Politik Dan Kebijakan Pendidikan Islam Era Kolonial

Posted by

|Politik Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Umat Islam Di Indonesia|

Cara terbaik untuk melihat kebijakan pemerintah Belanda mengenai Islam, atau perumusan kembali pemerintah kolonial di Indonesia, adalah dengan memaparkan karya-karya dan gagasan Snouck Hurgronje. Dalam mengembangkan garis-garis besar kebijakan yang baru ini, pengaruh Hurgronje sangat besar. Ketika dia berada di Hindia Belanda, untuk periode waktu yang panjang, nasihat-nasihatnya turut membantu memecahkan berbagaiu masalah penting.

Setelah kedatangan Shouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah Hindia Belanda mempunyai Kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam, di mana ia melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Ditegaskannya bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatik. Penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, dan bukan atasannya. Ulama independen bukanlah komplotan jahat, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Pergi haji ke Mekah pun bukan berarti fanatik berjiwa pemberontak.

Kebijakan Hurgronje mengenai Islam dan kaum Muslim di Indonesia didasarkan atas pengelamnnya, terutama kunjungannya yang terkenal ke Mekkah. Dia menetap selam tujuh bulan di sana (Februari hingga Agustus 1885), dengan menyamar sebagai seorang Muslim bernama ‘Abd Al-Ghaffar. Di Makkah, Hurgronje sebanyak mungkin bergabung dengan masyarakat Indonesia dan mempelajari banyak hal mengenai lembaga dan kegiatan keagamaan mereka. Hurgronje berkesimpulan bahwa sebagian besar kaum Muslim yang datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bukanlah kaum Muslim yang fanatik, yang ingin memajukan Islam dengan segala cara,”.. banyak diantara mereka yang kembali ke Indonesia dalam keadaan sama bodohnya dengan ketika berakangkat ke Mekkah.

Pemerintah Kolonial Belanda, menurut Hurgronje, tidak perlu mengkhawatirkan sebagian besar kiai (guru lokal). Yang lebih penting untuk diperhatikan, dibandingkan dengan mereka, adalah orang-orang Indonesia yang pergi ke Mekkah untuk belajar dan menetap bertahun-tahun di sana, dan yang akhirnya menumbuhkan dalam diri mereka rasa kesatuan dan persatuan dengan seluruh kaum Muslim berdsarkan identitas keislaman yang sama-sama mereka hayati. Untuk alasan itu, Hurgronje berpendapat adalah keputusan yang bijak mengizinkan sebagai besar kaum Muslim Indoensia melaksanakan ajaran agama mereka tanpa campur tangan pemerintah. Meskipun demikian, meraka yang mendakwahkan”perang suci” menentang pemerintah “kafir” harus dipandang dan ditanggapi dengan keras.

Penting dicatat bahwa pemerintah kolonal Belanda baru menerapkan kebijakan mengenai Islam yang jelas setelah kedatangan Snouck Hurgronje. Dalam banyak hal, pandangan Hurgronje adalah kebalikan dari kebijakan pemerintah Belanda yang diterapkan sebelumnya. Hurgronje mengkritik banyak kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa kolonial Belanda dalam berhubungan dengan banyak masalah yang melibatkan kaum Muslim, baik yang disebabkan oleh kesalahan informasi maupun ketiadaan pengetahuan. Akibatnya, kebijakan Islam yang dikembangkan oleh Hurgronje menjadi bagian integral “Politik Etis”. 

Sebagaimana sudah ditunjukkan sebelum ini, sikap-sikap pemerintah kolonial Belanda sebelum ini dicirikan oleh ketakutan dan harapan. Kedua sikap ini muncul karena kesalahan infromasi, jika bukan kebodohan, mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam. Ketakutan mereka tertuju kepada “kaum Muslim fanatik” di dalam negeri dan bahaya yang kan muncul ketika kaum Muslim Indonesia mengacu kepada penguasa kaum Muslim di luar negeri. Dalam kacamata ini, Islam tampil sebagai musuh yang mengerikan. Pada sisi lain, ada harapan besar untuk menghilangkan, atau sedikitnya memperkecil pengaruh Islam dengan cara mengkristenkan orang-orang Indonesia.

Berdasarkan latar belakang inilah Snouck Hugronje merumuskan kebijakan mengenai Islam. Berdasarkan pemahamannya mengenai corak Islam di Indonesia, Hugronje menentang kebijakan pemerintah Belanda sebelumnya. Menurutnya, ketakutan pemerintah Belanda terhadap pengaruh guru-guru agama lokal dan pandangan bahwa hubungan mereka dengan kekhalifahan Turki merupakan motivasi yang mendorong Pan-Islamisme adalah sesuatuyang berlebihan. Hugronje lalu menyatakan bahwa sebagian besar kaum muslimin di Indonesia, bahkan mereka termasuk “fanatik”, tidak serta merta merupakan musuh pemerintah Belanda. Sejalan dengan itu, Hugronje meruntuhkan keyakinan lama pemerintah Belanda bahwa ibadah haji ke Mekkah telah mengubah banyak haji pribumi yang tadinya adem anyem menjadi pemberontak fanatik.

Meskipun demikian , Hugronje juga menekankan bahwa Islam tidak boleh diremehkan di Indonesia, baik sebagai kekuatan agama maupun sebagai kekuatan politik. Orang-orang Indonesia, tambahnya begitu erat jalinannya dengan Islam sehingga bertentangan dengan harapan-harapan optimis pemerintah Belanda akan mudahnya mereka dikonversikan ke dalam agama Kristen-mereka memandang diri mereka sebagai kaum Muslim yang baik dan taat, dan mereka memandang agaa mereka sebagai agam teraik di antara agama-agama lain. Pada sisi lain, Hugronje juga menyadai kuatnya pengaruh Islam politik dalam kehidupan orang-orang Indonesia. Dalam hal ini, demikian dia menegaskan, memang masih tetap harus ada ruang untuk mengkhawatirkan beberapa kelompok Muslim yang berdedikasi tinggi, meskipun jumlahnya kecil, yang akan megajak para pengikutnya untuk mengibarkan bendera perang menentang penguasa “kafir”. Karena itu, dia berpendapat bahwa yang harus dipandang musuh bukanlha Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai ajaran politik.

Rekomendasi-rekomendasi Hugronje mengenai kebijakan baru pemerintah kolonial terhadap Islam secara logis mengikuti analisisnya mengenai Islam di Indonesia di atas. Baginya, jalan keluar terhadap “persoalan kaum Muslim” sepenuhnya bergantung pada asosiasi kaum Muslim, yang merupakan rakyat Belanda juga, dengan orang-orang Belanda itu sendiri. Jika asosiasi ini tidak berasil dicapai, tegas Hurgronje, maka perkembangan peradaban Indoenesia, yang bagaimanapun tidak terhindarkan itu, akan menajdikan jarak di atas lebih lebar lagi. Akibatnya, kekuatan-kekuatan lain akan mengontrol cara hidup dan perkembangan intelektual mereka..

Secara Umum, kebijakan Islam yang disarankan Hurgronje didasarkan tiga prinsip utama. Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ‘ibadah dari Islam, rakyat Indonesia harus dibiarakan bebas menjalankannya.

Prisip kedua adalah bahwa, sehubungan dengan lembaga-lembag social Islam, atau aspek mua’amalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf dan hubungan-hubungan sosial lain pemerintah harus berupaya mempertahankan dan meghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusahaa menarik sebanyak mungkin perhaian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat.

Prinsip yang ketiga, dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiata apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan pan Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda.

Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni Kebijakan mengenai pribumi. Agaknya dengan menampilkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,” yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial dan politik, di samping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.

|Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pendidikan|
Seiring dengan merosotnya ekonomi, maka pada awal tahun tiga puluhan pemerintah Belanda bermaksud meninjau kembali kebijakan pendidikannya untuk membatasinya, atas dasar pertimbangan sosio-ekonomi. Dalam kongres pendidikan yang diselenggarakan oleh Budi Utomo pada tanggal 31 Desember 1930 di Solo, gagasan pemerintah untuk meninjau kembali pendidikan ini ditolak secara aklamasi. Pada penglihatan mereka, peninjauan ini berlatar belakang faktor ekonomis dan politis. Dikatakan ekonomis karena pendidikan Barat memberikan kemungkinan bagi pribumi untuk menyaingi Eropa; dan dikatakan politis karena umumnya masyarakat Eropa mendukung pendidikan Barat bagi pribumi, bila pendidikan tersebut menolong kepentingan mereka. Ternyata usaha penghematan tersebut tidak dapat ditunda, berhubung situasi ekonomi keuangan pemerintah kolonial waktu itu.

Agaknya yang ditolak pihak pribumi adalah gagasan untuk membatasi pendidikannya, bukan semata-mata sifat baratnya pendidikan tersebut. Hal ini terlihat pada banyaknya sekolah-sekolah swasta yang mereka dirikan, yang di mata pemerintah kolonial kemudian disebut sebagai “sekolah liar”. Besarnya minat mereka untuk menyelenggarakan Barat ini bisa dimaksudkan, sebab aneka jabatan di lingkungan pemerintah kolonial justru menghendaki pendidikan Barat. Di samping itu, pendidikan Barat juga memungkinkan seseorang untuk memperluas pergaulannya dengan Belanda sebagai kelas penguasa.

Memang mereka tidak menolak sifat baratnya pendidikan semata, tapi yang mereka inginkan adalah tertanamnya jiwa Indonesia pada pendidikan tersebut. Hal ini terlihat jelasa pada aneka usaha pendidikan Muhammadiyah, berupa pendidikan Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan Islam dan Indonesia. Organisasi ini bahkan pada tahun 1937 mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta, suatu sekolah menengah pertama dengan sistem pendidikan sebagai MULO biasa tapi menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jiwa Indonesia ini pula agaknya yang melatar belakangi sikap keras Taman Siswa, dalam menolak sistem pendidikan resmi dan menolak subsidi pemerintah kolonial. Organisasi ini tidak menginginkan tujuan pendidikan hanya sekedar menyiapkan calon pegawai pemerintahan kolonial, sementara itu merenggut mereka dari kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaannya sendiri.

Pada tahun 1914, atas inisiatif Dr. Hazeu sekolah pribumi kelas satu dikembangkan menjadi HIS tujuh tahun, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagi pengantar. Hal ini kemudian dinilai sebagai kebelanda-belandaan, karena sejak tahun 1848 telah ditetapkan bahwa bahasa daerah harus menjadi bahasa pengantar bagi sekolah pribumi. Sampai-sampai pada tahun tiga puluhan timbul keinginan yang disuarakan oleh Van der Plas, agar sistem pendidikan lebih menekankan kepentingan pribumi. Pada tahun 1934, C.C. Berg juga menganjurkan agar kebudayaan Indonesia memperoleh perlindungan. Namun betapapun arah pendidikan ini tetap tidak berubah, dan HIS pun tetap menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sampai akhir masa penjajahan Belanda.

Sejalan dengan pola pendidikan Snouck Hurgronje yang memimpikan pengubahan bangsawan tradisional pribumi menjadi elit berpendidikan barat, maka sekolah HIS semula hanya diperuntukkan bagi keluarga bangsawan pribumi. Agaknya pemerintah kolonial sedikit sekali berbuat bagi pendidikan rakyat biasa, sehingga 93 persen dari 60 juta rakyat Indonesia pada akhir tahun 1930 masih dalam keadaan buat huruf. Pada waktu itu hanya sekitar 200 orang Indonesia yang lulus dari sekolah menengah atas per tahun. Pada tahun 1940 hanya 40 persen anak usia enam sampai delapan tahun yang telah memperoleh pendidikan dasar.

Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa, “pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku.” Kebijakannya dalam bidang pendidikan, tidak terlepas dari pola politik kolonialnya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam Kebijakannya yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.

|Kebijaksanaan Pendidikan dan Islam|

1. Kebijakan Pendidikan Islam
Belanda berusaha menanamkan pengaruhnya di bidang ekonomi dan politik dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah. Kebijakan di bidang pendidikan ini menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.

Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa, sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah kolonial. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut.

Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara pelbagai Kebijakan pemerintah maupun aktivitas zending dan missi sendiri, justru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen - yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintahan kolonial – sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran gereja. Semua ini ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan masyarakat santri. Aksi menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, umat Islam berusaha mempertahankan diri, dan kemudian ternyata berhasil.

2. Ordonansi guru
Suatu Kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah Ordonansi Guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur Islam di negeri ini.

Sesudah terjadinya peristiwa Cilegon tahun 188, K.F. Holle pada tahun 1890 menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, karena pemberontakan para petani di Banten itu dinilai dimotori oleh para haji dan guru agama. Maka di Jawa terjadilah pemburuan terhadap guru agama; dan demi penyeragaman dalam pengawasannya, maka K.F. Holle menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap tahun. Kemudian pada tahun 1904 Snouck Hurgronje mengusulkan agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh suatu panitia. Pada tahun 1905 lahirlah suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru, dan dinyatakan berlaku untuk Jawa madura kecuali Yogya dan Solo.

Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa sangat memberatkan. Apalagi pada waktu itu lembaga pendidikan pesantren belum memiliki administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, atau mata pelajaran. Banyak di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan.

Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam untuk minta izin itu, kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan aktifitasnya – yang secara periodik disampaikan bupati – ternyata kurang meyakinkan, di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Karena itu pada tahun 1925 dikeluarkanlah Ordonansi Guru baru – sebagai pengganti – yang hanya mewajibkan guru agama untuk memberitahu, bukan meminta izin. Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk Jawa – madura. Sejak 1 Januari 1927 berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Kemudian pada tahun tiga puluhan berlaku pula untuk Bengkulu.

Tetapi seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktek bisa dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut. Misalnya :
  1. Peristiwa yang terjadi di Sekayu pada tahun 1926. H. Fachruddin selaku Ketua Muhammadiyah menyatakan keluhan bahwa sejak diumumkannya ordonansi ini pelbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena itu ia mengimbau gobee, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, agar turun tangan.
  2. Kongres Al-Islam tehun 1926 (1-5 Desember) di Bogor menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Kewajiban memberitahukan kurikulum, guru dan murid secara periodik ini dinilainya memberatkan, karena lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai. Begitu pula keharusan mengisi formulir berbahasa Belanda, dirasakan sebagai beban sangat berat, sebab hampir semua guru agama tidak mengerti bahasa ini; paling-paling mereka mengerti bahasa Arab.
  3. Organisasi Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari) dengan sangat keras menuntut agar Ordonansi Guru ini ditarik kembali.
  4. Reaksi yang demikian hebat terjadi di Sumatera Barat, ketika pemerintah kolonial bermaksud hendak menerapkan Ordonansi Guru ini di daerah tersebut, segera setelah timbulnya pemberontakan komunis pada tahun 1927. Dalam menjajagi kemungkinan dilaksanakannya Ordonansi Guru di Sumatera Barat, misi petugas Kantoor voor Inlandsche zaken, Dr. L. De Vries, memperoleh dukungan para demang dan para asisten demang, sebagian besar kepala nagari dan sebagian besar ulama tradisional. Ternyata tidak semua kaum muslimin Minangkabau bersedia menerima ordonansi tersebut. 
Reaksi terhadap Ordonansi Guru agaknya bukan hanya dilancarkan oleh pihak pribumi, tapi juga oleh pihak Belanda sendiri. Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan ordonansi ini adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam; dan untuk itu adanya daftar guru dan segala aktifitasnya sengat diperlukan. Dalam hal ini van der Plas pada tahun 1934 berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan tersebut daftar guru yang dipaksakan itu sama sekali tidak ada gunanya. Dia pun melihat akibat sampingan ordonansi ini dan memandangnya sebagai “rintangan paling besar bagi karya produktif di Hindia Belanda.” Dia berpendapat bahwa demi penyederhanaan dan efisiensi, hendaknya pemerintah kolonial menghapuskan Ordonansi Guru yang dinilainya hanya akan menghabiskan kertas ini.

Menanggapi pelbagai keinginan dihapuskannya Ordonansi Guru ini, Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 masih berpendapat perlunya dipertahankannya ordonansi tersebut, meskipun dengan beberapa usul perubahan. Namun betapapun situasi kondisi telah jauh berubah. Di pihak pemerintahan kolonial sendiri, situasi ekonomi moneter menuntut diadakannya penghematan dan penyederhanaan. Di pihak pribumi, kekhawatiran akan timbulnya pemberontakan seperti terjadi di Cilegon tahun 1888, sudah tidak perlu ada. Bahaya gerakan tarekat maupun Pan Islam juga tidak perlu dikhawatirkan lagi, sehingga guru agama Islam tidak lagi harus diburu. Itulah sebabnya mengapa nasehat arsitek Ordonansi guru 1905 ini, tidak seampuh masa-masa yang lalu. Ordonansi Guru 1905 kehilangan urgensinya dan betapapun terpaksa menghilang dari peredaran.

3. Ordonansi Sekolah Liar
Sejak tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya Ordonansi Pengawasan tahun 1923. Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan suatu lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat mengajarnya.

Pengawasan melalui Ordonansi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara suatu lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki pengawasan lebih ketat. Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke – selaku direktur Pendidikan – diperintahkan oleh Sekretaris Negara atas saran Dewan Penasehat Hindia, untuk meninjau kemungkinan ditindaknya sekolah liar. Tetapi Schrieke, yang pada dasarnya menyetujui pendapat pendahulunya Hardeman – bahwa pemerintah belum perlu mengambil tindakan terhadap sekolah liar – agaknya berhasil menunda masalah ini sampai tahun 1932; yakni keluarnya Toezicht-ordonantie particulier Onderwijs tanggal 17 September 1932 yang dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1932.

Krisis ekonomi tahun tiga puluhan memaksa pemerintah kolonial untuk menekan anggaran belanja pendidikan. Sementara itu tuntutan pendidikan sudah semakin meningkat, sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah swasta, meskipun tanpa subsidi pemerintah. Tetapi, dan ini suatu ironi, justru pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat ini dengan Ordonansi Sekolah Liar. Akibatnya timbullah reaksi hebat dari kalangan luas masyarakat, baik dari organisasi nasional maupun Islam. Direktur Pendidikan sendiri agaknya bisa memaklumi hal tersebut, namun hal ini justru menyebabkan dirinya sedikit tersisih dari lingkungannya.

Taman siswa yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ordonansi ini – bertekad untuk mengadakan perlawanan pasif. Tekad tersebut dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kawatnya ke Gubernur Jenderal, juga dalam pembicaraan lisan dengan Kiewiet de Jounge – selaku kuasa pemerintah – ketika berkunjung ke rumahnya. Sarekat Islam (SI) yang sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), juga mengumumkan suatu manifesto menentang ordonansi ini.

Pada tahun tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir dengan keputusan menolak Ordonansi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932 memutuskan bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, di samping mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun pendidikannya sendiri. Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan ordonansi ini merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh pemerintah kolonial bertindak menguntungkan Kristen. Mereka memutuskan akan berjuang hidup atau mati untuk Islam, dan membentuk suatu panitia aksi yang diketuai oleh H. Rasul.

Suatu partai yang dianggap loyal yaitu Budi Utomo, juga menentang keras ordonansi ini. Partai ini bertekad akan menarik anggota-anggotanya dari aneka lembaga perwakilan, andaikata pada tanggal 31 Maret 1933 Ordonansi Sekolah Liar belum ditarik kembali; bahkan akan menutup-menutup sekolahnya serta akan memberikan bantuan keuangan kepada parakurban perlawananan pasif. Sedangkan Muhammadiyah, pada mulanya menunjukkan sikap ragu terhadap ordonansi ini, mungkin karena sebagian sekolahnya memperolah subsidi dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun dalam konferensi daruratnya di Yogyakarta pada tanggal 18-19 Nopember 1932, akhirnya organisasi ini pun menolak Ordonansi Sekolah Liar.

Dari sini terlihat bahwa usaha pemerintah kolonial untuk menekan pendidikan swasta, ternyata memperoleh perlawanan keras dari pihak pribumi, baik dari organisasi nasional maupun organisasi Islam. Organisasi PSII dan Permi serta Muhammadiyah bahu membahu dengan Taman Siswa, Budi Utomo, PNI, Partindo, dan Isteri Sedar, untuk menentang keras Ordonansi Sekolah Liar. Reaksi ini memaksa pemerintah kolonial untuk meninjau ordonansi yang berumur setengah tahun itu. Pada pertengahan Februari 1933 ordonansi ini dinyatakan ditarik kembali, dan pada pertengahan Oktober 1933 penarikan ini dipertegas dengan keluarnya peraturan baru. Sejak itulah pelbagai sekolah yang selama ini dinilai sebagai liar, disebut sebagai “sekolah swasta tak bersubsidi”. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah sekolah ini semakin banyak dan mutunya pun semakin meningkat.

Sumber:
Suminto, Aqib., 1985, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Gambar: Pendidikan Islam Era Kolonial


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 12:36 AM

0 comments:

Post a Comment