Pendidikan Dalam Membentuk Karakter Dan Kepribadian Bangsa
Wajah dunia pendidikan nasional merupakan representasi dari kondisi yang kini melanda bangsa ini. Realitas merebaknya tawuran, praktik asusila, dan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelajar adalah persoalan sosial yang terkait dengan pendidikan. Bahkan baru-baru ini disinyalir oleh berbagai kalangan bahwa pelajar mulai terseret dalam tindak terorisme yang sangat memprihatinkan.Sekalipun pendidikan bukan satu-satunya penyebab,tetapi sebagai salah satu instrument tentu ini harus menjadi perhatian yang serius.
Adanya beberapa anggapan yang mensinyalir bahwa faktor kondisi masyarakat yang multicultural merupakan faktor pencetus terjadinya berbagai peristiwa di dunia pendidikan berupa perilaku menyimpang yang cenderung terus meningkat dan meluas di kalangan anak didik, terutama tawuran dan pertentangan antar kelompok atau golongan perlu dicermati lebih dalam. Fakta Indonesia adalah negeri yang kaya budaya dan masyarakatnya majemuk adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi keberagaman suku, tradisi dan budaya, serta agama bukanlah penyebab munculnya persoalan di atas.
Adanya keberagaman seharusnya menjadikan negeri ini tetap kokoh bersatu dan tidak mudah tercerai berai. Dilihat dari aspek persoalan pendidikan maka perlu formula yang tepat dan mendasar sehingga persoalan keberagaman ini bukan sebagai faktor penghambat tercapainya cita-cita dan tujuan pendidian di negari ini. Adanya berbagai ragam perbedaan budaya, karakter kedaerahan yang beragam, justru merupakan potensi yang berharga untuk diproses dan dibentuk menjadi kekuatan yang akan melahirkan SDM unggul dengan latar belakang keberagamannya. Lahirnya SDM unggul sebagai hasil dari suatu proses pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertawa pada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri akan terwujud melalui suatu proses sistem pendidikan terintegrasi antara iptek dan imtak.
Dalam konteks individu, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Dengan pendidikan yang memadai, seseorang akan memperoleh ilmu pengetahuan yang akan menjadi penopang utama kehidupannya. Negara merupakan institusi yang bertanggungjawab dalam mengurusi semua urusan warganya merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab dalam mewujudkan suatu sistem pendidikan yang akan melahirkan generasi penerus kepemimpinan yang berkualitas. Hal ini juga karena konstitusi telah membebankan kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan pihak yang paling bertanggung jawab atas baik buruknya dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Kita berharap, pemerintah beserta struktur di bawahnya termasuk pihak institusi pendidikan bersungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan.
Contoh problema pendidikan yang bisa dikritisi adalah mengenai anggaran untuk sektor pendidikan yang cukup besar, yaitu 20 % dari total pengeluaran pemerintah . Namun pada faktanya hal tersebut belum berimbas nyata terhadap peningkatan kualitas dan mutu pendidikan di negeri ini. Tetap saja fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan kependidikan masih kurang merata. Para guru pun sebagian besar masih hidup di bawah kelayakan, meskipun ada upaya perbaikan dan pemerataan melalui program BKG yang kemudian menjadi TFG dan yang terbaru adanya program sertifikasi untuk tenaga kependidikan, namun pada pelaksanaannya belum bisa dinikmati oleh semua guru yang sebenarnya mungkin sudah memenuhi apa yang menjadi persyaratan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan negatif. Sering bergantinya kurikulum yang dimaksudkan untuk perbaikan dan penyempurnaan kualitas pendidikan pada realitasnya kadang tidak berimbas nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan kita.
Pola Kebijakan yang Timpang
Adanya fakta berbagai perilaku menyimpang yang semakin meluas di kalangan anak didik sepertinya semakin menjauhkan harapan terwujudnya tujuan pendidikan nasional secara utuh, yakni ilmu sekaligus akhlak. Saat ini pun mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Wacana ini muncul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapai maraknya korupsi beserta perilaku negatif lain, yang menunjukkan pelakunya tidak berkarakter baik. Timbulnya berbagai persoalan tindak kriminal oleh pelajar pun juga disinyalemen oleh pemerintahan sebagai akibat dari semakin berkurangnya penanaman nilai-nilai karakter dan kepribadian bangsa dikalangan pelajar.
Maka saat ini ada upaya pemerintah yang mencoba membuat solusi melalui penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dengan memasukan nilai pendidikan dan karakter bangsa di setiap silabus mata pelajaran. Diharapkan dari penyempurnaan itu akan dihasilkan output peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Diantara nilai- nilai yang ingin ditanamkan pada peserta didik dalam pendidikan karakter adalah: religius , jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
Kalau kita cermati, sebenarnya upaya memasukan nilai karakter bangsa dalam KTSP 2006 merupakan hal yang hampir sama dengan kebijakan memasukan komponen budi pekerti dalam penentuan kelulusan siswa. Hal ini bisa mengesankan sebagai kebijakan tambal sulam yang dirumuskan tanpa disertai analisis dan pemikiran mendalam. Dan itulah yang kerap dilakukan oleh Kemendiknas atau organ di bawahnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih bercorak kasuistik. Bahkan seringkali kebijakan dikeluarkan tanpa kesiapan teknis yang memadai, sehingga muncul kesenjangan dalam implementasinya di lapangan. Contoh yang cukup terlihat adalah penentuan kebijakan kurikulum. Kasus pemberlakuan KTSP 2006 sebagai revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tidak begitu saja dapat diterapkan secara mulus di sekolah. Artinya, KTSP yang dikonsepsikan untuk memberi keleluasaan kepada para guru agar bisa mengemas dan mengembangkan materi pembelajaran yang lebih berbobot, ternyata banyak guru tidak kuasa mengimplementasikannya di lapangan karena berbagai faktor, seperti keterbatasan sarana prasarana dan sosialisasi yang tidak merata, disamping itu kompetensi guru menjadi faktor kendala utamanya. Pola perumusan kebijakan yang seperti itu sudah tentu tidak mengarah kepada pencapaian perbaikan dan penyelesaian masalah pendidikan dalam arti yang sebenarnya.
Memasukkan nilai pendidikan karakter sebagai penyempurnaan KTSP 2006 merupakan suatu usaha yang patut dihargai dalam usaha terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan juga marupakan berbagai nilai kebaikan yang akan berguna bagi peserta didik dalam kehidupannya, tetapi lahirnya SDM unggul berkualitas sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional tidak cukup hanya dengan membenahi sekelumit komponen kurikulum ini. Kejelasan visi dan strategi dalam pengembangan pendidikan, penanganan arah kebijakan yang konsisten oleh orang-orang yang ahli dalam pendidikan dan pendekatan yang tidak sekuleristik dalam pengelolaan pendidikan merupakan hal mendasar yang harus mendapat perhatian.
Indonesia bukan negara agama, akan tetapi bangsa Indonesia dengan berbagai latar belakang budaya dan adat istiadatnya adalah bangsa yang beragama. Sebagai bangsa yang tidak lepas dari budaya yang dipengaruhi nilai-nilai agama yang dianut bangsa ini, seharusnya nilai religius, moral dan akhlak adalah masalah yang mendapat porsi yang lebih banyak dalam pengadopsian kurikulum pendidikan. Implementasinya dalam penyusunan kurikulum adalah tidak sebatas mengandalkan kurikulum berbasis kompetensi yang hanya menitikberatkan pencapaian nilai kognitif dan psikomotorik akan tetapi diperkaya dengan kompentensi yang berbasis nilai religius sebagai dasar pembentuk karakter dan kepribadian bangsa. Nilai religius disini hendaknya tidak hanya sebatas ketaatan peserta didik dalam menjalankan ibadah ritualnya ataupun bertoleransi tapi lebih dari itu hal paling mendasar yang harus ditanamkan pertama kali adalah kesadaran bahwa dia adalah mahluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta dan haruslah dalam setiap gerak langkah kehidupannya terikat dengan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta. Kesadaran yang mendalam tentang hal tersebut akan menghasilkan peserta didik yang selalu berusaha untuk mengimplementasikan seluruh nilai-nilai kebaikan dan berusaha menghindari hal-hal negatif dengan penuh kesadaran.
Sekilas tentang Sistem Pendidikan Alternatif
Dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional, tidak ada salahnya jika kita melihat suatu sistem pendidikan alternatif yang bisa diadaptasi dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan ini merupakan sistem pendidikan Islam yang terbukti dalam lintasan sejarah telah berhasil melahirkan para pemikir-pemikir handal yang bisa menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan dan pada saat yang sama mereka adalah manusia-manusia dengan kualitas akhlak, budi pekerti dan karakter serta kepribadian yang mengagumkan. Peradaban yang dihasilkannya, belum tertandingi oleh bangsa mana pun sampai kini. Tertulis dalam catatan sejarah nama-nama besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rush, AL-Khawarizmi, Ibnu Firnas, Al- Razi dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah bukti nyata hasil suatu sistem pendidikan terintegrasi antara iptek dan imtak.
Dalam Islam, menuntut ilmu adalah suatu kewajiban dan diakui sebagai salah satu kebutuhan pokok setiap manusia, sehingga Islam mewajibkan Negara bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, bahkan Negara harus memberikannya secara cuma-cuma tanpa mengabaikan kualitas. Islam mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan atau wajib belajar tanpa memungut biaya kepada seluruh rakyatnya,baik muslim ataupun non muslim, dari jenjang pendidikan terendah (TK) hingga jenjang menengah atas (SMU). Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pemerintah harus memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siapa saja yang berminat dan punya kecakapan intelektual, tidak menetapkan syarat-syarat yang menyulitkan, tanpa biaya, dan tanpa membatasi usianya. Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dengan menyediakan anggaran yang secukup-cukupnya. Dalam hal ini termasuk memberikan insentif para guru sehingga kesejahteraan hidup mereka benar-benar terjamin dan pembangunan sarana dan prasarana, seperti lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi dan perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di berbagai tempat, merupakan hal yang sangat diperhatikan.
Adapun berkenaan dengan kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan, Islam menetapkan prinsip yang sederhana tapi sangat tegas dan jelas. Kurikulum pendidikan harus berlandaskan aqidah Islamiyah, karenanya seluruh materi pembelajaran atau bidang studi serta metodologi penyampaiannya harus dirancang tanpa adanya penyimpangan dalam proses pendidikan dari asas tersebut sedikit pun. Strategi pendidikan diarahkan pada pembentukan dan pengembangan pola pikir dan pola jiwa Islami. Semua disiplin ilmu disusun berdasarkan strategi ini. Membentuk kepribadian Islam dan membekali individu dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia merupakan tujuan asasi dari pendidikan. Adapun bagi warga Negara yang bukan muslim mereka tetap diberikan kebebasasan dalam menganut keyakinannya dengan tetap memiliki hak mendapatkan pelayanan yang sama dalam memperoleh ilmu pengetahuan .
Referensi
Prasetyo, A. dan Emusti Rivasintha. 2011. Konsep, Urgensi dan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Tulisan di Internet
Ahmed, S., Anas Abdul Mutaqim dan Abdul Sattar. 1999. Islam an Ilmu Pengetahuan
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
0 comments:
Post a Comment