Latar Belakang Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
a. Perubahan Pendidikan ke Masa Depan
Dalam Konferensi Menteri Pendidikan Negara-negar berpenduduk besar di New Delhi tahun 1996, menyepakati bahwa pendidikan Abad XXI harus berperan aktif dalam hal;
- Mempersiapkan pribadi sebagai warga negara dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab;
- Menanamkan dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup;
- Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi dan seni demi kepentingan kemanusiaan.
- Tidak hanya meneruskan nilai-nilai, mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, tetapi juga melahirkan warganegara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa dan kemanusiaan;
- Mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang produktif dalam konteks yang dinamis;
- Mengubah cara berfikir, sikap hidup, dan perilaku berkarya individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka memprakarsai perubahan sosial yang diperlukan serta mendorong perubahan ke arah kemajuan yang adil dan bebas
Agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain maka Pendidikan nasional Indonesia perlu dikembangkan searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan. Pendidikan nasional memiliki fungsi sangat strategis yaitu “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” Tujuan Pendidikan nasional “berkembangnya potensi peserta anak didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) di perguruan tinggi sebagai kelompok MPK diharapkan dapat mengemban misi fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Melalui pengasuhan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang substansi kajian dan materi instruksionalnya menunjang dan relevan dengan pembangunan masyarakat demokratik berkeadaban, diharapkan mahasiswa akan tumbuh menjadi ilmuwan atau profesional, berdaya saing secara internasionasional, warganegara Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
b.Dinamika Internal Bangsa Indonesia
Dalam kurun dasa warsa terakhir ini, Indonesia mengalami percepatan perubahan yang luar biasa. Misalnya, loncatan demokratisasi, transparansi yang hampir membuat tak ada lagi batas kerahasiaan di negara kita, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Liberalisasi bersamaan dengan demokratisasi di bidang politik, melahirkan sistem multi partai yang cenderung tidak efektif, pemilihan presiden – wakil presiden secara langsung yang belum diimbangi kesiapan infrastruktur sosial berupa kesiapan mental elit politik dan
masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat.
masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat.
Kekuasaan DPR-DPRD yang sangat kuat seringkali disalahgunakan sebagai ajang manuver kekuatan politik yang berdampak timbulnya ketegangan-ketegangan suasana politik nasional, dan hubungan eksekutif dan legeslatif. Pengembangan otonomi daerah berekses pada semakin bermunculan daerah otonomi khusus, pemekaran wilayah yang kadang tidak dilandasi asas-asas kepentingan nasional sehingga sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan terkesan menjadi ”chaos” (Siswono Yudohusodo, 2004:5).
Situasi lain yang saat ini muncul yaitu melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang telah lama menjadi prinsip dan bahkan sebagai pandangan hidup, mengakibatkan sistem filosofi bangsa Indonesia menjadi rapuh. Ada dua faktor penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh globalisasi yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Dalam praktiknya sistem kapitalisme dan demokrasi liberal yang disponsori oleh negara-negara maju seperti Amerika, mampu menggeser tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi tatanan dunia baru yang bersifat global mondial. Bahkan mampu menyusup dan mempengaruhi tatanan nilai kehidupan internal setiap bangsa di dunia. Tarik ulur yang memicu ketegangan saat ini sedang terjadi dalam internal setiap bangsa, antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang menjadi identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah dikemas melalui teknologinya (Iriyanto Widisuseno, 2004: 4).
Sejauh mana kekuatan setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk mengadaptasi nilai-nilai asing tersebut. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang cenderung berorientasi praktis dan pragmatis dapat menggeser nilai-nilai dasar kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam ini sudah mulai menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Seperti nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang sudah semakin melupakan peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya berupa Pancasila dalam perbincangan lingkup ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-hari. Pancasila sudah
semakin tergeser dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan produk kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas dari konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak hanya dalam status formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem filosofi bangsa sudah tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pegangan dan arah pembangunan.
semakin tergeser dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan produk kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas dari konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak hanya dalam status formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem filosofi bangsa sudah tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pegangan dan arah pembangunan.
Faktor internal, yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia sendiri. Kenyataan seperti ini muncul dari kesalahan sebagian masyarakat dalam memahami Pancasila. Banyak kalangan masyarakat memandang Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis. Sebagian lagi masyarakat menganggap bahwa Pancasila merupakan alat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Segala titik kelemahan pada Orde Baru linier dengan Pancasila. Akibat yang timbul dari kesalahan pemahaman tentang Pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan Pancasila, bahkan anti Pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang menggejala pada sebagian masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman (epistemologis) ini menjadikan masyarakat telah kehilangan sumber dan sarana orientasi nilai.
Disorientasi nilai dan distorsi nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini. Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat menghadapi masa transisi dan transformasi. Dalam masa transisi terdapat peralihan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari mayarakat paternalistik ke arah masyarakat demokratis, dari masyarakat feodal ke masyarakat egaliter, dari makhluk sosial ke makhluk ekonomi. Dalam proses transisi ini menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia mengalami kegoyahan konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupan yang telah lama menjadi pegangan hidup, sehingga timbul kekaburan dan ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi.
Dalam masa transformasi, terjadi pergeseran tata nilai kehidupan sebagian masyarakat Indonesia sebagai dampak dari proses transisi, misal beralihnya dari kebiasaan cara pandang masyarakat yang mengapresiasi nilai-nilai tradisional ke arah nilai-nilai modern yang cenderung rasional dan pragmatis, dari kebiasaan hidup dalam tata pergaulan masyarakat yang konformistik bergeser ke arah tata pergaulan masyarakat yang dilandasi cara pandang individualistik.
Distorsi nasionalisme, suatu fenomena sosial pada sebagian masyarakat Indeonesia yang menggambarkan semakin pudar rasa kesediaan mereka untuk hidup eksis bersama, menipisnya rasa dan kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada kepahlawanan masa silam yang tumbuh karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu. Hilangnya rasa saling percaya (trust) antar sesama baik horizontal maupun vertikal. Fenomena yang kini berkembang adalah rasa saling curiga, dan menjatuhkan sesama. Inilah tanda-tanda melemahnya kohesivitas sosial kemasyarakatan di antara kita sekarang ini.
Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan dilakukan oleh hampir seluruh bangsa di dunia, dengan menggunakan nama seperti: civic education, citizenship education, democracy education. PKn memiliki peran strategis dalam mempersiapkan warganegara yang cerdas, bertanggungjawab jawab dan beerkeadaban. Menurut rumusan Civic International (1995) bahwa “pendidikan demokrasi penting bagi pertumbuhan “civic culture” untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan, inilah satu tujuan penting pendidikan “civic” maupun citizenship” untuk mengatasi political apatism demokrasi (Azyumadi Azra, 2002 : 12 ). Semua negara yang formal menganut demokrasi menerapkan Pendidikan Kewarganegaraan dengan muatan, demokrasi, rule of law, HAM, dan perdamaian, dan selalu mengaitkan dengan kondisi situasional negara dan bangsa masing-masing Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia semestinya menjadi tanggungjawab semua pihak atau komponen bangsa, pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga keagamaan dan msyarakat industri (Hamdan Mansoer, 2004: 4)
Searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan dan dinamika internal bangsa Indonesia, program pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus mampu mencapai tujuan:
- Mengembangkan sikap dan perilaku kewarganegaraan yang mengapresiasi nilai-nilai moral-etika dan religius.
- Menjadi warganegara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
- Menumbuhkembangkan jiwa dan semangat nasionalisme, dan rasa cinta pada tanah air.
- Mengembangkan sikap demokratik berkeadaban dan bertanggungjawab, serta mengembangkan kemampuan kompetitif bangsa di era globalisasi.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
0 comments:
Post a Comment