Politik Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam

Posted by

| A.    Politik, Pemerintah dan Pendidikan Islam |
1.      Politik dan Pemerintah serta Hubungannya dengan Pendidikan
       Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.
       Sementara pemerintah merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang terbagi dalam dua pengertian yuridis, yaitu: (1) selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara; (2) selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara). Dengan demikian bahwa pemerintah adalah pemengang kekuasaan.
       Berdasarkan uraian di atas dalam prakteknya, politik dan pemerintah berjalan berdampingan. Artinya politik dan pemerintah itu saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik dalam pelaksanaannya di pemerintah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang selanjutnya memberikan pengaruh terhadap segala aspek yang ada di suatu bangsa itu sendiri.
       Selanjutnya mengenai pengertian kebijakan itu sendiri. Kebijakan menurut Anderson yang dikutip oleh Ali Imron mengemukakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah. Sementara Budiarjo berpendapat bahwa kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
       Pengertian di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut merupakan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.
       Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.
       Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi.
       Bila kata kebijakan dikaitkan dengan kata pendidikan maka akan menjadi kebijakan pendidikan (educational policy). Pengertian kebijakan pendidikan sebagaimana dikutip oleh Ali Imran dari Carter V. Good bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situsional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga serta merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat tercapai.
       Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama dan sebagainya.
       Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan  merupakan sub sistem dari kebijakan negara atau pemerintah secara keseluruhan.

2.      Pendidikan Islam
       Telah disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Pengertian ini masih bersifat sekuler, maka perlu dirujuk pengertian pendidikan dalam ajaran Islam.
       Pendidikan Islam menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip oleh Ramayulis adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil). Sementara Ramayulis mengartikan pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam.
       Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam menekankan pada peserta didik untuk menjadi insan kamil melalui bimbingan, pengarahan dan pengawasan dari seorang pendidik yang sumber ajarannya pada Al-Qur’an, agar tercipta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

| B. Pengaruh Politik Pemerintah terhadap Pendidikan Islam |
1.      Pendidikan Islam Pada Zaman Belanda
       Sebelum kedatangan bangsa Eropa -termasuk Belanda- pendidikan Islam sudah ada dan mulai berkembang ke seluruh pelosok tanah air. Walaupun pelaksanaannya masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan perkembangan setelah kedatangan bangsa Belanda. Pendidikan Islam berjalan dan berkembang siring dengan dakwah dan penyebaran Islam itu sendiri, baik dikalangan masyarakat maupun istana raja-raja. Pendidikan Islam pada saat itu mengambil bentuk halaqah, dan tatap muka perorangan di mushalla, masjid, maupun pesantren.
       Ketika Belanda datang, pendidikan Islam mulai mengalami hambatan. Rintangan dan tantangan untuk berkembang lebih maju seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman itu terutama ketika dihadapkan dengan persaingan melawan kristenisasi yang justru dilakukan oleh kaum penjajah mulai dari bangsa Portugis hingga Belanda. Belanda membuat berbagai peraturan dan kebijakan yang intinya menghambat dan menghalangi perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
       Belanda membawa dan menyebarkan misi Kristen sekaligus menguasai bumi nusantara. Motivasi ini sering dikenal dengan istilah “Tiga G” (Gold, Gospel, dan Glory). Gold (emas) yang berkaitan dengan ekonomi. Gospel (Injil, kitab suci) yakni berkaitan dengan misi penyebaran agama Kristiani, dan Glory (kejayaan) yakni berkaitan dengan politik atau kekuasaan. Kebenaran misi ini dapat terlihat di hak octroi VOC yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.” Sehubungan dengan octroi ini Gubernur Van den Capellen tahun 1819 M merencanakan berdirinya sekolah dasar untuk pribumi agar dapat membantu Belanda. Dalam surat edarannya kepada bupati yang menyatakan bahwa “Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara.”
       Sikap Belanda terhadap pendidikan menurut Rasi’in dalam Abduddin Nata setidaknya dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yaitu: (1) Pendidikan diselenggarakan dengan tujuan kemajuan dan kemampuan yang berkualitas bagi orang-orang Belanda. (2) Pendidikan diselenggarakan dengan mkasud untuk menghasilkan tenaga-tenaga atau pekerja yang murah untuk membantu kepentingan Belanda. (3) Pendidikan diselenggarakan dengan tujuan menanamkan misi Kristen dan mengkristenkan orang-orang pribumi. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan maksud untuk memelihara dan mempertahankan perbedaan sosial.
       Oleh karena itu, menurut Ary H. Gunawan yang dikutip oleh Rasi’in dalam Abuddin Nata bahwa Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tujuannya tidak lain “membentuk kelas elite dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendahan/kasar”. Sedangkan terhadap pendidikan Islam, Belanda cenderung menghambat dan menghalangi karena dinilai sebagai salah satu faktor yang akan mengancam keberlangsungan kolonial. Hambatan dan halangan yang dibuat oleh Belanda antara lain dari adanya peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh kolonial, yaitu:
a)      Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama “Ordonansi Guru”.
b)      Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Guru” kedua yang isinya mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara berkala. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah colonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di Negara ini.
c)      Pada tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Sekolah Liar” (Wilde School Ordonantie). Ordonansi ini berisi kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh Belanda.

       Menurut Deliar Noer dan H. Maksum yang dikutip oleh Rasi’in dalam Abuddin Nata, bahwa latar belakang lahirnya ordonansi-ordonansi ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan ordonansi.
       Dengan demikian sebagai penjajah, Belanda telah melakukan diskrimininasi terhadap bangsa pribumi, baik secara sosial, ras, politik, maupun agama.
       Perlakuan diskriminatif pemerintahan Belanda tersebut tidak membuat rakyat Indonesia tinggal diam. Menurut H. Aqib Suminto yang dikutip oleh Rasi’in dalam Abuddin Nata, pesantren (kaum tradisional) yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda dinilai sebagai uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram karena dianggap sebagai identitas Belanda.
       Sementara sikap yang ditempuh oleh orang-orang Islam (kaum terpelajar) di luar pesantren (kaum modernis). Mereka justru mengambil sikap proporsional. Tidak antipasti, tetapi juga tidak terlalu dekat dengan Belanda karena dalam pandangan mereka, umat Islam harus banyak belajar kepada orang Belanda agar pintar dan berwawasan luas, sehingga tidak dibodohi dan dijajah terus menerus.
       Dengan demikian, terdapat dua sikap yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam merespon kebijakan Belanda, khususnya yang berkenaan dengan pendidikan, yaitu sikap kooperatif dan nonkooperatif.
       Sikap kooperatif, yaitu sikap yang dilakukan para pelajar muslim (kaum modernis, seperti Muhammdiyah) yang memperlakukan Belanda sebagai mitra, bukan sebagai musuh yang harus ditakuti, sehingga bisa diajak kerjasama dalm membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi (Islam). setidaknya mereka dapat dimanfaatkan untuk sebanyak-banyaknya keuntungan bagi bangsa Indonesia dalm bidang pendidikan. Salah satu hasil pada waktu itu adalah mendapatkan subsidi pendidikan sebagaimana sekolah-sekolah lain yang bekerjasama dengan Belanda. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kaum modernis pun memutuskan hubungan untuk tidak bekerjasama karena Belanda semakin memperlakukan bangsa Indonesia dengan semena-mena.
       Sedangkan sikap nonkooperatif, adalah sikap yang menjadikan Belanda sebagai musuh yang harus dibenci dan dijauhi. Dalam hal ini tidak dibenarkan seseorang bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Sikap nonkooperatif ini banyak dilakukan oleh para ulama salaf yang memimpin pesantren-pesantren.
       Menurut Zuhairini yang dikutip oleh Rasi’in dalam Abuddin Nata, mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang pada hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Imam Hibban).
       Mereka juga berpegang pada ayat al-Qur’an suart al-Maidah ayat 51, menyatakan bahwa orang yang beriman tidak dibenarkan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Allah swt. berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ َۘ﴿المائدة۵۱﴾
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu…” (QS. al-Maidah: 51).

2.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
       Semangat para tokoh pendidikan Islam tidak patah semangat untuk memperjuangkan pendidikan Islam supaya dapat menjadi pendidikan yang legal dan diatur dalam Undang-Undang. Beberapa bulan setelah Indonesia merdeka pemerintah cukup memberi perhatian terhadap pendidikan Islam. yaitu pada tanggal 27 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BKPNP) mengadakan pembicaraan mengenai garis besar pendidikan nasional. Hasil pembicaraan tersebut disebutkan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah yang dikutip oleh Syafi’I Ahmadi dalam Abuddin Nata, diusulkan tentang pendidikan agama sebagai berikut:
a.       Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
b.      Para guru dibayar oleh pemrintah.
c.       Pada sekolah dasar pendidikan agama diberikan mulai kelas VI.
d.      Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
e.       Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
f.       Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
g.      Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
h.      Diadakan latihan bagi para guru agama.
i.        Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
j.        Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan

       Urusan agama yang ada sebelum kemerdekaan ditangani oleh kantor agama yang pada masa penjajahan Belanda bernama resmi Kantoor voor Inlandshe Zaken kemudian pada penjajahan Jepang bernama Shumuka setelah Indonesia mengganti nama Kementrian Agama dan diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946. Kementrian Agama juga mengurusi bidang pendidikan yang berhubungan dengan agama.
       Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1950 terdapat pasal yang mengupas tentang pendidikan dan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Pasal ini terdapat pada Bab XII pasal 20 yang berbunyi:
1)      Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2)      Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalm peraturan yang ditetapkan oleh Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Mentri Agama.

       Khususnya untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antar Mentri PP dan K dengan Mentri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta) yang berada di bawah Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan.
       Sejak keputusan tersebut, terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yiatu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum, dan di lain pihak Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan pendidikan nasional. Keadaan seperti ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama terutama komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.
       Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari buku Poerbakawatja dan dikutip kembali oleh Syafi’I Ahmadi dalam Abuddin Nata tentang pendidikan Islam, dalam Surat Keputusan Bersama antara dua kementrian itu terdapat sedikit diskriminasi jika dilihat dari penjelasan resmi dari peraturan tersebut.
       Kemudian beberapa tahun berikutnya ditandatangani kembali Peraturan Bersama Menteri PP&K dan Menteri Agama Nomor: 1432/kat. Tanggal 20 Januari 1951 (Menteri Pendidikan), Nomor: K/1/652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur peraturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah, yaitu:
Pasal 1:    Di tiap-tiap sekolah rendah dan dan sekolah lanjutan (Umum dan Kejuruan) diberi pendidikan agama.
Pasal 2:  1.  Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada kelas 4, banyaknya dua jam dalam satu minggu.
              2.  Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas 1 dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah di lain lingkungan.
Pasal 3:       Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap minggu.
Pasal 4:  1.  Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing.
              2.  Pendidikan agama baru diberikan pada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut satu macam agama.
              3.  Murid dalam satu kelas yang menganut agama lain dari agama yang sedang diajarkan pada satu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran berlangsung.

       Kebijakan di masa orde lama memberikan perhatian terhadap lembaga pendidikan Islam, baik itu sekolah-sekolah agama (madrasah) atau nonkelembagaan, seperti langgar atau surau tempat mengaji, dan sangat dirasakan dampak postifnya bagi perkembangan madrasah.
       Menurut Syafi’I Ahmadi dalam Abuddin Nata dengan mengutip dari Karel A. Steenbrink bahwa perkembangan madrasah sangat terkait dengan peran Departemen Agama. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Secara spesifik usaha ini dtangani oleh satuan khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama itu meliputi: a) Memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan partikuler, b) Memberi pengetahuan umum di madrasah, dan c) Mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
       Kesempatan tersebut digunakan oleh masyarakat muslim Indonesia untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti yang diungkapkan oleh Prof. H. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia yang dikutip oleh Syafi’I Ahmadi dalam Abuddin Nata. Dari data yang dikumpulkan pada tahun 1945 terdapat 13.849 madrasah dan 2.017 murid di Indonesia.
       Pada masa Orde Lama ini, perlu diketahui terjadi perkembangan kurikulum sebanyak dua kali, yaitu: a) kurikulum 1947 yang lahir pada masa kemerdekaan, memakai istilah leer plan (Bahasa Belanda), yang artinya rencana pelajaran dan b) kurikulum 1964 yang merupakan penyempurnaan kurikulum 1947 dengan nama Rentjana Pendidikan Sekolah Dasar 1964.
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan di masa Orde Lama merupakan pendidikan yang bersifat sentralistik. Artinya sistem pendidikan diatur oleh pemerintah pusat dan daerah diberi wewenang hanya untuk melaksanakannya (sebelum otonomi daerah).

3.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
       Perhatian serius terhadap pendidikan agama dapat diamati setelah kemunculan pemerintah Orde Baru. Dalam pemerintahan ini UU pendidikan nasional yang lebih sempurna memang belum bisa dirumuskan, tetapi kebijakan yang dikembangkan dalam bidang pendidikan cenderung lebih mendasar dan menyeluruh. Ketetapan MPRS No. XXVII/1966 tentang “Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan,” jelas memperlihatkan kecenderungan itu dengan menunjukkan secara kuat peran agama. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa ketetapan itu disusun berdasarkan alasan-alasan berikut:
a.       Bahwa agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah merupakan unsur-unsur mutlak dalam rangka nation and character building.
b.      Bahwa filsafat Pancasila merupakan sumber utama mempertinggi harkat manusia.
c.       Bahwa dalam rangkan mempertinggi pertahanan revolusi salah satu faktor yang menentukan adalah moral dan mental manusia bangsa Indonesia.

       Kaitannya dengan pendidikan agama, ketetapan itu memberi status yang lebih berarti. Pendidikan menjadi mata pelajaran wajib yang harus diikuti semua siswa dan mahasiswa serta menjadi syarat kelulusan ujian akhir. Berbeda dengan undang-undang dan ketetapan sebelumnya, dalam ketetapan yang dimaksud, siswa dan mahasiswa tidak diberi hak untuk mengajukan keberatan dalam mengikuti pelajaran agama. Keputusan ini jelas dimaksudkan untuk menempatkan agama sebagai sendi pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah.
       Pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Sejumlah madrasah menjadi negeri dengan rincian, 358 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), 182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Dengan memberikan status negeri, tanggung jawab pengelolaan menjadi beban pemerintah, tetapi pengaturan dan control atas madrasah-madrasah itu menjadi lebih efektif.
       Pada tanggal 10-20 Agustus 1970, dilakukan penyusunan krikulum madrasah dalam semua tingkatan secara nasional di Cibogo, Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan perumusan tersebut menghasilkan Keputusan Menteri Agama No. 52 tahun 1971. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian terkenal dengan kurikulum 1973.
       Dengan tersusunnya kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah ini, pengelolaan pendidikan agama di bawah Departemen Agama semakin memperoleh bentuk dan statusnya dengan jelas. Dalam kaitan itu, makna penting dari tersusunnya kurikulum 1973 adalah: (1) ada standar pendidikan bagi madrasah pada setiap jenjang, yang dapat berlaku juga bagi madrasah-madrasah swasta; (2) ada acuan yang lebih detail dalam hal mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan di madrasah; (3) mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah dengan demikian telah mendapatkan landasan formal, apalagi dalam jumlah cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.
       Pada 18 April 1972 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan”. Isi keputusan ini menyangkut tiga hal, yaitu:
a.       Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertigas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
b.      Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c.       Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan khusus pegawai negeri.

       Dan pada dua tahun berikutnya Kepres ini dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
       Menurut Haidar Nawawi yang dikutip oleh M. Ali Hasan dan Mukti Ali bahwa kedua kebijakan ini menimbulkan reaksi umat Islam. Diantaranya adalah Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga ini meyakinkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam pembangunan nasional. Menyinggung tentang madrasah itu, MP3A menegaskan bahwa “yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialah Departemen Agama, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu tentang seluk beluk pendidikan agama bukan Menteri P&K atau menteri-menteri lain.
       Dengan memperhatikan aspirasi tersebut, pemerintah Orde Baru melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah secara terus-menerus. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan mutu pendidikan madrasah”. Dan dilanjutkan dengan Presiden mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 yang isinya:
a)      Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang tanggung jawab pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
b)      Untuk pelaksanaan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.

       Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tersebut, ketegangan antara pendidikan agama dan pendidikan nasional memang dapat diatasi. Petunjuk pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup mendasar dengan Kepres dan Inpres tersebut. Disitu ditegaskan bahwa hak dan tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama.
       Menurut Hamzah Wiryosukarto yang dikutip oleh M. Ali Hasan dan Mukti Ali menyatakan bahwa dalam SKB Tiga Menteri, sejumlah diktum yang memperkuar posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I ayat 2 dinyatakan:

Madrasah itu meliputi tiga tingkatan:
a.       Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b.      Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.       Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas

Selanjutnya dalam Bab II pasal 2 disebutkan:
a.       Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

       Mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut:
a.       Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b.      Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c.       Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri.

       Ditjen Bimas Islam Depag yang dikutip oleh M. Ali Hasan dan Mukti Ali menyatakan bahwa SKB Tiga Menteri itu dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah dan Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas.
       Pada tahap awal setelah SKB, Depag menyusun kurikulum 1976 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 75 tanggal 29 Desember 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Depdikbud.
       Tahun 1994 bisa jadi merupakan periode penting dalam perkembangan madrasah Indonesia. Pada tahun itu, Depag telah menetapkan berlakunya kurikulum 1994 yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah umum dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
       Sekilas nampak bahwa yang paling menonjol dari kurikulum 1994 adalah penghapusan 30% mata pelajaran agama yang di ajarkan sejak pemberlakuan kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh, istilah “penghapusan” tersebut tentu tidak bisa dilihat semata-mata sebagai “meniadakan” mata pelajaran  di madrasah. Hal yang berlangsung pada dasarnya lebih merupakan “perumusan kembali” pemberian, mata pelajaran madrasah. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata pelajaran formal, melainkan diintegrasikan secara penuh dalam mata pelajaran umum.
Dengan demikian kurikulum 1994, dualism “ilmu agama” dan “ilmu umum” di madrasah berusaha dihilangkan. Madrasah diharapkan menyelenggarakan pelajaran yang terintegrasi sepenuhnya dengan mata pelajaran umum. Melihat argument ini, M. Ali Hasan dan Mukti Ali menyimpulkan bahwa kurikulum 1994 tampaknya diarahkan untuk meningkatkan mutu siswa madrasah. Depag tampaknya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi perbedaan dan kesenjangan sekolah umum Depdikbud dengan madrasah, atau mengkonvergensikannya.
4.      Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi (Sekarang)
       Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada Mei 1998 kondisi Indonesia dalam keadaan tidak menentu, meskipun upaya pembaharuan sudah sering dilakukan oleh berbagai pihak. Begitu pula sistem pendidikan yang ada dirasakan masih sentralistik, dengan strategi makro yang sulit menyentuh kebutuhan riil masyarakat karena memang mereka tidak dilibatkan.
       Sistem pendidikan yang sentralistik hanya akan menghasilkan otoriterisme, menjadikan lembaga-lembaga sekolah sebagai pencetak robot-robot tanpa mampu mengembangkan kreativitas. Selanjutnya yang ada hanyalah kepatuhan dan keseragaman yang sangat jauh dari bobot profesional. Berangkat dari beberapa hal diatas maka reformasi sangat diperlukan.
       Menurut Pius A. Partanto yang dikutip oleh Junaidi dalam Abuddin Nata, kata reformasi secara etimologi dapat diartikan pembaharuan, perbaikan, dan perubahan. Lanjut Junaidi dengan mengutip dari Mochtar Buchari, reformasi adalah perbahan yang perlu kita lakukan dalam sekolah tanpa mengubah fondasi dan struktur sistem yang ada sekarang ini. Selanjutnya, Junaidi menyimpulkan bahwa reformasi adalah upaya yang mampu mengembalikan otonomi pedagogis pada sekolah dan guru dengan meninjau kembali keseluruhan kebijakan yang ada mengenai hubungan antara birokrasi, pendidikan, sekolah, dan guru. Iklim reformasi harus mampu memposisikan masyarakat dan sekolah (guru) untuk dapat secara bebas mengemukakan ide dan sumbangannya dalam pendidikan.
       Sejak zaman kemerdekaan, telah terjadi beberapa kali perubahan (penyempurnaan) kurikulum, yang sampai saat ini sekurang-kurangnya sudah terjadi 11 kali, yakni 8 kali terjadi sebelum era otonomi daerah dan 3 kali terjadi setelah otonomi daerah.
       Pada masa reformasi ini ada satu perubahan kurikulum yang masih bersifat sentralistik, yaitu kurikulum 1999. Kurikulum ini merupakan kurikulum 1994 yang disempurnakan yang berbasis kompetensi. Artinya pembelajaran bukan hanya mengembangkan pengetahuan (kognitif) semata-mata, melainkan juga harus mengembangkan keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Oleh karena itu disebut dengan istilah Berbasis Kompetensi.
       Dalam perkembangannya, kurikulum setelah era otonomi daerah terdiri atas: (1) Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi); (2) Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang Berbasis Kompetensi); (3) Kurikulum 2013 (Kurikulum yang menekankan pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara holistik, juga berbasis kompetensi).
       Kurikulum 2004 rasional dikembangkannya antara lain diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
       Depdiknas tahun 2003 menyatakan implikasinya bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengembangkan komponen-komponen kurikulum yang sesuai dengan kondisi sekolah dan kebutuhan peserta didiknya. Selain itu, perubahan lain yang sangat signifikan adalah pengembangan berbasis kompetensi.
       Kurikulum ini berlaku tidak lama karena harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dijabarkan dalam ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
       Tahun 2006 merupakan pengembangan Kurikulum 2006. Rasional dikembangkannya kurikulum 2006, yang juga disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), antara lain diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP). Di dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP, tidak disebut lagi tentang Kurikulum Nasional, yang ada KTSP, yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Implikasinya adalah perlunya dilakukan penyempurnaan kurikulum 2004, yang kemudian menjadi kurikulum 2006 (KTSP).
       Tahun 2013 dicetuskan Kurikulum 2013. Rasional dikembangkannya Kurikulum 2013, antara lain diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 (Pepres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014), yang pada sector pendidikan terdapat 6 prioritas pendidikan yang harus disempurnakan, dua di antaranya adalah Metodologi dan Kurikulum.
       Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Pepres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, kemudian dilakukan perubahan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas Pertauran Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
       Implikasinya adalah perlunya dilakukan penyempurnaan Kurikulum 2006, yang kemudian menjadi Kurikulum 2013. Pengembangan Kurikum 2013 menekankan pengembangan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara holistik.
       Namun dalam perjalanannya Kurikulum 2013 mengalami hambatan karena pergolakan politik, yaitu pertukaran roda pemerintahan. Tepatnya pada tanggal 5 Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 179342/MPK/KR/2014 Perihal Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang ditujukan kepada Kepala Sekolah di seluruh Indonesia. Inti dari Surat Edaran tersebut adalah:
1.      Menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015. Sekolah-sekolah ini supaya kembali menggunakan Kurikulum 2006. Bagi Ibu/Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, mohon persiapkan sekolah untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015. Harap diingat, bahwa berbagai konsep yang ditegaskan kembali di Kurikulum 2013 sebenarnya telah diakomodasi dalam Kurikulum 2006, semisal penilaian otentik, pembelajaran tematik terpadu, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi guru-guru di sekolah untuk tidak mengembangkan metode pembelajaran di kelas. Kreatifitas dan keberanian guru untuk berinovasi dan keluar dari praktik-pratik lawas adalah kunci bagi pergerakan pendidikan Indonesia.
2.      Tetap menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013 telah diperbaiki dan dimatangkan lalu sekolah-sekolah ini (dan sekolah-sekolah lain yang ditetapkan oleh Pemerintah) dimulai proses penyebaran penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Bagi Ibu dan Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, harap bersiap untuk menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013. Kami akan bekerja sama dengan Ibu/Bapak untuk mematangkan Kurikulum 2013 sehingga siap diterapkan secara nasional dan disebarkan dari sekolah yang Ibu dan Bapak pimpin sekarang. Catatan tambahan untuk poin kedua ini adalah sekolah yang keberatan menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013, dengan alasan ketidaksiapan dan demi kepentingan siswa, dapat mengajukan diri kepada Kemdikbud untuk dikecualikan.
3.      Mengembalikan tugas pengembangan Kurikulum 2013 kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pengembangan Kurikulum tidak ditangani oleh tim ad hoc yang bekerja jangka pendek. Kemdikbud akan melakukan perbaikan mendasar terhadap Kurikulum 2013 agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru-guru kita di dalam kelas, serta mampu menjadikan proses belajar di sekolah sebagai proses yang menyenangkan bagi siswa-siswa kita.

       Perlu disadari bahwa kebijakan yang diambil terhadap pendidikan seharusnya tidak di intervensi oleh politik dan tekanan pihak manapun. Sehingga kebijakan tersebut dapat menghasilkan sebuah aturan yang berorientasi pada tujuan pendidikan serta melahirkan generasi yang baik.



Sumber:
https://www.academia.edu/Documents/in/Keguruan_dan_Ilmu_Pendidikan?page=2

Gambar: Politik Dalam Pendidikan


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 10:33 PM

0 comments:

Post a Comment