|Pembahasan Mengenai Konservasi Ekosistem Laut|
Laut merupakan ekosistem yang paling besar dan stabil. Laut diperkirakan merupakan ekosistem pertama karena menurut sebuah teori, semua kehidupan di alam ini berasal dari laut. Seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan di atas, sebagian besar permukaan bumi ditutupi oleh laut sehingga laut adalah tempat yang paling banyak ditempati oleh organism baik itu hewan maupun tumbuhan.
Pada awalnya laut memberikan andil yang cukup besar pada kehidupan. Namun karena adanya eksploitasi secara besar-besaran, fungsi laut menjadi semakin berkurang. Oleh sebab itu perlu diadakan pelestarian terhadap ekosistem laut seperti melakukan konservasi. Konservasi dalam bahasa inggris disebut conservation yang artinya pengawetan atau perlindungan alam. Konservasi adalah upaya yang dilakukan untuk pemeliharaan dan pengembangan alam menurut status aslinya. Dengan kata lain dalam konservasi laut diharapkan agar mampu untuk melindungi dan mengembangkan sumberdaya yang ada dilaut baik berupa hewan, tumbuhan, dan lain-lain sehingga tercipta alam laut yang alami tanpa diusik oleh tangan-tangan usil manusia.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dng jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; proses menyaput bagian dalam badan mobil, kapal, dsb untuk mencegah karat
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :
- Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
- Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
- (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
- Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.
- Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
- Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/’tropical rain forest’ yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
- Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
- Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
- Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
- Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
- Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
Dalam menentukan kawasan konservasi, ada hal-hal yang harus diperhatikan kriterianya (MacKinon,1990) yaitu:
- Karakteristik keunikan ekosistem, seperti misalnya penyu,
- Spesies yang diminati, nilai kelangkaan atw terancam.
- Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies
- Ciri geofisik yang bernilai sumber pengetahuan atau estetis.
- Fungsi perlindungan hidrologi, oseonografi,
Jadi konservasi ekosistem laut merupakan upaya untuk melindungi dan mengembangkan potensi ekosistem yang ada di laut dan factor-faktor yang mempengaruhinya sehingga tercipta kelestarian ekosistem.
1. Konservasi Ekositem Pantai
Pantai merupakan ekosistem yang terletak antar garis air surut terendah dengan air pasang tertinggi. Ekosistem ini berkisar dari daerah rendah yang substratnya berbatu dan berkerikil (yang mengandung flora dan fauna dalam jumlah terbatas) hingga daerah berpasir aktif (dimana populasi bakteri, protozoa, dan metozoa ditemukan) serta daerah yang bersubstrat liat dan lumpur (dimana ditemukan sejumlah besar komunitas binatang yang jarang muncul ke permukaan).
Banyak diantara pantai-pantai di Indonesia yang mengalami abrasi, mulai dari yang tingkat abrasinya rendah, sedang, sampai yang tingkat abrasinya parah/tinggi. Dalam upaya mengatasi abrasi ini sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melakukan tindakan yang berwawasan konservasi, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya yang sifatnya sementara saja. Pencegahan ataupun penanggulangan abrasi dengan berwawasan konservasi ini tentunya akan memberikan berbagai keuntungan bagi lingkungan (alam) yang akan membawa banyak imbas positif dalam kehidupan manusia. Salah satu cara mencegah ataupun mengatasi abrasi yaitu dengan cara penanaman bakau. Sebenarnya telah banyak orang yang mengetahui fungsi dan kegunaan hutan bakau bagi lingkungan. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih banyak pula yang belum memanfaatkan hutan bakau sebagai sarana untuk mencegah atau mengatasi abrasi.
Yang sering terlihat, dalam usaha mengatasi abrasi di daerah pantai, pemerintah di beberapa daerah melakukan kebijakan pencegahan abrasi dengan membangun pemecah gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi abrasi yang terjadi tanpa dibarengi dengan usaha konservasi ekosistem pantai (seperti penanaman bakau dan/atau konservasi terumbu karang). Akibatnya dalam beberapa tahun kemudian abrasi kembali terjadi karena pemecah gelombang buatan tersebut tidak mampu terus-menerus menahan terjangan gelombang laut. Namun payahnya, seringkali pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam menetapkan kebijakan selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi abrasi. Yang sering terjadi di lapangan, ketika pemecah gelombang telah rusak, lagi-lagi pemerintah setempat membangun pemecah geombang buatan dan lagi-lagi tanpa dibarengi dengan penanaman bakau atau konservasi terumbu karang yang rusak. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu rutinitas yang bila difikir lebih jauh, tetunya hal tersebut akan berimbas terhadap dana yang harus dikeluarkan daerah setempat.
Seandainya, dalam mengatasi abrasi tersebut kebijakan yang diambil pemerintah yaitu dengan membangun pemecah gelombang buatan (pada awal usaha mengatasi abrasi atau jika kondisi abrasi benar-benar parah dan diperlukan tindakan super cepat) dengan dibarengi penanaman bakau di sekitar daerah yang terkena abrasi atau bahkan bila memungkinkan dibarengi pula dengan konservasi terumbu karang, tentunya pemerintah setempat tidak perlu secara berkala terus menerus membangun pemecah gelombang yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun sejak penanaman, tanaman-tanaman bakau tersebut sudah cukup untuk mengatasi atau mengurangi abrasi yang terjadi.
2. Konservasi ekosistem estuari
Estuari merupakan suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut.
Salah satu bagian wilayah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan cukup tinggi adalah estuaria (muara sungai). Daerah ini merupakan ekosistem produktif yang setara dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang, karena perannya adalah sebagai sumber zat hara, memiliki komposisi tumbuhan yang beragam sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun, serta sebagai tempat terjadinya fluktuasi permukaan air akibat aksi pasang surut. Kondisi ekosistem yang produktif ini kemudian menjadikannya sebagai salah satu wilayah yang memiliki tingkat produktifitas tinggi. Produktifitas merupakan suatu proses produksi yang menghasilkan bahan organik yang meliputi produktifftas primer ataupun sekunder. Produktifitas primer pada wilayah estuaria dapat di artikan sebagai banyaknya energi yang diikat atau tersimpan dalam aktifltas fotosintesis dari organisme produser, terutama tanaman yang berklorofil dalam bentuk-bentuk substansi organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Produktifftas ini dilakukan oleh organisme ‘outotroph’ seperti juga semua tumbuhan hijau mengkonversi energi cahaya ke dalam energi biologi dengan fiksasi karbondioksida, memisahkan molekuler air dan memproduksi karbohidrat dan oksigen.
Estuari merupakan wilayah yang sangat dinamis (dynamics area), rentan terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan baik fisik maupun biologi (ekosistem) dari dampak aktifitas manusia di darat ataupun pemanfaatan sumberdaya perairan laut secara berlebihan (over-exploited). Beberapa hal yang dimungkinkan menjadi sumber kerusakan dan perubahan fisik lingkungan wilayah estuaria antara lain:
- Semakin meningkatnya penebangan hutan dan jeleknya pengelolaan lahan di darat, dapat meningkatkan sedimentasi di wilayah estuaria. Llaju sedimentasi di wilayah pesisir yang melalui aliran sungai bisa dijadikan sebagai salah satu indikator kecepatan proses kerusakan pada wilayah lahan atas, sehingga dapat menggambarkan kondisi pada wilayah lahan atas. Sedimen yang tersuspensi masuk perairan pantai dapat membahayakan biota laut, karena dapat menutupi tubuh biota laut terutama bentos yang hidup di dasar perairan seperti rumput laut, terumbu karang dan organisme lainnya. Meningkatnya kekeruhan akan menghalangi penetrasi cahaya yang digunakan oleh orgnisme untuk pemapasan atau berfotosintesis. Banyak-nya sedimen yang akhirnya terhenti atau terendapkan di muara sungai dapat mengubah luas wilayah pesisir secara keseluruhan, seperti terjadinya perubahan garis pantai, berubahnya mulut muara sungai, terbentuknya delta baru atau tanah timbul, menurunnya kualitas perairan dan biota-biota di muara sungai.
- Pola pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang tidak memperhatikan daya dukung produktifitas pada suatu kawasan estuaria, seperti sumberdaya perikanan, sehingga kawasan muara sungai tersebut terus mendapat tekanan dan menyebabkan menurunnya produktifitasnya.
- Meningkatnya pembangunan di lahan atas (up-land) menjadi kawasan Industri, pemukiman, pertanian menjadikan sumber limbah yang bersama-sama dengan aliran sungai akan memperburuk kondisi wilayah estuaria. Lebih dan 80% bahan pencemar yang ditemukan di wilayah pesisir dan laut berasal dari kegiatan manusia di darat UNEP (1990).
- Kegiatan-kegiatan kontruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian, seperti pembuatan saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan akan mengganggu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan ini meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air. Pengurangan debit air yang di alirkan bagi irigasi, dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di daerah estuaria danmenyebabkan jangkauan intrusi garam semakin jauh ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada sebagian ekosistem perairan pantai itu sendiri, juga pada ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut sehingga berakibat intrusi air laut pada air tanah.
Ancaman terhadap ekosistem estuaria memilki dampak yangsangat besar terhadap kehidupan organisme yang berada pada daerahtersebut. Ancaman ekosistem estuaria di antaranya adalah ancamanpendangkalan, pencemaran, dan ancaman Eutrofikasi. Setiap ancamanmemiliki solusi dan penaggulangan masing-masing. Sepertipenanggulangan Pendangkalan di lakukan dengan cara reboisasi gunungtandus agar tidak terjadi erosisi yang dapat mempercepat laju sedimentasidan mengakibatkan pendangkalan. Ancaman pencemaran di tanggulangidenga beberapa cara di antaranya sosialasi kepada masyarakat akanpentingnya ekosisitem estuaria sehingga masyarakat tidak membuangsampah di daerah estuaria. Penanggulangan Eutrofikasi di negara-negaramaju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan ( green consumers ) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari -hari yang mencantumkan label"phosphate free" atau "environmentally friendly". Cara lain yang harus ditempuh adalah:
1. Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land)
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak kerusakan pada ekosistem perairan wilayah estuaria yaitu dengan menata kembali sistem pengelolaan daerah atas. Khususnya penggunaan lahan pada wilayah daratan yang memiliki sungai. Jeleknya pengelolaan lahan atas sudah dapat dipastikan akan merusak ekosistem yang ada di perairan pantai. Oleh karena itu, pembangunan lahan atas harus memperhitungkan dan mempertimbangkan penggunaan lahan yang ada di wilayah pesisir. Jika penggunaan lahan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan tangkap, budidaya atau konservasi maka penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif. Perairan pesisir yang penggunaan lahannya sebagai lahan budidaya yang memerlukan kualitas perairan yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya industri yang memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau limbah. Limbah sebelum dibuang ke sungai harus melalui pengolahan terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan.
2. Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
Wilayah estuaria yang berfungsi sebagai penyedia habitat sejumlah spesies untuk berlindung dan mencari makan serta tempat reproduksi dan tumbuh, oleh karenanya di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya di wilayah estuaria diperlukan tindakan-tindakan yang bijaksana yang berorientasi pemanfaatan secara optimal dan lestari. Pola pemanfatan sebaiknya memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
3. Konsenvasi Hutan Mangrove
Perlindungan hutan mangrove pada wilayah estuaria sangat penting, karena selain mempunyai fungsi ekologis juga ekonomis. Secara ekologis hutan mangrove adalahsebagai penghasil sejumlah besar detritus dari serasah, daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground) dan sebagai tempat pemijahan (spawning ground). Secara fisik, hutan mangrove dapat berperan sebagai filter sedimen yang berasal dari daratan melalui sistem perakarannya dan mampu meredam terpaan angin badai. Secara ekonomis, dalam konser-vasi hutan mangrove juga akan diperoleh nilai ekonomis sangat tinggi. Nilai ekonomi total rata-rata sekitar Rp 37,4 juta/ha/tahun yang meliputi manfaat langsung (kayu mangrove), manfaat tidak langsung (serasah daun, kepiting bakau, nener bandeng ikan tangkap dan ikan umpan), option value dan existence value. Upaya konservasi tersebut juga mempunyai nilai dampak positip terhadap sosial-ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah estuaria, yaitu mampu memberikan beberapa alternatif jenis mata pencaharian dan pendapatan.
4. Konservasi mangrove dan bakau
Mangrove/bakau merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang khas tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berpasir, atau muara sungai, seperti pohon api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora spp), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera),nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta buta (Exoecaria)
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan tanin (Soedjarwo, 1979). Masing-masing kawasan pantai dan ekosistem mangrove memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alamiah dan faktor campur tangan manusia.
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon- pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ciri dan Karakteristik Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:
- Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
- Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;
- Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
- Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC;
- Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
- Arus laut tidak terlalu deras;
- Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
- Topografi pantai yang datar/landai.
Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk. Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisi (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
- Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
- Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
- Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
- Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik;
- Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
- Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
- Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .
Karena fungsi dari ekosistem mangrove ini yang demikian kompleks maka sebagai agent of change diatas bumi ini, manusia perlu untuk melakukan konservasi. Melihat betapa pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia dibutuhkan kesadran dalam menjaga keseimbangan kelestarian ekosistem mangrove. Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif dalam rangka perencanaan dan pengelolaan pembangunan ekosistem hutan mangrove. Hal ini sudah menjadi konsekuensi terhadap responsibility pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan potensi kekayaan laut. Lahirnya kebijakan yang sentralistik dianggap telah menghasilkan paradigma pembangunan yang reaktif merupakan semangat untuk mewujudkan tatanan masyarakat partisipatif di era otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan kemampuan menyediakan ruang publik yang lebar bagi munculnya partisipasi masyarakat di dalamnya, tidak hanya secara pasif dimana partisipasi tersebut ditentukan oleh struktur kekuasaan di atasnya juga secara aktif dimana masyarakat memahami sepenuhnya atas kebutuhan-kebutuhannya, kemudian memilih, merumuskan dan mengupayakan agar dapat tercapai. Adapun strategi konservasi yang ditawarkan yaitu dengan menggunakan metode "6R". Di bawah ini adalah tahap atau perencanaan pembangunankonservasi ekosistem mangrove terdiri dari:
- Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan mangrove sekaligus melakukan aktivitas penghijuan. untuk melakukan restorasi perlu memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, dan pemilihan spesies
- Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang berparadigma berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif ekonomi yang cenderung merusak akan mampu diminimalisasi
- Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka dan tanggap terhadap problematika kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dapat ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan
- Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan peran ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan biota laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan menjadikan kawasan mangrove sebagai area konservasi yang berbasis pada pendidikan (riset) dan ekowisata
- Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran bersama sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat. Wujud kongkritnya yaitu mengoptimalkan Kelompok Tani Mangrove. Contoh Kelompok Tani Mangrove "Sidodadi Maju" (KTMSM).
- Regulasi, Kabupaten Rembang memiliki Perda No 8 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Rembang. Akan tetapi implementasi Perda tersebut tidak berjalan secara efektif masih banyak pengambilan terumbu karang maupun perusakan kawasan mangrove yang diperuntukkan bagi pembangunan pemukiman. Oleh sebab itu dalam kerangka pembuatan kebijakan hendaknya memperhatikan efektifitas keberlakuan hukum antara lain substansi, kultur, dan aparatur.
Arifin, Arief. 2003. Hutan Mangrove Fungsi Dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kansius
Gambar: Ekosistem Laut
0 comments:
Post a Comment