Bagi seseorang, kesehatan merupakan aset yang paling berharga, sebab pada sisi ini setiap individu akan berusaha untuk tetap berada dalam keadaan sehat dan sebisa mungkin menghindari faktor-faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit (tidak sehat). Sementara di sisi lain, ia akan berusaha –jika terlanjur sakit—untuk menghilangkan/mengobati setiap bentuk penyakit yang diidap. Sehingga dapat dikatakan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia bersama kebutuhan dasar lainnya seperti sandang dan pangan, bahkan terkadang harus mengabaikan kebutuhan dasar lainnya demi mendapatkan kesehatan (sembuh dari penyakit yang diderita).
Dalam tataran yang lebih luas, maka kesehatan menjadi kebutuhan dasar masyarakat, baik masyarakat sebagai kumpulan individu, maupun lingkungan tempat individu-individu tersebut tinggal dan berdiam. Sebegitu pentingnya arti kesehatan, sehingga kesehatan dimasukkan sebagai salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia dan dimasukkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945 misalnya, menegaskan pada Pasal 28 H ayat (1) bahwa “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Lahirnya hak untuk memperoleh “pelayanan kesehatan” dapat dipastikan berasal dari adanya hak sehat itu sendiri. Termasuk untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai yang tercantum di dalam UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (1) undang undang ini menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai kebutuhan dasar masyarakat, maka dituntut adanya pemenuhan dan penyediaan sumber-sumber daya yang memang dibutuhkan oleh masyarakat guna mewujudkan kesehatan tersebut. Menyangkut hal ini, dalam teori ekonomi dikenal adanya interaksi antara supply and demand, permintaan dalam arti kebutuhan untuk sehat dan ketersediaan dalam arti adanya pelayanan kesehatan yang memadai. Sebagai yang telah diketahui, kebutuhan manusia (termasuk kesehatan) senantiasa tak terbatas, sementara ketersedian sumber daya adakalanya terbatas. Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara dan alternatif terbaik di dalam penggunaan sumber daya yang ada. Disamping itu, berbeda dengan kebutuhan lain yang relatif lebih mudah dipahami konsumen, maka pengetahuan mengenai kebutuhan akan pelayanan kesehatan ( jasa medis) apalagi yang membutuhkan jasa super spesialisasi adalah semata milik penyedia jasa pelayanan utamanya dokter (termasuk tenaga kesahatan lainnya).
Lebih jauh lagi, jika dilihat dari adanya keterhubungan antara penyedia jasa dan para pasien sebagai pengguna (konsumen), maka hal ini tak dapat lepas dari UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hubungan hukum antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter, perawat, bidan dll) menjadi perbincangan setelah dikeluarkan UUPK ini. Secara rinci, UUPK memberikan pengaturan tentang hak serta kewajiban, baik bagi pemberi jasa maupun pengguna jasa. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberi jasa di bidang kesehatan, karena sifat pelayanan di bidang kesehatan sangat teknis serta tidak dapat diketahui oleh sembarang orang. Meskipun terdapat standar profesi, akan tetapi, setiap individu (baik pemberi dan penerima jasa) mempunyai kekhususan yang menyebabkan adanya kekhususan terhadap hubungan (hukum) antara pemberi jasa kesehatan dengan pengguna jasa, termasuk terhadap pemberi jasa di rumah sakit. Meskipun tujuan pemberian jasa sama, yakni berusaha melakukan tindakan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan pengguna jasa, namun tetap bahwa setiap rumah sakit –dan berbagai tempat pelayanan-- mempunyai standar pelayanan yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan standar pelayanan tersebut tetap tidak dapat mengenyampingkan dan mengabaikan adanya hubungan hukum (hak hak dan kewajiban) antara peneyedia dan pengguna jasa kesehatan atau antara negara/pemerintah dan masyarakatnya.
Topik yang senantisa diperbincangkan di dalam dunia hukum adalah ”hak dan kewajiban”. Menyinggung hukum di bidang kesehatan, maka bahasannya (antara lain) berkisar pada hak dan kewajiban pemberi pelayanan kesehatan di satu pihak berdampingan dengan hak dan kewajiban pasien di pihak lain, meliputi hal hal yang bersifat khusus maupun umum. Dasar dari adanya hak dan kewajiban ini tertuang dalam berbagai peraturan baik internasional maupun nasional. Akan tetapi mengingat implementasi pelayanan dibidang kesehatan yang terkadang masih menimbulkan permasalahan dilapangan, maka tetap diperlukan adanya kejelasan aturan hukum (hak-hak dan kewajiban) antara penyedia dan pengguna jasa kesehatan, khususnya dalam hal ini adalah Negara/pemerintah dengan warganya/masyarakat.
Hak Atas Kesehatan
Secara umum dikenal adanya dua hak dasar manusia, yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individu. Dari adanya hak dasar sosial inilah muncul hak yang paling menonjol yaitu the right to health care (hak atas pemeliharaan kesehatan) yang kemudian memunculkan hak lain yang bersifat individu berupa hak atas pelayanan medis (the right to medical service). Menurut Fred Ameln, diantara hak sosial dan individu tetap terdapat hubungan berupa
Hak atas kesehatan tidak selalu berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat dan tidak menjadi sakit, atau kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi hak ini lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada ketersediaan dan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam segala kemungkinan dan sebisa mungkin dalam waktu yang relatif singkat. Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), hak atas kesehatan dijelaskan sebagai “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area pelayanan kesehatan. Sebaliknya, dari sejarah perancangan dan makna gramatikal Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:
Tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang/individu, misalnya faktor genetik, kerentanan seseorang terhadap beberapa penyakit tertentu, kondisi alam (iklim) atau karena gaya hidup yang tidak sehat dan beresiko. Oleh sebab itu, pemerintah/negara dalam hal ini tidak dapat secara khusus memberikan perlindungan terhadap setiap kemungkinan penyebab penyakit, atau memberikan jaminan khusus terhadap kesehatan individu, sebab dalam hal ini tidak semua aspek dapat diarahkan secara sendiri-sendiri menyangkut hubungan antara negara dan individu. Dengan demikian, Hak Atas Kesehatan harus dipahami sebagai hak –kewajiban negara-- atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau secara umum oleh segenap lapisan masyarakat.
Sebagai suatu kewajiban negara dan hak seseorang/warga negara, maka usaha pemerintah pada mulanya adalah bertumpu pada upaya pengobatan penyakit, lalu bergeser pada upaya untuk meningkatkan standar dan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada usaha penyembuhan penyakit tersebut, kemudian secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat secara luas menyangkut upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Intinya terletak pada adanya keterlibatan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus tetap memperhatikan kesehatan masyarakat dan tetap menjadi tanggungjawab bersama.
Disamping itu, upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan senantiasa beriringan dengan fenomena globalisasi dan perkembangan dunia teknologi, yang pada gilirannya –sedikit banyaknya—akan mempengaruhi pelaksanaan upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan secara menyeluruh. Untuk alasan inilah, UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dianggap belum mengakomodir kemajuan teknologi dan informasi di bidang kesehatan sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru (UU No. 36 Tahun 2009). UU baru ini dalam menimbang huruf e menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru.
Dalam tataran yang lebih luas, maka kesehatan menjadi kebutuhan dasar masyarakat, baik masyarakat sebagai kumpulan individu, maupun lingkungan tempat individu-individu tersebut tinggal dan berdiam. Sebegitu pentingnya arti kesehatan, sehingga kesehatan dimasukkan sebagai salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia dan dimasukkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945 misalnya, menegaskan pada Pasal 28 H ayat (1) bahwa “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Lahirnya hak untuk memperoleh “pelayanan kesehatan” dapat dipastikan berasal dari adanya hak sehat itu sendiri. Termasuk untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai yang tercantum di dalam UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (1) undang undang ini menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai kebutuhan dasar masyarakat, maka dituntut adanya pemenuhan dan penyediaan sumber-sumber daya yang memang dibutuhkan oleh masyarakat guna mewujudkan kesehatan tersebut. Menyangkut hal ini, dalam teori ekonomi dikenal adanya interaksi antara supply and demand, permintaan dalam arti kebutuhan untuk sehat dan ketersediaan dalam arti adanya pelayanan kesehatan yang memadai. Sebagai yang telah diketahui, kebutuhan manusia (termasuk kesehatan) senantiasa tak terbatas, sementara ketersedian sumber daya adakalanya terbatas. Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara dan alternatif terbaik di dalam penggunaan sumber daya yang ada. Disamping itu, berbeda dengan kebutuhan lain yang relatif lebih mudah dipahami konsumen, maka pengetahuan mengenai kebutuhan akan pelayanan kesehatan ( jasa medis) apalagi yang membutuhkan jasa super spesialisasi adalah semata milik penyedia jasa pelayanan utamanya dokter (termasuk tenaga kesahatan lainnya).
Lebih jauh lagi, jika dilihat dari adanya keterhubungan antara penyedia jasa dan para pasien sebagai pengguna (konsumen), maka hal ini tak dapat lepas dari UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hubungan hukum antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter, perawat, bidan dll) menjadi perbincangan setelah dikeluarkan UUPK ini. Secara rinci, UUPK memberikan pengaturan tentang hak serta kewajiban, baik bagi pemberi jasa maupun pengguna jasa. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberi jasa di bidang kesehatan, karena sifat pelayanan di bidang kesehatan sangat teknis serta tidak dapat diketahui oleh sembarang orang. Meskipun terdapat standar profesi, akan tetapi, setiap individu (baik pemberi dan penerima jasa) mempunyai kekhususan yang menyebabkan adanya kekhususan terhadap hubungan (hukum) antara pemberi jasa kesehatan dengan pengguna jasa, termasuk terhadap pemberi jasa di rumah sakit. Meskipun tujuan pemberian jasa sama, yakni berusaha melakukan tindakan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan pengguna jasa, namun tetap bahwa setiap rumah sakit –dan berbagai tempat pelayanan-- mempunyai standar pelayanan yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan standar pelayanan tersebut tetap tidak dapat mengenyampingkan dan mengabaikan adanya hubungan hukum (hak hak dan kewajiban) antara peneyedia dan pengguna jasa kesehatan atau antara negara/pemerintah dan masyarakatnya.
Topik yang senantisa diperbincangkan di dalam dunia hukum adalah ”hak dan kewajiban”. Menyinggung hukum di bidang kesehatan, maka bahasannya (antara lain) berkisar pada hak dan kewajiban pemberi pelayanan kesehatan di satu pihak berdampingan dengan hak dan kewajiban pasien di pihak lain, meliputi hal hal yang bersifat khusus maupun umum. Dasar dari adanya hak dan kewajiban ini tertuang dalam berbagai peraturan baik internasional maupun nasional. Akan tetapi mengingat implementasi pelayanan dibidang kesehatan yang terkadang masih menimbulkan permasalahan dilapangan, maka tetap diperlukan adanya kejelasan aturan hukum (hak-hak dan kewajiban) antara penyedia dan pengguna jasa kesehatan, khususnya dalam hal ini adalah Negara/pemerintah dengan warganya/masyarakat.
Hak Atas Kesehatan
Secara umum dikenal adanya dua hak dasar manusia, yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individu. Dari adanya hak dasar sosial inilah muncul hak yang paling menonjol yaitu the right to health care (hak atas pemeliharaan kesehatan) yang kemudian memunculkan hak lain yang bersifat individu berupa hak atas pelayanan medis (the right to medical service). Menurut Fred Ameln, diantara hak sosial dan individu tetap terdapat hubungan berupa
- Saling mendukung
- Tidak saling bertentangan
- Minimal berjalan paralel
Hak atas kesehatan tidak selalu berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat dan tidak menjadi sakit, atau kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi hak ini lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada ketersediaan dan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam segala kemungkinan dan sebisa mungkin dalam waktu yang relatif singkat. Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), hak atas kesehatan dijelaskan sebagai “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area pelayanan kesehatan. Sebaliknya, dari sejarah perancangan dan makna gramatikal Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:
- Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;
- Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
- Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;
- e. Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang/individu, misalnya faktor genetik, kerentanan seseorang terhadap beberapa penyakit tertentu, kondisi alam (iklim) atau karena gaya hidup yang tidak sehat dan beresiko. Oleh sebab itu, pemerintah/negara dalam hal ini tidak dapat secara khusus memberikan perlindungan terhadap setiap kemungkinan penyebab penyakit, atau memberikan jaminan khusus terhadap kesehatan individu, sebab dalam hal ini tidak semua aspek dapat diarahkan secara sendiri-sendiri menyangkut hubungan antara negara dan individu. Dengan demikian, Hak Atas Kesehatan harus dipahami sebagai hak –kewajiban negara-- atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau secara umum oleh segenap lapisan masyarakat.
Sebagai suatu kewajiban negara dan hak seseorang/warga negara, maka usaha pemerintah pada mulanya adalah bertumpu pada upaya pengobatan penyakit, lalu bergeser pada upaya untuk meningkatkan standar dan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada usaha penyembuhan penyakit tersebut, kemudian secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat secara luas menyangkut upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Intinya terletak pada adanya keterlibatan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus tetap memperhatikan kesehatan masyarakat dan tetap menjadi tanggungjawab bersama.
Disamping itu, upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan senantiasa beriringan dengan fenomena globalisasi dan perkembangan dunia teknologi, yang pada gilirannya –sedikit banyaknya—akan mempengaruhi pelaksanaan upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan secara menyeluruh. Untuk alasan inilah, UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dianggap belum mengakomodir kemajuan teknologi dan informasi di bidang kesehatan sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru (UU No. 36 Tahun 2009). UU baru ini dalam menimbang huruf e menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru.
Selanjutnya Pasal 4 UUK menyatakan bahwa ”setiap orang berhak atas kesehatan” Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam UUK ini adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini berarti bahwa, siapapun (untuk dapat hidup sehat) berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak yang wujudnya dapat berupa pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau dalam arti tidak meninggalkan kualitas pelayanan.
Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh berbagai instrumen hukum, oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk ;
- Menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat
- Membiayai pelayanan kesehatan yang bersifat public goods, misalnya imunisasi dan pemberantasan berbagai penyakit menular
- Membiayai pelayanan kesehatan orang miskin dan usia lanjut
Pelayanan Kesehatan Sebagai Tanggungjawab Pemerintah
Pengertian pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebaga : 1 perihal atau cara melayani, 2 servis;. Sementara kesehatan bermakna keadaan (hal) sehat. Dari pengertian pengertian ini dapat diturunkan pengertian awal pelayanan kesehatan, yaitu : “ perihal atau tatacara melayani hal hal atau yang berhubungan dengan keadaan sehat”
Baik di dalam UU No. 36 Tahun 2009 maupun UU No. 44 Tahun 2009, tidak ditemukan arti dari istilah pelayanan kesehatan. Kedua undang-undang tersebut langsung mencantumkan berbagai jenis pelayanan kesehatan, antara lain; pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif , rehabilitatif dan tradisional yang kesemuanya dikelompokkan dengan istilah lain yaitu ”Pelayanan Kesehatan Paripurna”. Lebih lanjut Pasal 30 UU No. 36 Tahun 2009 mengemukakan istilah istilah lain yang dikelompokkan ke dalam Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yaitu : Pelayanan Kesehatan Perorangan, Pelayanan Kesehatan Masyarakat , lalu Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, Kedua dan Ketiga. Akan tetapi terdapat istilah lain yang dapat dipakai untuk memahami makna pelayanan kesehatan yaitu Upaya Kesehatan. Upaya kesehatan di dalam UU No. 36 Tahun 2009 diartikan sebagai ”setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”. Sementara pengertian yang bisa ditarik dari istilah ”pelayanan Kesehatan” dalam berbagai bentuknya (promotif dll) adalah, bahwa pelayanan kesehatan merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan, dengan demikian ”pelayanan kesehatan” pada hakikatnya adalah segala kegiatan/serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan termasuk kedalamnya adalah ”pelayanan medik” yang meliputi sarana dan prasarana kesehatan. Adapun serangkaian kegiatan pelayanan tersebut dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Promosi kesehatan
- Pendidikan kesehatan
- Penyediaan fasilitas ( sarana dan prasarana)
- Pencegahan penyakit
- Pengobatan penyakit
- Pengembalian bekas penderita penyakit
- Perawatan
- Pengawasan
- Perlindungan dll
Disamping itu pelayanan pada hakikatnya merupakan suatu bentuk kegiatan yang pelaksanaannya sebahagian besar diselenggarakan oleh pemerintah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah, maka pelayanan kesehatan termasuk ke dalam pelayanan publik. Pelayanan publik itu sendiri merupakan segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. (KEMENPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003).
Terlepas dari pengertian tersebut di atas, Pelayanan kesehatan menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 seperti dalam penjelasannya adalah, bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan baik itu perseorangan maupun masyarakat sangat dijamin dalam UU tersebut, dalam beberapa pasal sangat jelas ditegaskan bahwa untuk menjamin kesehatan masyarakat maka pemerintah mengupayakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam upaya mencapai Indonesia yang sehat. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah baik itu berupa penyediaan fasilitas pelayanan kasehatan, penyediaan obat, serta pelayanan kesehatan itu sendiri adalah dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat. Adapun Fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya terdiri atas : seperti yang termaktub di dalam Pasal 30 meliputi :
- Pelayanan Kesehatan Perseorangan. Pelayanan kesehatan perseorangan ini dilaksanakan oleh praktek dokter atau tenaga kesehatan yang di bantu oleh pemerintah baik daerah maupun swasta. Dalam pelayanan kesehatan perseorangan ini harus tetap mendapat izin dari pemerintah sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
- Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Dalam pelayanan kesehatan perseorangan sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) adalah ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat adalah ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Pelayanan kesehatan ini adalah mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lainnya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggungjawab, aman, bermutu serta merata dan nondiskriminatif, dalam bahasa (peraturan ini) pemerintah sangat bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan, serta menjamin standar mutu pelayanan kesehatan. Dengan demikian sangat jelaslah secara normatif bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, pemerintah sangat peduli dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dengan demikian hak-hak warga negara sebagai penerima pelayanan kesehatan tersebut (seharusnya) dapat terlindungi.
Masalah yang kemudian muncul adalah implementasi dari norma norma dan aturan hukum yang tertuang dalam berbagai peraturan tersebut, sebab fakta-fakta lapangan kadangkala berlainan dengan norma-norma ideal. Terlebih jika hal hal yang hendak diatur mempunyai ciri dan spesifikasinya sendiri. Demikian pula halnya dengan (pelayanan) kesehatan, terdapat hal-hal yang merupakan kekhasannya tersendiri, yaitu :
- karena adanya asas ketidakpastian (uncertainly) . Artinya, seseorang tidak tahu secara pasti kapan akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Pada dasarnya tidak ada orang yang menginginkan untuk jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit, yang diinginkan adalah menjadi sehat.
- karena adanya ketidakseimbangan informasi (asimetri informasi). Ketika seseorang jatuh sakit, keputusan untuk membeli jasa pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya ada di tangan dokter atau di tempat ia berobat (klinik, rumah sakit). Bila diminta mengikuti suatu prosedur pembedahan, pasien boleh dikatakan tidak mengetahui apakah ia membutuhkan operasi tersebut atau tidak. Meskipun dewasa ini telah dikenal informed consent untuk melibatkan pasien dalam keputusan atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter, tapi tetap saja pasien tidak dalam posisi yang sama tahu dengan dokter yang merawatnya mengenai status kesehatannya saat itu.
- adanya dampak terhadap pihak lain (eksternallitas). Pendekatan untuk mengatasi masalah kesehatan umumnya tidak hanya membawa dampak terhadap individu bersangkutan, tetapi juga masyarakat luas. Sebagai contoh, bila sekumpulan individu telah mendapat kekebalan akibat vaksinasi terhadap penyakit tertentu (misalnya:polio) maka secara agregat kekebalan terhadap sekelompok penduduk di wilayah tertentu. Akhirnya negara bebas dari polio, dan pada gilirannya diharapkan dunia juga akan bebas dari polio. Demikian juga sebaliknya, jika penanganan penyakit tertentu tidak segera dikerjakan, maka suatu penyakit yang pada awalnya hanya diderita oleh satu kelompok masyarakat tertentu akan bisa meluas ke wilayah yang lain.
Disamping, itu implikasi-iplikasi hukum terkadang muncul bersamaan dengan adanya hubungan antara penyedia layanan kesehatan dan pengguna jasa, hal mana justru sangat sedikit difahami oleh kalangan masyarakat secara umum. Sebutlah Kasus Prita atau kasus kasus malpraktik lainnya. Hal yang kurang difahami oleh masyarakat (mungkin juga oleh penyedia jasa), adalah tentang adanya hubungan hukum tersebut. Pemahaman tentang timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan perorangan atau individual yang disebut pelayanan medik, dasar hukum hubungan pelayanan medik, kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik dan resiko dalam pelayanan medik. Timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik dapat dipahami, jika pengertian pelayanan kesehatan, prinsip pemberian bantuan dalam pelayanan kesehatan, tujuan pemberian pelayanan kesehatan dapat dipahami sebagai memberikan rasa sehat atau adanya penyembuhan bagi si pasien.
Bagi masyarakat yang sebahagian (besar) tidak memahami, hal ini masih dapat dianggap wajar, sebab apa yang difahami adalah bahwa hubungan antara seorang pasien dan dokter dalam pelayanan medis masih bersifat paternalistik, yaitu seorang pasien akan senantiasa mengikuti perkataan seorang dokter tanpa bertanya apa-apa, dengan anggapan bahwa seorang dokter sangat mengetahui segalanya. Akan tetapi berbeda halnya bagi penyedia pelayanan kesehatan (termasuk tenaga-tenaga kesehatan), maka mereka dianggap tahu adanya hubungan-hubungan hukum tersebut disamping pengetahuan tentang kedudukannya yang sama di depan hukum, yang pastinya menimbulkan konsekuensi hukum, baik itu berupa hak dan kewajiban pasien maupun dokter atau rumah sakit. Lagi pula, perbuatan yang dilakukan oleh para pelaksana pelayanan kesehatan itu sebenarnya merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, walaupun hal tersebut seringkali tidak disadari oleh para pelaksana pelayanan kesehatan pada saat dilakukan perbuatan yang bersangkutan. Pelayanan kesehatan itu sebenarnya tidak hanya meliputi kegiatan atau aktivitas profesional di bidang pelayanan kuratif dan preventif untuk kepentingan perorangan, tetapi juga meliputi misalnya lembaga pelayanannya, sistem kepengurusannya, pembiayaannya, pengelolaannya, tindakan pencegahan umum dan penerangan yang kesemuanya jelas membutuhkan landasan hukum.
Oleh sebab itu, kembali kepada penyelenggara utama pelayanan kesehatan, maka sudah jelas berdasarkan UU. No. 36 Tahun 2009, Pemerintahlah yang paling bertanggungjawab terhadap derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi seluruh warga negara, tanggung jawab tersebut meliputi :
- tanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial
- tanggung jawab atas ketersediaan sumber dayadi bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
- tanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan
- tanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.
- tanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
- tanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan Dengan melihat paparan tersebut diatas, maka kepastian pelayanan kesehatan yang tersedia secara merata di seluruh pelosok Indonesia merupakan suatu keharusan agar masyarakat mendapatkan akses dan haknya untuk menjadi sehat. Sudah tentu hal tersebut menjadi tanggung jawab negara yang dalam hal ini adalah pemerintah sebagai representasi kekuasaan masyarakat. Sebab jika jawabannya setia terhadap mekanisme pasar, konsekuensinya, swasta akan menjadi pelaku utama penyedia pelayanan. Meskipun hal tersebut memiliki kelebihan yakni tersediannya pelayanan yang berkualitas, namun jelas tidak semua orang mempunyai akses kepelayanan kesehatan yang canggih dan mahal.
Achmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama Jakarta
Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Grafika Tama, 1991
Astut,i Endang Kusuma, Transaksi Terepeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2009.
Baca juga:
0 comments:
Post a Comment