current Reform Projects in Baden-Württermberg. Stuttgart: States Institute for School Development.
Dr. Michael Blume.  2009.  World religions in Baden-Württermberg. Stuttgart: Ministry of State Baden-Württermberg,
Ministerium fur Kultur, Jugend and Sport Baden-Württermberg. 2008. Bilingualer Unterricht.    Stuttgart: Bildungsland.
Spektrum Schule. 2006.  Stuttgart:  Ministerium fur Kultur, Jugend and Sport Baden-Württermberg.
Internationale Gesamtschule Heidelberg. 2007.  So sind wir… Heidelberg: igh.
Dr. Peter Strutzberg.  2009.  Sistem Pendidikan di Jerman.    Berlin: Universitas Humboldt



FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 3:19 AM

0 comments:

Post a Comment