Realitas Indonesia sekarang ini memang sangat menyedihkan. Bermula dari krisis di bidang ekonomi, kini telah merambah ke dalam bidang sosial, politik, dan budaya. Daerah-daerah mulai bergolak dan dengan tegas menolak campur tangan yang dominan Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini diwujudkan dengan meminta status otonomi yang seluas-luasnya, seperti yang terjadi di Aceh (berdasarkan UU No. 44/1999 mengenai pemberian otonomi khusus bagi Aceh yang dalamnya diberlakukan syariat Islam sejak tanggal 19 Desember 2000) dan Papua Barat, bahkan keinginan ini berkembang menjadi keinginan untuk merdeka dan lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia seperti yang telah dialami oleh Timor-Timur.
Konflik-konflik sosial-pun marak terjadi. Pergolakan sosial itu telah menimbulkan korban, baik di bidang materi, sosial, dan mental/psikologis. Di berbagai tempat di Indonesia terjadi kerusuhan yang mencerminkan keinginan masyarakat untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Gejala sosial ini diperteguh dengan dikembangkannya oleh masyarakat suatu mekanisme pertahanan ego, seperti: proyeksi yang melihat bahwa segala keruwetan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini merupakan hasil dari kesalahan yang dibuat oleh pemerintahan pimpinan Soeharto; rasionalisasi terhadap setiap perilaku kejahatan dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan hal yang sama; juga dapat berupa regresi di dalamnya terjadi kemunduran kemampuan masyarakat untuk mengendalikan diri.
Masyarakat yang dahulunya hidup dalam ketenangan dan kedamaian berubah menjadi masyarakat yang saling membenci, menyerang, dan bahkan saling membunuh. Makna hidup bersama dalam masyarakat yang plural menjadi terabaikan oleh makna hidup yang berdasarkan kepentingan golongan tertentu saja. Kehidupan antar pribadi maupun golongan diwarnai oleh rasa curiga, takut, benci, dendam, cemas, dan juga keengganan untuk hidup bersama lagi dalam kepelbagaian.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, menggelisahkan sekaligus mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Bukankah selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya saling menghargai dan menghormati? Sampai kapan kondisi seperti ini akan terus berlangsung? Bagaimana mengatasinya? Sederetan pertanyaan ini tidak mungkin terjawab (apalagi dengan tuntas) dalam tulisan ini. Tetapi, paling tidak kita mampu memetakan beberapa persoalan yang mendasar guna mencermati segala permasalahan dengan lebih jernih dan obyektif.
Indonesia: Fenomena Baru Beridentitas Ganda
Dalam tinjauan sejarah, Indonesia baru ‘ada’ sejak diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 (Titaley,1998). Hal ini bermakna, pertama, bahwa sebelum tanggal ini Indonesia belum ‘ada’, yang ada hanya kerajaan seperti Majapahit, Demak, Sriwijaya dan lain sebagainya. Dengan kata lain identitas yang dimiliki hanya identitas primordial. Kedua, dengan peristiwa proklamasi, identitas keindonesiaan sebagai bangsa menjadi identitas baru. Indonesia sebagai fenomena baru dapat dikatakan sebagai Indonesia jika dalan dirinya terkandung sekaligus kedua identitas itu. Tidak dapat dikatakan Indonesia jika yang ada hanya pengakuan terhadap identitas primordial atau nasional saja, namun kedua identitas itu harus diakui secara bersama-sama keberadaannya. Inilah persolannya, yaitu bagaimana kita dapat mengadakan keseimbangan diantara kedua identitas tersebut dengan tetap mendasarkan diri pada asas keadilan dan kesetaraan.
Perjumpaan kedua identitas ini terjadi dalam waktu yang cukup singkat dan diwarnai dengan perdebatan yang cukup sengit di antara ‘founding fathers’ ketika hendak merumuskan bentuk dan dasar negara bangsa ini (Bahar dkk, 1995). Tampak dengan jelas adanya pertentangan antara tiga kelompok ideologi yang memiliki basis massa cukup besar yaitu nasionalis, komunis, dan agama (Islam). Masalah yang cukup serius ini dapat dikategorikan sebagai krisis identitas sosiokultural. Krisis ini menunjuk pada terjadinya benturan nilai dan ritus-ritus budaya yang muncul dalam pertemuan beberapa sistem nilai atau sistem kebenaran dari berbagai entitas sosial yang ada (Linggi, 2000). Dengan melihat kenyataan seperti itu kita melihat bahwa lahirnya bangsa Indonesia semata-mata didasarkan pada keinginan bersama untuk merdeka dan yang dapat mengikat keberagaman itu adalah persatuan.
Persatuan Dalam Indonesia
Dalam sejarahnya Indonesia dibangun di atas mitos kesatuan dengan tekad untuk menentukan nasibnya sendiri. Mitos kesatuan ini tidak lahir begitu saja atau jatuh dari langit tetapi merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri negara ini. Gagasan dasar tentang kesatuan tidak lepas dari gagasan tentang identitas personal manusia sebagai mahluk bebas memilih pendirian eksistensinya. Manusia harus memiliki hak kebebasan itu semata-mata karena ia adalah manusia. Maka penjajahan atas hak ini harus dilawan (Awuy, 2000).
Gagasan ini ( yang mula-mula hanya bertujuan untuk merdeka) digunakan oleh Soekarno-setelah pernyataan kemerdekaan- untuk menggalang persatuan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Ia mengandaikan, pluralisme kelompok dan etnis dapat terangkum begitu saja dalam ideologi Nasakom (Sindhunata dalam Kristanto, 2000).
Pada masa kepemimpinan Soeharto, dengan mewarisi kondisi perekonomian yang amburadul dari Soekarno, mulai mengarahkan Indonesia kepada pembangunan, dengan memfokuskan pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Kedua fokus pembangunan ini ibarat saudara kembar siam saling mengisi dan melengkapi. Pertumbuhan ekonomi menjadi primer dan stabilitas politik menjadi sub-ordinasinya. Tujuan pembangunan politik bertujuan menciptakan dan memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat bagi terselenggaranya dan terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang merupakan prioritas utama pembangunan nasional (Kaisiepo dalam Ridjal dan Karim, 1991).
Yang menjadi persoalan adalah bilamana arah pembangunan politik itu tidak didasarkan pada budaya politik yang hidup dalam masyarakat (Sjamsuddim dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Sakralisasi terhadap pembangunan membuat ide atau gagasan kesatuan dan persatuan kehilangan makna ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat yang plural. Perlawanan terhadap pembangunan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, dan oleh karenanya sah-sah saja masyarakat tersebut “diamankan”.
Dalam hubungannya dengan pembangunan, maka pemerintah mengembangkan strategi-strategi yang bersifat dualistis, misalnya pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil dan militer, dan lain-lain. Dalam hal hubungan antara pusat dan daerah mau tidak mau nilai-nilai politik yang bersifat nasional akan masuk dan bertemu dengan kenyataan di daerah tersebut. Interaksi antardaerah serta pusat dan daerah menimbulkan penetrasi-penetrasi yang oleh sebagian daerah dikuatirkan dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi subbudaya politik. Di satu pihak, perasaan akan adanya ancaman semacam ini telah memunculkan sikap membentengi subbudaya politik agar lebih tegar menghadapi penetrasi-penetrasi tersebut. Di lain pihak, sikap yang demikian sering pula dianggap oleh pimpinan nasional sebagai suatu tantangan/hambatan yang perlu ditaklukan (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Hubungan yang lebih menekankan dominasi pemerintah pusat ini menimbulkan sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat. Dalam sentralisasi, kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang memiliki otonominya sendiri, melainkan sebagai sekedar suplemen atau unsur pelengkap dari strategi pembangunan politik dan ekonomi (Kaiseipo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Padahal ada asumsi bahwa budaya seharusnya punya kedudukan otonom di dalam struktur sosialnya. Sebaliknya yang tampak, dalam kecenderungan sentralisasi dan rekayasa yang ketat itu, budaya kehilangan otonomi atau otoritasnya karena hanya melayani kemauan struktur: siapa menguasai struktur ia mengatur struktur (Kaiseipo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Secara langsung telah diciptakan identitas baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu mental ketergantungan. Masyarakat di daerah menjadi lumpuh, ia tidak dapat bergerak tanpa tuntunan dan petunjuk dari pemerintah pusat.
Apa yang menjadi kebijakan Pemerintah pusat tidak boleh dibantah. Pemerintah pusat senantiasa menuntut agar masyarakat daerah agar tetap patuh dan tunduk, hal ini juga berarti bahwa pemerintah menuntut masyarakat daerah untuk melepaskan diri dari kesetiaan lokal dan bentuk-bentuk kesetiaan lainnya serta mengarahkan kesetiaan itu kepada negara (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Tampaknya permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selama ini justru lebih banyak terletak dalam bidang budaya politik. Secara spesifik, apa yang menjadi pokok persoalan bagi kita di negeri ini ialah bagaimana kepentingan-kepentingan yang berdasarkan sekian banyak subbudaya politik itu dapat saling dipertemukan atau, setidak-tidaknya didekatkan (Sjamsuddin dalam
Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Dengan kata lain kondisi masyarakat Indonesia yang plural ini, pada dirinya telah mengandung bibit-bibit konflik. Inilah kelalaian historis yang hingga kini masih terpelihara. Persatuan telah menjadi ‘Tuhan’ dan asing bagi realitas kemajemukan.
Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Dengan kata lain kondisi masyarakat Indonesia yang plural ini, pada dirinya telah mengandung bibit-bibit konflik. Inilah kelalaian historis yang hingga kini masih terpelihara. Persatuan telah menjadi ‘Tuhan’ dan asing bagi realitas kemajemukan.
Kemajemukan:Potensi Integrasi dan Potensi Konflik
Masyarakat majemuk terdiri dari aneka kelompok. Kelompok-kelompok biasa membedakan diri dengan kelompok lain berdasarkan etnisitas. Kelompokkelompok ini acap dirujuk sebagai kelompok etnokultural dan dapat didefenisiskan sebagai: pertama, sebagai suatu kelompok harus ada sejumlah individu yang dapat dikenal, biasanya secara sosial berinteraksi dan melestarikan diri sendiri dari waktu ke waktu. Kedua, kelompok itu butuh menjadi etnik dalam karakter ( Berry dkk, 1999).
Kemajemukan, yang kata dasarnya adalah majemuk merupakan istilah yang pertama kali diutarakan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat ‘Indonesia’ pada jaman Hindia Belanda (Nasikun, 1995). Lebih lanjut Nasikun, berdasarkan pendapat Furnivall, menjelaskan masyarakat ‘Indonesia adalah merupakan majemuk (plural societies), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik. Sebagai contoh, dalam bidang politik tampak dengan jelas bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak ada kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemenelemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh (Nasikun, 1995).
Masalah usaha mempersatukan penduduk yang beraneka warna tersebut terdiri paling sedikit empat sub masalah yang masing-masing mempunyai dasar serta lokasi yang berbeda dan yang karena itu memerlukan kebijaksanaan yang berbeda-beda. Keempat sub masalah itu adalah:
- Masalah mempersatukan aneka warna suku bangsa
- Masalah hubungan antar umat beragama
- Masalah hubungan antara mayoritas dan minoritas
- Masalah integrasi budaya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia (Koentjaraningrat, 1984).
Untuk itu konsep suku bangsa di Indonesia perlu didefenisikan secara ilmiah dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang secara konsekuen harus dipakai sebagai kriteria pembeda yang obyektif bagi sukusuku bangsa yang besar maupun kecil di seluruh Indonesia. Dengan demikian akan tampak segolongan penduduk Indonesia berbeda dari golongan yang lain, sehingga bisa disebut sebagai suatu suku bangsa yang khas secara obyektif. Namun demikian dalam interaksi dan pergaulan nyata antara penduduk Indonesia dengan aneka latar belakang aneka bahasa dan adat istiadat, kriteria obyektif ilmiah untuk membedakan satu suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, biasanya tidak dipergunakan. Dalam interaksi dan pergaulan nyata justru alasan subyektif yang dipakai. Ditambah juga bahwa di dalam hal itu ada suatu gejala penambahan sejumlah ciri subyektif yang diberikan oleh suku bangsa yang satu kepada suku bangsa yang lain, hal ini disebut stereotipe etnik. Sekalipun ada yang bernilai positif, stereotipe ini biasanya bernilai negatif, dan hal ini merupakan salah satu penghambat dalam interaksi serta pergaulan antar suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984).
Usaha membina persatuan bangsa Indonesia yang majemuk menyangkut suatu masalah lain yaitu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Masalah tersebut bukan hanya suatu masalah cita-cita saja mengenai berkembangnya suatu kebudayaan kesatuan yang kita bayangkan untuk kelak kemudian hari, melainkan suatu masalah yang sangat nyata dan mempengaruhi kehidupan kita sebagai satu nasion atau bangsa yang bernegara. Hal itu karena masalah kebudayaan nasional. Indonesia itu menyangkut masalah kepribadian nasional, dan masalah itu tidak hanya langsung mengenai identitas kita sebagai bangsa, tetapi juga menyangkut soal motivasi kita untuk bersama bersusah payah mengorbankan banyak harta dan tenaga untuk membangun. Untuk itu syarat kebudayaan nasional meliputi:
pertama, kebudayaan nasional harus merupakan ide/gagasan, suatu aktivitas sosial, atau hasil karya yang bermutu tinggi dari warga nasion itu sendiri agar dapat menjadi kebanggaan bagi sebagian besar dari warga negara yang mendukungnya.
Kedua, sifat khas dan istimewa dari gagasan aktivitas sosial atau hasil karya itu tidak mempunyai kesamaan dalam kebudayaan lain di dunia (Keontjaraningrat, 1984). Telaah lintas budaya mengenai perbedaan dapat menjebak ke arah telaah mengenai kekurangan; evaluasi tentang perbedaan antara kelompok (seperti anggapan “ke-kami-an” (us) lebih baik, “ke-mereka-an” (them) lebih buruk) dikenal sebagai etnosentrisme. Istilah ini ingin menjelaskan suatu kecenderungan kuat untuk menerapkan patokan kelompok sendiri sebagai patokan satu-satunya ketika memandang dan menempatkan kelompok seseorang pada hirarki teratas dan mendudukkan kelompok lain pada hirarki yang lebih rendah (Berry dkk, 1999).
Berdasarkan hal di atas, maka masyarakat majemuk Indonesia menghadapi permasalahan interaksi dalam konteks akulturasi. Akulturasi menunjuk pada perubahan budaya dan psikologis karena perjumpaan dengan orang berbudaya lain yang juga memperlihatkan perilaku berbeda (Berry dkk, 1999). Dengan mendasarkan pada dua persoalaan pokok dalam menanggapi budaya yaitu tanggapan terhadap budaya sendiri dan ketika berhadapan dengan budaya lain, akan ditemukan empat varietas akulturasi.
Tuaian itu Ternyata Konflik
Tuaian itu Ternyata Konflik
Berbagai konflik sosial yang disertai dengan tindakan kekerasan semakin marak di Indoensia dan berada dalam kondisi kronis. Sepanjang tahun 1998 sampai dengan saat ini telah terjadi berbagai konflik sosial, baik antargolongan agama, antarsuku, antar pemerintah pusat dan daerah, hingga antarkelompok politik. Konflik sosial tersebut akan semakin rumit jika terjadi konflik yang ‘dwi minoritas;’, yaitu terhimpitnya konflik sosial suku dengan agama (kasus Ambon) dan konflik “tripple minorities’, yaitu perhimpitan konflik sosial ras, suku, dan agama, seperti yang terpotret dalam insiden Jakarta pada bulan Mei 1998 (Salim, 1999).
Sesungguhnya konflik adalah bagian dari perjalanan kehidupan manusia dan merupaka konsekuensi alami dari keberadaan yang beragam. Perbedaan suku, agama, dan ras sebenarnya tidak perlu selalu mengakibatkan konflik yang destruktif, justru kehidupan suatu ekosistem akan stabil jika semakin beraneka ragam.
Dengan melihat kenyataan bangsa Indonesia saat ini, mengapa rentetan konflik sosial yang destruktif harus terjadi? Untuk mengkaji hal ini tidak bisa lepas dari model pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam mengelola potensi konflik yang telah ada dalam kandungan kemajemukan. Pendekatan yang di terapkan selama ini adalah pendekatan fungsionalisstruktural yang menganalogkan masyarakat dengan organisme biologis. Adapun
anggapan dasar dari pendekatan ini adalah:
anggapan dasar dari pendekatan ini adalah:
- Masyarakat adalah merupakan sebuah sistem yang bagianbagiannya saling berhubungan
- Hubungan di antara bagian-bagian bersifat ganda dan saling berpengaruh/timbal balik
- Sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis
- Ketidaksesuaian dan berbagai bentu penyimpangan dapat teratasi dengan sendirinya melaui proses penyesuaian dan institusionalisasi
- Perubahan-perubahan terjadi secara bertahap dan tidak revolusioner.
- Perubahan dapat terjadi melalui cara penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial itu sendiri, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional , serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat
- Daya pengintegrasi adalah consensus (Nasikun, 1995).
Dengan penekanan pada masyarakat sebagai suatu sistem dan konsensus sebagai daya pengintegrasi, maka kehidupan dalam kepelbagaian tidak rekat secara sempurna, karena ketika konsensus dilanggar oleh pihak tertentu maka sistem itu terancam disintegrasi.
Sumber Artikel:
Awuy, Tommy F., ‘Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia’, dalam Kompas, tanggal 28 Juni 2000
Awuy, Tommy F., ‘Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia’, dalam Kompas, tanggal 28 Juni 2000
Baca juga:
0 comments:
Post a Comment