Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturisme tersebut.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan hingga krisis ekonomi yang berimbas menjadi krisis multidimensi, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, konflik yang tiada henti di Papua, tawuran antar pelajar dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan agent of change bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Implementasi pendidikan multikultur dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan siswa dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Secara generik, pendidikan multikultur memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultur adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam.
Tujuan penulisan ini secara umum adalah untuk menyadarkan kepada kita semua betapa pentingnya implementasi pendidikan multikultur agar terciptanya sebuah harmoni sosial dengan tatanan masyarakat yang bermoral dan berjalan untuk kebaikan bersama.
Adapun tujuan penulisan ini secara spesifik adalah untuk menjelaskan sejauh mana implementasi pendidikan multikultur tersebut pada institusi pendidikan baik di dalam bidang kurikulum, kesiswaan maupun di dalam proses pembelajaran.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan hingga krisis ekonomi yang berimbas menjadi krisis multidimensi, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, konflik yang tiada henti di Papua, tawuran antar pelajar dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan agent of change bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Implementasi pendidikan multikultur dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan siswa dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Secara generik, pendidikan multikultur memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultur adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam.
Tujuan penulisan ini secara umum adalah untuk menyadarkan kepada kita semua betapa pentingnya implementasi pendidikan multikultur agar terciptanya sebuah harmoni sosial dengan tatanan masyarakat yang bermoral dan berjalan untuk kebaikan bersama.
Adapun tujuan penulisan ini secara spesifik adalah untuk menjelaskan sejauh mana implementasi pendidikan multikultur tersebut pada institusi pendidikan baik di dalam bidang kurikulum, kesiswaan maupun di dalam proses pembelajaran.
Perjalanan Multikulturisme dan Wacana Pendidikan Multikultur
Konsep pendidikan multikultur di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional di negaranya (Muhaemin, 2004).
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada (Muhaemin, 2004).
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat (Muhaemin, 2004).
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultur yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultur. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultur menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultur, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial (Muhaemin, 2004).
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultur sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultur menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran siswa sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultur dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultur secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Wacana multikulturisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Pendidikan multikultur sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultur pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultur yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultur.
Multikulturisme juga secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multi-lingual.
Sedangkan secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefenisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin (2004), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultur (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultur merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultur itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu :
1. Content integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Exercise
Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, siswa merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat siswa, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum siswa. Setidaknya secara umum siswa memiliki lima ciri, yaitu :
1. Siswa dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya;
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Siswa mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Siswa melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultur, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultur, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultur sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti akan perbedaan (accepted difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultur melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultur mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dapat tercapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Istilah "pendidikan multikultur" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultur. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultur. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultur mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultur yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultur sebagai pengalaman moral manusia.
Pendidikan multikultur mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen (1996):
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia
Di Indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultur relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultur yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultur. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultur yang mencakup revisi atau materi pembelajara dan termasuk revisi buku-buku teks. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi konflik berkepanjangan di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultur tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri seperti yang diungkapkan Muhaemin (2004). Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok juga dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultur di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (1980), pendidikan multikultur dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultur dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultur tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultur lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Kebijakan Yang Diperlukan
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik, makanan kesukaan dan lain sebaginya yang secara struktur memiliki perbedaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Fenomena dalam masyarakat yang merupakan kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Disisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berinteraksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat, diperlukan dasar-dasar sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu siswa. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan multikultural, diantaranya:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh sejarah dan situasi kondisi lingkungan sekitar.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima kebijakan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama.
Di Indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultur relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultur yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultur. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultur yang mencakup revisi atau materi pembelajara dan termasuk revisi buku-buku teks. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi konflik berkepanjangan di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultur tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri seperti yang diungkapkan Muhaemin (2004). Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok juga dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultur di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (1980), pendidikan multikultur dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultur dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultur tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultur lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Kebijakan Yang Diperlukan
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik, makanan kesukaan dan lain sebaginya yang secara struktur memiliki perbedaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Fenomena dalam masyarakat yang merupakan kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Disisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berinteraksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat, diperlukan dasar-dasar sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu siswa. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan multikultural, diantaranya:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh sejarah dan situasi kondisi lingkungan sekitar.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima kebijakan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama.
Konsep Multikultural Pada Kurikulum Pendidikan
Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku bangsa, golongan maupun budaya lokal perlu menyusun konsep pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional, Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Dengan demikian, pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Menurut Hamid Hasan (2000), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai proses maupun sebagai hasil.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai pendidikan tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan objek studi harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan Kewarganegaraan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak dan budi pekerti, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.
Pendidikan multikultur melalui pendidikan Kewarganegaran dan pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur harus dapat diukur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:
1. Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya.
2. Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa.
3. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.
5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Dengan kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka pembelajaran multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa, bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.
Sejalan dengan konsepsi ini, John Dewey (1964) merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum. “Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli siswa untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”.
Agar pendidikan multikultur ini dapat menghasilkan output atau lulusan yang tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada pada setiap institusi pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang ada maka penanaman nilai-nilai ini tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama saja tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran lain. Dimana penanaman nilai multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau pendidik baik dalam pembelajaran di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari. Contoh penanaman nilai multikultur antara lain tidak membeda-bedakan siswa, membentuk kelompok diskusi secara heterogen, pengambilan keputusan secara demokratis, memberi kebebasan bagi siswa dalam mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai budaya dan bahasa dan lain-lain.
Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam sebuah design pengembangan kurikulum yang integratif, sequentif dan didukung dengan lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur. Pendidikan multikultur, secara substantif harus bisa menjadi bagian integral baik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargnegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama ataupun mata pelajaran lain sebagai pendidikan nilai. Tema-tema multikultur harus disajikan dalam skope yang komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai kompetensi yang telah disepakati dan ditetapkan.
Pendidikan Multikultural Pada Bidang Kesiswaan
Pendidikan multikultural pada institusi pendidikan selain didalam bidang kurikulum diperlukan pula dalam bidang kesiswaan. Pendidikan tidak hanya bersifat akademik saja, tetapi ada pula yang bersifat non akademik. Dalam lembaga-lembaga pendidikan, pendidikan yang bersifat non akademik biasanya dimasukkan dalam ekstrakurikuler ataupun OSIS/BEM.
Kegiatan-kegiatan kesiswaan merupakan suatu wadah atau kegiatan-kegiatan yang positif agar siswa dapat menyalurkan bakat, minat ataupun kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan non akademik. Kegiatan ekstrakurikuler antara lain dalam bidang olah raga, seni, ilmu pengetahuan ataupun keagamaan. Kegiatan-kegiatan kesiswaan diantaranya adalah kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dapat menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan hidup serta menghargai keberadaan perbedaan yang ada. Setiap siswa memperoleh hak yang sama untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diminati tanpa memandang asal dan latar belakangnya. Di setiap kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler disisipkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kebiasaan multikultur dengan sikap dan perilaku yang toleran antar teman, kebersamaan, solideritas dan bisa saling bekerja sama dengan baik.
Contoh kegiatan kesiswaan intrakurikuler seperti lomba-lomba yang bersifat nasionalisme ataupun keagamaan, dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan juga melatih kerja sama diantara siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kegiatan outbond yang dikemas dengan berbagai permainan dapat menumbuhkan nilai kerja sama dan juga kebersamaan tanpa memandang ras, etnik, bahasa, agama dan lain-lain. Kegiatan pesantren ataupun keagamaan lain yang didalamnya bisa menumbuhkan nilai religious, toleransi juga dapat melatih kepedulian sosial terhadap sesama tanpa memandang perbedaan, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan intrakurikuler ataupun ekstrakurikuler yang bisa disisipkan penanaman nilai-nilai multikultur dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran
Dari aspek metode strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu:
Pendidikan multikultural pada institusi pendidikan selain didalam bidang kurikulum diperlukan pula dalam bidang kesiswaan. Pendidikan tidak hanya bersifat akademik saja, tetapi ada pula yang bersifat non akademik. Dalam lembaga-lembaga pendidikan, pendidikan yang bersifat non akademik biasanya dimasukkan dalam ekstrakurikuler ataupun OSIS/BEM.
Kegiatan-kegiatan kesiswaan merupakan suatu wadah atau kegiatan-kegiatan yang positif agar siswa dapat menyalurkan bakat, minat ataupun kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan non akademik. Kegiatan ekstrakurikuler antara lain dalam bidang olah raga, seni, ilmu pengetahuan ataupun keagamaan. Kegiatan-kegiatan kesiswaan diantaranya adalah kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dapat menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan hidup serta menghargai keberadaan perbedaan yang ada. Setiap siswa memperoleh hak yang sama untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diminati tanpa memandang asal dan latar belakangnya. Di setiap kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler disisipkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kebiasaan multikultur dengan sikap dan perilaku yang toleran antar teman, kebersamaan, solideritas dan bisa saling bekerja sama dengan baik.
Contoh kegiatan kesiswaan intrakurikuler seperti lomba-lomba yang bersifat nasionalisme ataupun keagamaan, dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan juga melatih kerja sama diantara siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kegiatan outbond yang dikemas dengan berbagai permainan dapat menumbuhkan nilai kerja sama dan juga kebersamaan tanpa memandang ras, etnik, bahasa, agama dan lain-lain. Kegiatan pesantren ataupun keagamaan lain yang didalamnya bisa menumbuhkan nilai religious, toleransi juga dapat melatih kepedulian sosial terhadap sesama tanpa memandang perbedaan, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan intrakurikuler ataupun ekstrakurikuler yang bisa disisipkan penanaman nilai-nilai multikultur dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran
Dari aspek metode strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu:
(a) lingkungan fisik (physical environment),
(b) lingkungan sosial (human environment), dan
(c) gaya pengajaran guru (teaching style).
Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Dalam proses pembelajaran guru tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan lain-lain.
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi:
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi:
(a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia,
(b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda otoriter, demokratis, dan bebas untuk meningkatkan hak-hak siswa,
(c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan
(d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas.
Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut:
(a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan
(b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu:
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu:
(a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas,
(b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,
(c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender;
(d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas,
(e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan
(f) berorientasi pada program dan masa depan.
Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu:
(a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa,
(b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan
(c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.
Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran.
Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta damai, Percaya Diri, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.
Contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang kuliah untuk menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru atau dosen (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif), pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas atau ruang kuliah (nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-lain. Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam kurikulumnya, kegiatan-kegiatan siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran ataupun perkuliahan
Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran.
Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta damai, Percaya Diri, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.
Contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang kuliah untuk menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru atau dosen (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif), pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas atau ruang kuliah (nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-lain. Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam kurikulumnya, kegiatan-kegiatan siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran ataupun perkuliahan
Sumber:
Abdullah Aly. 2003. “Menggagas Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia”, dalam Jurnal Ishraqi, Volume II Nomor 1, Januari-Juli 2003, hlm. 60-73.
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Dewey, John. 1964. Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S.
Garcia, Ricardo L. (1982). Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models, Strategies. New York: Harper & Row Publisher.
Gambar: Pendidikan Multikultural
0 comments:
Post a Comment