Pada artikel ini penulis akan melakukan inventarisasi teknologi komunikasi dan informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan jarak jauh di Indonesia serta menguraikan wujud pemanfaatannya. Artikel ini akan dimulai dengan melihat kembali pengertian pendidikan jarak jauh sehingga ulasan pemanfaatan infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi dapat dengan lebih jelas diikuti.
Pengertian Pendidikan Jarak Jauh Telah banyak ahli yang membahas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikan jarak jauh diantaranya Keegan (1984), Holmberg (1977), dan Moore (1973). Walaupun agak sulit untuk mendapatkan satu definisi yang diterima oleh semua pakar pendidikan jarak jauh, namun karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan (1984) dapat dipakai sebagai acuan dasar untuk pembahasan dalam artikel ini. Berikut ini adalah karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan.
Jarak sebagai pemisah seperti di ataslah yang hendak diatasi melalui pendidikan jarak jauh dengan memanfaatan rancangan instruksional dan rancangan interaksi supaya kegiatan belajar yang dirancang dengan sugguh-sungguh dapat tercapai. Teori yang berkembang sebagai hasil dari upaya untuk mengatasi jarak dalam kegiatan ini dikenal dengan teori jarak transaksional (Moore, M.G. & Kearsley, G, 1996)
Karena ciri khasnya adalah keterpisahan jarak baik dalam arti fisik dan non-fisik seperti yang dikemukakan di depan maka kegiatan pembelajaran tatap muka dapat dikatakan terjadi dalam frekuensi yang rendah. Isi pembelajaran disampaikan melalui media dalam berbagai jenis sedangkan komunikasi/ interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajarnya atau dilakukan dengan memanfaatkan sarana komunikasi. Dengan demikian program pendidikan dapat diikuti dari dari mana saja dan kapan saja selama media belajar dan sarana komunikasi dua arah tersedia supaya peserta ajar dan tenaga pengajarnya dapat berinteraksi untuk membahas isi pembelajaran.
Pendidikan yang diselenggarakan dengan system yang secara garis besar digambarkan seperti di atas tentu akan membuka peluang belajar bagi mereka yang tidak bisa mengikuti program pendidikan konvensional. Mereka yang sudah berkeluarga, bekerja biasanya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti perkuliahan yang diselenggarakan dengan jadwal dan hanya dapat diikuti dari tempat tertentu saja.
Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi peran yang dapat dimainkan oleh teknologi komunikasi dan informasi beserta infrastrukturnya dalam pendidikan jarak jauh. Peran tersebut meliputi presentasi materi atau isi pembelajaran dan penyediaan sarana komunikasi atau interaksi antara institusi pendidikan jarak jauh dengan peserta program pendidikannya.
Tiga dari lima media/teknologi yang dapat dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang telah diidentifikasi Moore dan Kearsley (1996) berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga media/teknologi tersebut adalah radio dan televisi, telekonferensi, dan pembelajaran berbantuan komputer. Dua media yang tidak terkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi adalah cetak dan audio/video kaset.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai bagaimana masing-masing media/teknologi tersebut dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia, ada beberapa aspek dari media yang perlu diperhatikan dalam mencermati media/teknologi. Kerangka yang akan dipakai dalam mencermati media tersebut mengacu pada kriteria pemilihan media dan teknologi yang dikemukakan oleh Bates (1995). Kriteria tersebut diperkenalkan dalam sebuah akronim ACTIONS yang membantu mengingat bahwa aspek Aksesibilitas, Cost (biaya), Teaching-Learning Functions (efektivitas fungsi pembelajaran), Interactivity (interaktivitas), Organization, Novelty, dan Speed. Berikut ini adalah makna dari empat aspek pertama (yang penulis anggap sangat penting) dari aspek-aspek tersebut.
Aksesibilitas mengacu pada proporsi sasaran program yang mempunyai akses pada media/teknologi yang akan digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Aspek akses ini tidak terbatas pada akses secara fisik semata-mata namun aspek mampu atau bahkan kenyamanan dalam memanfaatkan media tersebut. Semakin besar proporsi sasaran yang mempunyai akses pada media, semakin besar peluang sukses dari media yang akan dipergunakan.
Biaya meliputi biaya yang harus dikeluarkan oleh institusi dan oleh peserta ajar. Biaya pada institusi meliputi biaya tetap (investasi awal) yaitu biaya yang harus dikeluarkan pada waktu mengembangkan media dan biaya tambahan bagi setiap penambahan jumlah peserta (operasional).
Efektifitas fungsi pembelajaran mengacu pada kesesuaian media untuk menyampaikan isi pembelajaran. Bila isi pembelajaran memerlukan presentasi materi dalam berbagai format, misalnya teks, suara, gambar, animasi, film hidup, maka pertanyaan yang valid adalah apakah media mendukung untuk hal ini.
Interaktivitas mengacu pada dua hal yaitu pertama apakah media yang akan dipilih mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran, yaitu interaksi individual antara peserta ajar dengan materi ajarnya. Interaktivitas yang kedua menyangkut apakah media yang akan dipakai mampu mendukung interaksi antara peserta ajar dengan nara sumber yang akan membantu peserta ajar dalam memahami materi ajar dan interaksi antar peserta ajar.
Sampai di sini telah diulas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikan jarak jauh, sisi di mana teknologi informasi dan komunikasi dapat berperan, serta aspek-aspek yang perlu diiperhatikan dalam menerapkan media/teknologi. Dengan demikian cukuplah kerangka yang diperlukan untuk mengulas peran teknologi komunikasi dan informasi dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia dalam upaya untuk mengatasi kendala ruang dan waktu dalam menyampaikan program pendidikan/pembelajaran.
Teknologi Komunikasi dan Informasi: Infrastruktur dan titik akses layanan Teknologi komunikasi dan informasi dengan infrastruktur dan titik layanannya telah jauh berkembang dengan cukup baik di Indonesia. Mulai dari teknologi yang sederhana dan murah, misalnya telekonferensi audio dengan memanfaatkan telepon melalui layanan PERMATA atau PERtemuan MelAlui Telepon Anda (Telkom, ), korespondensi melalui fax, siaran radio dan televisi, internet dan sampai yang canggih telekonferensi video dengan memanfaatkan satelit misalnya layanan Vidoe Link PT Indosat.
Radio dan Televisi Di Indonesia terdapat banyak stasiun pemancar radio dan televisi baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan jarak jauh dengan menyiarkan program pendidikan. Dalam hal radio hanya ada satu institusi yang mempunyai daya jangkau secara nasional, yaitu Radio Republik Indonesia. Daya jangkau stasiun radio swasta yang pada umumnya menggunakan gelombang FM pada frequensi 88 – 108 MHz tidak lebih dari radius 100 km (Radio Nederland, 2001). Selain itu dari sisi peraturan, ada pula pembatasan daya jangkau stasiun pemancar radio yang diwujudkan dalam kategori stasiun pemancar mulai dari siaran internasional, nasional sampai pada siaran lokal. (Undang Undang Nomor 4, 1997)
Untuk mengatasi keterbatasan jangkauan, ada beberapa radio swasta yang membangun jaringan dengan anggota di berbagai kota, misalnya Trijaya Network terdiri atas stasiun radio Trijaya Jakarta, SCFM Surabaya, Prapanca Medan dan , Mercurius Top FM Makassar, dan Voice of Papua FM Jayapura (Trijaya, 2002). Dalam jaringan radio ini juga berlangsung pendidikan informal secara jarak jauh dengan mengangkat topik-topik yang menjadi perhatian masyarakat umum mulai dari masalah kesehatan, sosial dan politik. Informasi mengenai program dari jaringan radio ini dapat diperoleh melalui website www.trijaya-fm.com.
Dalam hal televisi, di Indonesia terdapat satu stasiun pemancar milik negara (TVRI) dan delapan stasiun televisi swasta. TVRI adalah program nasional sehingga siarannya hampir dapat diterima di setiap pelosok tanah air walaupun masih ada daerah-daerah yang tetap tidak bisa menerima siaran. Dilihat dari proporsi wilayah, siaran TVRI menjangkau hanya 37% dari wilayah Indonesia, namun telah menjangkau 68% dari populasi penduduk Indonesia (Padmo, 2000). Stasiun televisi swasta bervariasi dalam daya jangkau siarannya, namun hampir setiap kota besar di Indonesia dapat menerima siaran dari televisi swasta.
Dari aspek aksesibilitas, radio mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tingkat pemilikan radio di sembilan wilayah perkotaan dengan angka penetrasi sebesar 40% (Katili-Niode, 2002). Dari sumber yang sama diperoleh bahwa televisi mempunyai aksesibilitas yang sedikit lebih rendah yaitu dengan penetrasi 31%. Dari sisi sasaran peserta jelas bahwa aksesibilitas radio dan televisi tidaklah rendah. Namun kenyataannya televisi dan radio belum besar perannya dalam pendidikan jarak jauh di Indonesia. Beberapa studi dapat dipakai sebagai acuan dalam menjelaskan fenomena di atas.
Studi yang dilakukan Nurul Huda dkk (2000) menunjukkan bahwa radio mempunyai keterbatasan dalam daya jangkau dan untuk memperluas daya jangka diperlukan stasiun relay atau kerjasama dengan radio lokal. Lebih jauh studi tersebut menyatakan bahwa kesediaan radio lokal untuk mengalokasikan waktu untuk siaran pendidikan pada umumnya (53 % dari responden) maksimum 60 menit per minggu. Sedangkan yang bersedia mengalokasikan waktu antara 20 – 60 menit per hari hanya sebesar 20 % dari total stasiun pemancar radio yang dijadikan sampel. Kendala pengalokasian waktu lebih banyak bagi siaran program pendidikan adalah biaya siaran dimana satuan biaya siaran radio per jam siaran per peserta untuk sejumlah 500 peserta masih sekitar 6 USD atau 1.5 USD untuk 1250 peserta (Bates, 1995). Hal inilah yang menjadi kendala bagi penyiaran siaran pendidikan yang secara spesifik mengacu kepada matakuliah tertentu.
Dalam konteks Indonesia agak sulit bagi sebuah stasiun radio swasta lokal untuk mendapatkan 1250 pendengar bagi setiap siaran pendidikannya. Isu ini mungkin tidak terlalu relevan bagi pembelajaran pada sekolah dimana siswa pada tingkat dan jenjang yang sama mengikuti program pembelajaran yang sama. Berbeda halnya dengan pendidikan tinggi yang menerapkan sistem kredit semester. Dalam sistem ini variasi pengambilan matakuliah bisa sangat beragam, terlebih bagi pendidikan terbuka dan jarak jauh yang mempunyai ciri fleksibilitas dalam proses pembelajarannya.
Siaran pendidikan melalui televisi mempunyai konsekuensi pembiayaan yang lebih besar lagi. Berdasarkan hasil riset selama lebih dari delapan tahun, satuan biaya untuk penyiaran program pendidikan per peserta per jam siaran untuk 500 peserta masih lebih besar dari 25 USD. Bahkan untuk jumlah 1250 mahasiswapun biaya satuannya masih lebih besar dari 10 USD (Bates, 1995).
Kendala lain bagi pemanfaatan siaran radio dan televisi adalah media ini adalah sekali tayang bila pada waktu penayangan para peserta tidak menyaksikan maka mereka kehilangan (Huda dkk, 2000). Untuk mengganti yang hilang, maka harus ada siaran ulang yang memerlukan biaya penyiaran yang sama. Selain itu, media siaran ini pada dasarnya adalah media satu arah. Materi yang disiarkannya sebagian besar sudah terekam sehingga interaksi dalam media umumnya tidak ada. Jadi media ini mampu mengatasi kendala ruang dalam penyampaian program pendidkan jarak jauh dengan biaya yang relatif mahal namun masih terikat pada kendala waktu.
Telekonferensi, Telekonferensi adalah suatu pertukaran informasi secara langsung antara dua orang atau lebih yang berada pada dua atau lebih lokasi yang berbeda dengan memanfaatkan suatu sistem telekomunikasi. Pada dasarnya telekonferensi adalah sarana komunikasi dua arah sehingga dalam pendidikan jarak jauh berperan untuk menjembatani komunikasi antara peserta ajar dengan nara sumber, khususnya dalam pemberian layanan bantuan belajar.
Ada dua jenis telekonferensi, yaitu telekonferensi audio dan telekonferensi video. Dalam telekonferensi audio, informasi yang dipertukarkan berupa suara sedangkan dalam telekonferensi video informasi yang dipertukarkan dalam bentuk suara dan gambar hidup yang sinkron dengan suara. Oleh karena itu dalam telekonferensi video dibutuhkan pita komunikasi (bandwidth) lebih besar dari telekonferensi audio.
Ada beberapa sarana telekomunikasi yang bisa dipakai untuk mendukung telekonferensi audio, yaitu: telephone, satelit, dan internet. Penyelenggaraan telekonferensi audio dengan memanfaatkan telepon dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan PERMATA (Pertemuan Melalui Telepon Anda) dari PT Telkom. Layanan Permata telah tersedia diberbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujung Pandang, Menado dan Medan (Telkom, 2002). Dengan layanan PERMATA, sebanyak 30 nomor sambungan dapat dihubungkan sehingga terjadi konferensi. Partisipasi dalam PERMATA dapat dilakukan dari telepon yang ada di rumah, kantor, wartel, atau bahkan dari telepon umum. Walaupun hanya mampu menghubungkan 30 sambungan telepon secara simultan tidak berarti bahwa konferensi hanya bisa diikuti oleh 30 peserta. Peserta yang tinggalnya berdekatan dapat bersama-sama menggunakan satu speaker phone yang dilengkapi dengan mic sehingga setiap orang dapat mendengar pembicaraan dan dapat berpartisipasi dalam telekonferensi.
Struktur biaya hanya mempunyai satu komponen yaitu pulsa telepon selama mengikuti telekonferensi. Pemanfaatan PERMATA untuk penyelenggaraan telekonferensi dalam rangka pembelajaran jarak jauh ini dari segi biaya tidaklah terlalu memberatkan bagi peserta yang tinggal di kota tempat penyelenggaraan telekonferensi karena mereka tidak harus membayar tarif interlokal. Bagi peserta yang harus membayar biaya pulsa interlokal tentunya hal ini memberatkan bagi sebagian peserta karena mahalnya tarif interlokal di Indonesia.
Walaupun penetrasi telepon di perumahan hanya 2.5% (Titan, 1997), namun pada kalangan berpenghasilan menengah ke atas penetrasi telepon sebesar 70% (Marketing Intelligence Corporation, 2000). Sekalipun demikian akses pada telepon bagi kalangan ekonomi lemah sangat terangkat dengan hadirnya warung telekomunikasi yang berjumlah tak kurang dari 180.000 buah (Tjokrosudarmo, 2001) yang tersebar diseluruh pelosok tanah air. Wartel ini menyediakan layanan telepon bagi masyarakat umum. Sarana telepon ini mempunyai aksesibilitas yang tinggi karena selain jumlah wartel yang sangat banyak, tarifnyapun lebih murah dari tarif telepon bagi perumahan. Sayangnya layanan PERMATA masih terbatas pada enam kota tersebut di atas sehingga pemanfaatan dalam skala besar akan sulit karena akan ada peserta yang harus menanggung biaya interlokal.
Telekonferensi video memungkinkan penyelenggaraan perkuliahan secara jarak jauh dimana pengajar dapat menyaksikan aktivitas peserta ajar di tempat lain dan sebaliknya peserta ajar dapat menyaksikan aktivitas pengajar dan peserta ajar di tempat lain. Pada setiap ruang penyelenggaraan telekonferensi video terdapat sekurang-kurangnya satu set televisi untuk menampilkan aktivitas di lokasi lain dan satu kamera video yang berfungsi untuk mengambil gambar hidup dari aktifitas ruang tersebut dan mengirimkan ke ruangan lain dan satu peralatan yang berfungsi untuk mengirim citra aktivitas ke lokasi lain dan menerima citra aktivitas dari lokasi lain. Investasi peralatan untuk telekonferensi video sekitar 20.000 USD atau sekitar Rp 200 juta lebih per lokasi (Moore & Kearsley, 1996)
Selain biaya investasi peralatan yang mahal, biaya operasi telekonferensi video juga mahal karena membutuhkan pita komunikasi yang lebih lebar . Hal ini disebabkan karena selain mengirimkan informasi dalam bentuk suara juga mengirimkan informasi dalam bentuk gambar bergerak. Biasanya diperlukan saluran komunikasi melalui satelit yang tarif non-komersial mencapai 100 USD/jam untuk kecepatan 112 Kbps dan 150 USD untuk 336 Kbps (LVC, 2002). Di Indonesia, tarif penyelenggaraan konferensi video melalui Indosat Video Link diatur berdasarkan jarak yang diklasifikasikan dalam tujuh zone. Tarif zone I (termurah) adalah Rp 705.600 untuk kecepatan 128 Kbps dan Rp 2.116.800 untuk kecepatan 384 Kbps. Biaya tersebut baru mencakup biaya telekomunikasinya dan belum mencakup biaya sewa ruang dalam gedung milik Indosat yang minimal sebesar 80 USD per jam untuk ruangan berkapasistas 12 orang. (Indosat 2002).
Pengiriman data video satu arah yang bagus untuk ukuran 15 frame per detik 248 x 200 pixel memerlukan memerlukan bandwidth sebesar 167 kbps (Sorenson, 2002). Karena telekonferensi video merupakan komunikasi dua arah, maka diperlukan bandwidth sebesar dua kali 167 kbps atau 334 kbps. Bandwith kurang dari 300 kbps akan menyebabkan gerakan gambar video tidak tampak mulus namun terputus-putus dan tidak enak dipandang.
Selain itu, karena mahalnya investasi dan biaya operasionalnya, fasilitas telekonferensi video ini tidak banyak yang memiliki. Akibatnya, peserta telekonferensi video harus datang pada tempat tertentu pada jam tertentu untuk mengikuti perkuliahan jarak jauh. Hal ini jelas akan menurunkan taraf fleksibilitas dari penyelenggaraan program pendidikan jarak jauh.
Pembelajaran Berbantuan Komputer Secara umum pembelajaran berbasis komputer dapat dimasukkan dalam dua kategori yaitu komputer mandiri (standalone) dan komputer dalam jaringan. Perbedaan yang utama antara keduanya terletak pada aspek interaktivitas. Dalam pembelajaran melalui komputer mandiri, interaktivitas peserta ajar terbatas pada interaksi dengan materi ajar yang ada dalam program pembelajaran.
Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan, interaktivitas peserta ajar menjadi lebih banyak alternatifnya. Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan dikenal dua jenis fungsi komputer, yaitu komputer server dan komputer klien. Interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajar dilakukan melalui ke dua jenis komputer tersebut.
Institusi penyelenggara pendidikan jarak jauh menyediakan komputer server untuk melayani interaksi melalui website server, e-mail server, mailinglist server, chat server, sedangkan peserta ajar dan tenaga pengajar memakai komputer klien yang dilengkapi dengan browser (misalnya Netscape atau Internet Explorer), e-mail client (misalnya Eudora), dan chat client. Browser adalah program komputer yang berfungsi untuk membaca isi website. Sekarang ini, browser sudah banyak yang dilengkapi dengan e-mail client
Selain berinteraksi dengan program pembelajaran, peserta ajar dapat pula berinteraksi dengan nara sumber dan peserta ajar lain yang dapat dihubungi melalui jaringan dengan memanfaatkan e-mail atau mailinglis, serta mereka dapat mengakses program pembelajaran yang relevan dari sumber lain dengan mengakses website yang menawarkan program pembelajaran secara gratis.
Aspek yang menjadikan masalah bagi penerapan pembelajaran berbantuan komputer di Indonesia adalah masalah aksesibilitas, baik dalam arti akses fisik, maupun kemampuan memanfaatkan komputer untuk kegiatan pembelajaran oleh tenaga pengajar dan peserta ajar. Dari sisi akses fisik, penetrasi komputer di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 0.56 % atau satu komputer untuk 176 pemakai. (Santiago, 2001). Sedangkan dari sumber lain diperoleh penetrasi internet di Indonesia sebesar baru sekitar 1% (Arbi, 2001)
Sekalipun angka-angka penetrasi tersebut di atas menimbulkan pesimisme akan pemanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, namun kehadiran warposnet, warnet, dan WARINTEK 9000, menimbulkan dapat mengurangi pesimisme atau bahkan menimbulkan optimisme baru.
Warposnet dan warnet Warposnet adalah jasa akses ke Internet yang disediakan oleh PT Pos Indonesia bagi masyarakat umum yang tidak mempunyai sambungan Internet, baik di rumah ataupun di kantor. Sekarang ini warposnet hadir di 116 kota di seluruh Indonesia. Warnet adalah juga layanan akses ke Internet namun diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Sekarang ini jumlah warnet di Indonesia tak kurang dari 2500 buah (Widodo, 2002). Dari sumber yang sama, dalam 2500 warnet ini terdapat kurang lebih 250.000 pengguna internet. Tarif akses internet melalui warnet dan warposnet ini sangat kompetitif yang berkisar antara Rp 5000 sampai Rp 6000 per jam (Kompas, 2001). Namum, banyak wartel yang menghitung biaya pemakaian per menit atau per lima belas menit, sehingga lebih membuat biaya pemakaian lebih murah.
Melalui warposnet dan warnet tersebut, masyarakat dapat mencari informasi yang ada di Internet, termasuk didalamnya program pembelajaran yang disediakan oleh institusi pendidikan jarak jauh. Disamping itu mereka juga dapat membuat alamat surat elektronik yang gratis yang tersedia di berbagai server misalnya boleh.mail.com yahoo.com atau hotmail.com. Dengan surat elektronik tersebut mereka dapat melakukan korespondensi dengan institusi penyelenggaran pendidikan jarak jauh baik untuk keperluan informasi umum mengenai program pendidikan, administrasi atau untuk bantuan layanan akademis.
WARINTEK 9000 Warintek adalah warung informasi teknologi yang mulai beroperasi sejak 1998 merupakan program kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Republik Indonesia, bekerja sama dengan Myoh.com. Angka 9000 di atas menunjukkan target jumlah Warintek pada tahun 2004 dimana dinginkan ada satu warintek di setiap kecamatan di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 8000 dan 1000 sisanya direncanakan dibuka di wilayah yang padat penduduknya (Warintek, 2002). Pada bulan September 2001, jumlah Warintek telah mencapai 100 buah (Natnit, 2001). Salah satu layanan dari Warintek 9000 adalah akses ke Internet. Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan oleh pelanggan di warnet dan warposnet dapat dilakukan juga di Warintek.
Layanan lain dari Warintek adalah akses informasi atau database lokal off-line baik bibliografi maupun teks penuh yang dikemas dalam CD-ROM. Pada saat ini dalam telah tersedia data base dalam bidang lingkungan, teknologi tepat guna dalam budidaya peternakan, pengolahan pangan, alat pengolahan, pengelolaan air dan sanitasi, institusi penelitian dan pengembangan di Indonesia, Katalog induk jaringan kerjasama sebelas perpustakaan, materi pelatihan untuk digitalisasi perpustakaan, bahkan tersedia kumpulan resep masakan Indonesia. Masyarakat umum dapat datang ke Warintek untuk mengakses semua basis data tersebut di atas, mencetaknya dan membawa pulang untuk dipelajari lebih lanjut. Dari sini dapat diartikan bahwa Warintek dalam hal ini telah menerapkan pembelajaran berbantuan komputer secara mandiri. Mengingat Warintek juga menjalin kerjasama dengan berbagai institusi, salah satunya adalah Universitas Terbuka (UT), maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti materi ajar UT dapat diakses secara off-line masyarakat melalui Warintek yang tersebar di seluruh kecamatan di indonesia. Dengan demikian aksesibilitas pembelajaran melalui komputer baik secara mandiri maupun dalam jaringan akan meningkat. Walaupun peserta pendidikan jarak jauh harus pergi ke warnet, warposnet, ataupun Warintek, karena tersedia sampai pada level kecamatan maka pengurangan fleksibilitas dari sisi tempat akses tidaklah terlalu signifikan pada umumnya. Namun karena informasi dan program pembelajaran selalu tersedia, kecuali ada kerusakan pada jaringan atau komputer server penyedia informasi dan program pembelajaran, maka tidak terjadi penurunan pada taraf fleksibilitas waktu. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kasus telekonferensi baik audio maupun video, siaran radio dan televisi.
Melihat perkembangan aksesibilitas komputer dan jaringan komputer di atas, maka salah satu kesimpulan studi kasus yang diselenggarakan ITU mengenai prospek e-ASEAN, yaitu “Digital divide is not an infrastructure problem but an affordability and awareness problem” (ITU, 2001). Digital divide adalah kesenjangan akses pada informasi digital yang disebabkan oleh adanya dua kelompok anggota masyarakat dimana yang satu mempunyai akses pada jaringan informasi digital sedang kelompok yang lain tidak. Kesenjangan ini mempunyai dampak yang serius karena masyarakat yang tidak mempunyai akses pada jaringan informasi akan tertinggal.
Pengertian Pendidikan Jarak Jauh Telah banyak ahli yang membahas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikan jarak jauh diantaranya Keegan (1984), Holmberg (1977), dan Moore (1973). Walaupun agak sulit untuk mendapatkan satu definisi yang diterima oleh semua pakar pendidikan jarak jauh, namun karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan (1984) dapat dipakai sebagai acuan dasar untuk pembahasan dalam artikel ini. Berikut ini adalah karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan.
- ada keterpisahan yang mendekati permanen antara tenaga pengajar (guru atau dosen) dari peserta ajar (siswa atau mahasiswa) selama program pendidikan
- ada keterpisahan yang mendekati permanen antara seorang peserta ajar (siswa atau mahasiswa) dari peserta ajar lain selama program pendidikan
- ada suatu institusi yang mengelola program pendidikannya
- pemanfaatan sarana komunikasi baik mekanis maupun elektronis untuk menyampaikan bahan ajar
- penyediaan sarana komunikasi dua arah sehingga peserta ajar dapat mengambil inisiatif dialog dan mengambil manfaatnya.
Jarak sebagai pemisah seperti di ataslah yang hendak diatasi melalui pendidikan jarak jauh dengan memanfaatan rancangan instruksional dan rancangan interaksi supaya kegiatan belajar yang dirancang dengan sugguh-sungguh dapat tercapai. Teori yang berkembang sebagai hasil dari upaya untuk mengatasi jarak dalam kegiatan ini dikenal dengan teori jarak transaksional (Moore, M.G. & Kearsley, G, 1996)
Karena ciri khasnya adalah keterpisahan jarak baik dalam arti fisik dan non-fisik seperti yang dikemukakan di depan maka kegiatan pembelajaran tatap muka dapat dikatakan terjadi dalam frekuensi yang rendah. Isi pembelajaran disampaikan melalui media dalam berbagai jenis sedangkan komunikasi/ interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajarnya atau dilakukan dengan memanfaatkan sarana komunikasi. Dengan demikian program pendidikan dapat diikuti dari dari mana saja dan kapan saja selama media belajar dan sarana komunikasi dua arah tersedia supaya peserta ajar dan tenaga pengajarnya dapat berinteraksi untuk membahas isi pembelajaran.
Pendidikan yang diselenggarakan dengan system yang secara garis besar digambarkan seperti di atas tentu akan membuka peluang belajar bagi mereka yang tidak bisa mengikuti program pendidikan konvensional. Mereka yang sudah berkeluarga, bekerja biasanya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti perkuliahan yang diselenggarakan dengan jadwal dan hanya dapat diikuti dari tempat tertentu saja.
Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi peran yang dapat dimainkan oleh teknologi komunikasi dan informasi beserta infrastrukturnya dalam pendidikan jarak jauh. Peran tersebut meliputi presentasi materi atau isi pembelajaran dan penyediaan sarana komunikasi atau interaksi antara institusi pendidikan jarak jauh dengan peserta program pendidikannya.
Tiga dari lima media/teknologi yang dapat dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang telah diidentifikasi Moore dan Kearsley (1996) berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga media/teknologi tersebut adalah radio dan televisi, telekonferensi, dan pembelajaran berbantuan komputer. Dua media yang tidak terkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi adalah cetak dan audio/video kaset.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai bagaimana masing-masing media/teknologi tersebut dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia, ada beberapa aspek dari media yang perlu diperhatikan dalam mencermati media/teknologi. Kerangka yang akan dipakai dalam mencermati media tersebut mengacu pada kriteria pemilihan media dan teknologi yang dikemukakan oleh Bates (1995). Kriteria tersebut diperkenalkan dalam sebuah akronim ACTIONS yang membantu mengingat bahwa aspek Aksesibilitas, Cost (biaya), Teaching-Learning Functions (efektivitas fungsi pembelajaran), Interactivity (interaktivitas), Organization, Novelty, dan Speed. Berikut ini adalah makna dari empat aspek pertama (yang penulis anggap sangat penting) dari aspek-aspek tersebut.
Aksesibilitas mengacu pada proporsi sasaran program yang mempunyai akses pada media/teknologi yang akan digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Aspek akses ini tidak terbatas pada akses secara fisik semata-mata namun aspek mampu atau bahkan kenyamanan dalam memanfaatkan media tersebut. Semakin besar proporsi sasaran yang mempunyai akses pada media, semakin besar peluang sukses dari media yang akan dipergunakan.
Biaya meliputi biaya yang harus dikeluarkan oleh institusi dan oleh peserta ajar. Biaya pada institusi meliputi biaya tetap (investasi awal) yaitu biaya yang harus dikeluarkan pada waktu mengembangkan media dan biaya tambahan bagi setiap penambahan jumlah peserta (operasional).
Efektifitas fungsi pembelajaran mengacu pada kesesuaian media untuk menyampaikan isi pembelajaran. Bila isi pembelajaran memerlukan presentasi materi dalam berbagai format, misalnya teks, suara, gambar, animasi, film hidup, maka pertanyaan yang valid adalah apakah media mendukung untuk hal ini.
Interaktivitas mengacu pada dua hal yaitu pertama apakah media yang akan dipilih mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran, yaitu interaksi individual antara peserta ajar dengan materi ajarnya. Interaktivitas yang kedua menyangkut apakah media yang akan dipakai mampu mendukung interaksi antara peserta ajar dengan nara sumber yang akan membantu peserta ajar dalam memahami materi ajar dan interaksi antar peserta ajar.
Sampai di sini telah diulas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikan jarak jauh, sisi di mana teknologi informasi dan komunikasi dapat berperan, serta aspek-aspek yang perlu diiperhatikan dalam menerapkan media/teknologi. Dengan demikian cukuplah kerangka yang diperlukan untuk mengulas peran teknologi komunikasi dan informasi dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia dalam upaya untuk mengatasi kendala ruang dan waktu dalam menyampaikan program pendidikan/pembelajaran.
Teknologi Komunikasi dan Informasi: Infrastruktur dan titik akses layanan Teknologi komunikasi dan informasi dengan infrastruktur dan titik layanannya telah jauh berkembang dengan cukup baik di Indonesia. Mulai dari teknologi yang sederhana dan murah, misalnya telekonferensi audio dengan memanfaatkan telepon melalui layanan PERMATA atau PERtemuan MelAlui Telepon Anda (Telkom, ), korespondensi melalui fax, siaran radio dan televisi, internet dan sampai yang canggih telekonferensi video dengan memanfaatkan satelit misalnya layanan Vidoe Link PT Indosat.
Radio dan Televisi Di Indonesia terdapat banyak stasiun pemancar radio dan televisi baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan jarak jauh dengan menyiarkan program pendidikan. Dalam hal radio hanya ada satu institusi yang mempunyai daya jangkau secara nasional, yaitu Radio Republik Indonesia. Daya jangkau stasiun radio swasta yang pada umumnya menggunakan gelombang FM pada frequensi 88 – 108 MHz tidak lebih dari radius 100 km (Radio Nederland, 2001). Selain itu dari sisi peraturan, ada pula pembatasan daya jangkau stasiun pemancar radio yang diwujudkan dalam kategori stasiun pemancar mulai dari siaran internasional, nasional sampai pada siaran lokal. (Undang Undang Nomor 4, 1997)
Untuk mengatasi keterbatasan jangkauan, ada beberapa radio swasta yang membangun jaringan dengan anggota di berbagai kota, misalnya Trijaya Network terdiri atas stasiun radio Trijaya Jakarta, SCFM Surabaya, Prapanca Medan dan , Mercurius Top FM Makassar, dan Voice of Papua FM Jayapura (Trijaya, 2002). Dalam jaringan radio ini juga berlangsung pendidikan informal secara jarak jauh dengan mengangkat topik-topik yang menjadi perhatian masyarakat umum mulai dari masalah kesehatan, sosial dan politik. Informasi mengenai program dari jaringan radio ini dapat diperoleh melalui website www.trijaya-fm.com.
Dalam hal televisi, di Indonesia terdapat satu stasiun pemancar milik negara (TVRI) dan delapan stasiun televisi swasta. TVRI adalah program nasional sehingga siarannya hampir dapat diterima di setiap pelosok tanah air walaupun masih ada daerah-daerah yang tetap tidak bisa menerima siaran. Dilihat dari proporsi wilayah, siaran TVRI menjangkau hanya 37% dari wilayah Indonesia, namun telah menjangkau 68% dari populasi penduduk Indonesia (Padmo, 2000). Stasiun televisi swasta bervariasi dalam daya jangkau siarannya, namun hampir setiap kota besar di Indonesia dapat menerima siaran dari televisi swasta.
Dari aspek aksesibilitas, radio mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tingkat pemilikan radio di sembilan wilayah perkotaan dengan angka penetrasi sebesar 40% (Katili-Niode, 2002). Dari sumber yang sama diperoleh bahwa televisi mempunyai aksesibilitas yang sedikit lebih rendah yaitu dengan penetrasi 31%. Dari sisi sasaran peserta jelas bahwa aksesibilitas radio dan televisi tidaklah rendah. Namun kenyataannya televisi dan radio belum besar perannya dalam pendidikan jarak jauh di Indonesia. Beberapa studi dapat dipakai sebagai acuan dalam menjelaskan fenomena di atas.
Studi yang dilakukan Nurul Huda dkk (2000) menunjukkan bahwa radio mempunyai keterbatasan dalam daya jangkau dan untuk memperluas daya jangka diperlukan stasiun relay atau kerjasama dengan radio lokal. Lebih jauh studi tersebut menyatakan bahwa kesediaan radio lokal untuk mengalokasikan waktu untuk siaran pendidikan pada umumnya (53 % dari responden) maksimum 60 menit per minggu. Sedangkan yang bersedia mengalokasikan waktu antara 20 – 60 menit per hari hanya sebesar 20 % dari total stasiun pemancar radio yang dijadikan sampel. Kendala pengalokasian waktu lebih banyak bagi siaran program pendidikan adalah biaya siaran dimana satuan biaya siaran radio per jam siaran per peserta untuk sejumlah 500 peserta masih sekitar 6 USD atau 1.5 USD untuk 1250 peserta (Bates, 1995). Hal inilah yang menjadi kendala bagi penyiaran siaran pendidikan yang secara spesifik mengacu kepada matakuliah tertentu.
Dalam konteks Indonesia agak sulit bagi sebuah stasiun radio swasta lokal untuk mendapatkan 1250 pendengar bagi setiap siaran pendidikannya. Isu ini mungkin tidak terlalu relevan bagi pembelajaran pada sekolah dimana siswa pada tingkat dan jenjang yang sama mengikuti program pembelajaran yang sama. Berbeda halnya dengan pendidikan tinggi yang menerapkan sistem kredit semester. Dalam sistem ini variasi pengambilan matakuliah bisa sangat beragam, terlebih bagi pendidikan terbuka dan jarak jauh yang mempunyai ciri fleksibilitas dalam proses pembelajarannya.
Siaran pendidikan melalui televisi mempunyai konsekuensi pembiayaan yang lebih besar lagi. Berdasarkan hasil riset selama lebih dari delapan tahun, satuan biaya untuk penyiaran program pendidikan per peserta per jam siaran untuk 500 peserta masih lebih besar dari 25 USD. Bahkan untuk jumlah 1250 mahasiswapun biaya satuannya masih lebih besar dari 10 USD (Bates, 1995).
Kendala lain bagi pemanfaatan siaran radio dan televisi adalah media ini adalah sekali tayang bila pada waktu penayangan para peserta tidak menyaksikan maka mereka kehilangan (Huda dkk, 2000). Untuk mengganti yang hilang, maka harus ada siaran ulang yang memerlukan biaya penyiaran yang sama. Selain itu, media siaran ini pada dasarnya adalah media satu arah. Materi yang disiarkannya sebagian besar sudah terekam sehingga interaksi dalam media umumnya tidak ada. Jadi media ini mampu mengatasi kendala ruang dalam penyampaian program pendidkan jarak jauh dengan biaya yang relatif mahal namun masih terikat pada kendala waktu.
Telekonferensi, Telekonferensi adalah suatu pertukaran informasi secara langsung antara dua orang atau lebih yang berada pada dua atau lebih lokasi yang berbeda dengan memanfaatkan suatu sistem telekomunikasi. Pada dasarnya telekonferensi adalah sarana komunikasi dua arah sehingga dalam pendidikan jarak jauh berperan untuk menjembatani komunikasi antara peserta ajar dengan nara sumber, khususnya dalam pemberian layanan bantuan belajar.
Ada dua jenis telekonferensi, yaitu telekonferensi audio dan telekonferensi video. Dalam telekonferensi audio, informasi yang dipertukarkan berupa suara sedangkan dalam telekonferensi video informasi yang dipertukarkan dalam bentuk suara dan gambar hidup yang sinkron dengan suara. Oleh karena itu dalam telekonferensi video dibutuhkan pita komunikasi (bandwidth) lebih besar dari telekonferensi audio.
Ada beberapa sarana telekomunikasi yang bisa dipakai untuk mendukung telekonferensi audio, yaitu: telephone, satelit, dan internet. Penyelenggaraan telekonferensi audio dengan memanfaatkan telepon dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan PERMATA (Pertemuan Melalui Telepon Anda) dari PT Telkom. Layanan Permata telah tersedia diberbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujung Pandang, Menado dan Medan (Telkom, 2002). Dengan layanan PERMATA, sebanyak 30 nomor sambungan dapat dihubungkan sehingga terjadi konferensi. Partisipasi dalam PERMATA dapat dilakukan dari telepon yang ada di rumah, kantor, wartel, atau bahkan dari telepon umum. Walaupun hanya mampu menghubungkan 30 sambungan telepon secara simultan tidak berarti bahwa konferensi hanya bisa diikuti oleh 30 peserta. Peserta yang tinggalnya berdekatan dapat bersama-sama menggunakan satu speaker phone yang dilengkapi dengan mic sehingga setiap orang dapat mendengar pembicaraan dan dapat berpartisipasi dalam telekonferensi.
Struktur biaya hanya mempunyai satu komponen yaitu pulsa telepon selama mengikuti telekonferensi. Pemanfaatan PERMATA untuk penyelenggaraan telekonferensi dalam rangka pembelajaran jarak jauh ini dari segi biaya tidaklah terlalu memberatkan bagi peserta yang tinggal di kota tempat penyelenggaraan telekonferensi karena mereka tidak harus membayar tarif interlokal. Bagi peserta yang harus membayar biaya pulsa interlokal tentunya hal ini memberatkan bagi sebagian peserta karena mahalnya tarif interlokal di Indonesia.
Walaupun penetrasi telepon di perumahan hanya 2.5% (Titan, 1997), namun pada kalangan berpenghasilan menengah ke atas penetrasi telepon sebesar 70% (Marketing Intelligence Corporation, 2000). Sekalipun demikian akses pada telepon bagi kalangan ekonomi lemah sangat terangkat dengan hadirnya warung telekomunikasi yang berjumlah tak kurang dari 180.000 buah (Tjokrosudarmo, 2001) yang tersebar diseluruh pelosok tanah air. Wartel ini menyediakan layanan telepon bagi masyarakat umum. Sarana telepon ini mempunyai aksesibilitas yang tinggi karena selain jumlah wartel yang sangat banyak, tarifnyapun lebih murah dari tarif telepon bagi perumahan. Sayangnya layanan PERMATA masih terbatas pada enam kota tersebut di atas sehingga pemanfaatan dalam skala besar akan sulit karena akan ada peserta yang harus menanggung biaya interlokal.
Telekonferensi video memungkinkan penyelenggaraan perkuliahan secara jarak jauh dimana pengajar dapat menyaksikan aktivitas peserta ajar di tempat lain dan sebaliknya peserta ajar dapat menyaksikan aktivitas pengajar dan peserta ajar di tempat lain. Pada setiap ruang penyelenggaraan telekonferensi video terdapat sekurang-kurangnya satu set televisi untuk menampilkan aktivitas di lokasi lain dan satu kamera video yang berfungsi untuk mengambil gambar hidup dari aktifitas ruang tersebut dan mengirimkan ke ruangan lain dan satu peralatan yang berfungsi untuk mengirim citra aktivitas ke lokasi lain dan menerima citra aktivitas dari lokasi lain. Investasi peralatan untuk telekonferensi video sekitar 20.000 USD atau sekitar Rp 200 juta lebih per lokasi (Moore & Kearsley, 1996)
Selain biaya investasi peralatan yang mahal, biaya operasi telekonferensi video juga mahal karena membutuhkan pita komunikasi yang lebih lebar . Hal ini disebabkan karena selain mengirimkan informasi dalam bentuk suara juga mengirimkan informasi dalam bentuk gambar bergerak. Biasanya diperlukan saluran komunikasi melalui satelit yang tarif non-komersial mencapai 100 USD/jam untuk kecepatan 112 Kbps dan 150 USD untuk 336 Kbps (LVC, 2002). Di Indonesia, tarif penyelenggaraan konferensi video melalui Indosat Video Link diatur berdasarkan jarak yang diklasifikasikan dalam tujuh zone. Tarif zone I (termurah) adalah Rp 705.600 untuk kecepatan 128 Kbps dan Rp 2.116.800 untuk kecepatan 384 Kbps. Biaya tersebut baru mencakup biaya telekomunikasinya dan belum mencakup biaya sewa ruang dalam gedung milik Indosat yang minimal sebesar 80 USD per jam untuk ruangan berkapasistas 12 orang. (Indosat 2002).
Pengiriman data video satu arah yang bagus untuk ukuran 15 frame per detik 248 x 200 pixel memerlukan memerlukan bandwidth sebesar 167 kbps (Sorenson, 2002). Karena telekonferensi video merupakan komunikasi dua arah, maka diperlukan bandwidth sebesar dua kali 167 kbps atau 334 kbps. Bandwith kurang dari 300 kbps akan menyebabkan gerakan gambar video tidak tampak mulus namun terputus-putus dan tidak enak dipandang.
Selain itu, karena mahalnya investasi dan biaya operasionalnya, fasilitas telekonferensi video ini tidak banyak yang memiliki. Akibatnya, peserta telekonferensi video harus datang pada tempat tertentu pada jam tertentu untuk mengikuti perkuliahan jarak jauh. Hal ini jelas akan menurunkan taraf fleksibilitas dari penyelenggaraan program pendidikan jarak jauh.
Pembelajaran Berbantuan Komputer Secara umum pembelajaran berbasis komputer dapat dimasukkan dalam dua kategori yaitu komputer mandiri (standalone) dan komputer dalam jaringan. Perbedaan yang utama antara keduanya terletak pada aspek interaktivitas. Dalam pembelajaran melalui komputer mandiri, interaktivitas peserta ajar terbatas pada interaksi dengan materi ajar yang ada dalam program pembelajaran.
Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan, interaktivitas peserta ajar menjadi lebih banyak alternatifnya. Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan dikenal dua jenis fungsi komputer, yaitu komputer server dan komputer klien. Interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajar dilakukan melalui ke dua jenis komputer tersebut.
Institusi penyelenggara pendidikan jarak jauh menyediakan komputer server untuk melayani interaksi melalui website server, e-mail server, mailinglist server, chat server, sedangkan peserta ajar dan tenaga pengajar memakai komputer klien yang dilengkapi dengan browser (misalnya Netscape atau Internet Explorer), e-mail client (misalnya Eudora), dan chat client. Browser adalah program komputer yang berfungsi untuk membaca isi website. Sekarang ini, browser sudah banyak yang dilengkapi dengan e-mail client
Selain berinteraksi dengan program pembelajaran, peserta ajar dapat pula berinteraksi dengan nara sumber dan peserta ajar lain yang dapat dihubungi melalui jaringan dengan memanfaatkan e-mail atau mailinglis, serta mereka dapat mengakses program pembelajaran yang relevan dari sumber lain dengan mengakses website yang menawarkan program pembelajaran secara gratis.
Aspek yang menjadikan masalah bagi penerapan pembelajaran berbantuan komputer di Indonesia adalah masalah aksesibilitas, baik dalam arti akses fisik, maupun kemampuan memanfaatkan komputer untuk kegiatan pembelajaran oleh tenaga pengajar dan peserta ajar. Dari sisi akses fisik, penetrasi komputer di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 0.56 % atau satu komputer untuk 176 pemakai. (Santiago, 2001). Sedangkan dari sumber lain diperoleh penetrasi internet di Indonesia sebesar baru sekitar 1% (Arbi, 2001)
Sekalipun angka-angka penetrasi tersebut di atas menimbulkan pesimisme akan pemanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, namun kehadiran warposnet, warnet, dan WARINTEK 9000, menimbulkan dapat mengurangi pesimisme atau bahkan menimbulkan optimisme baru.
Warposnet dan warnet Warposnet adalah jasa akses ke Internet yang disediakan oleh PT Pos Indonesia bagi masyarakat umum yang tidak mempunyai sambungan Internet, baik di rumah ataupun di kantor. Sekarang ini warposnet hadir di 116 kota di seluruh Indonesia. Warnet adalah juga layanan akses ke Internet namun diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Sekarang ini jumlah warnet di Indonesia tak kurang dari 2500 buah (Widodo, 2002). Dari sumber yang sama, dalam 2500 warnet ini terdapat kurang lebih 250.000 pengguna internet. Tarif akses internet melalui warnet dan warposnet ini sangat kompetitif yang berkisar antara Rp 5000 sampai Rp 6000 per jam (Kompas, 2001). Namum, banyak wartel yang menghitung biaya pemakaian per menit atau per lima belas menit, sehingga lebih membuat biaya pemakaian lebih murah.
Melalui warposnet dan warnet tersebut, masyarakat dapat mencari informasi yang ada di Internet, termasuk didalamnya program pembelajaran yang disediakan oleh institusi pendidikan jarak jauh. Disamping itu mereka juga dapat membuat alamat surat elektronik yang gratis yang tersedia di berbagai server misalnya boleh.mail.com yahoo.com atau hotmail.com. Dengan surat elektronik tersebut mereka dapat melakukan korespondensi dengan institusi penyelenggaran pendidikan jarak jauh baik untuk keperluan informasi umum mengenai program pendidikan, administrasi atau untuk bantuan layanan akademis.
WARINTEK 9000 Warintek adalah warung informasi teknologi yang mulai beroperasi sejak 1998 merupakan program kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Republik Indonesia, bekerja sama dengan Myoh.com. Angka 9000 di atas menunjukkan target jumlah Warintek pada tahun 2004 dimana dinginkan ada satu warintek di setiap kecamatan di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 8000 dan 1000 sisanya direncanakan dibuka di wilayah yang padat penduduknya (Warintek, 2002). Pada bulan September 2001, jumlah Warintek telah mencapai 100 buah (Natnit, 2001). Salah satu layanan dari Warintek 9000 adalah akses ke Internet. Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan oleh pelanggan di warnet dan warposnet dapat dilakukan juga di Warintek.
Layanan lain dari Warintek adalah akses informasi atau database lokal off-line baik bibliografi maupun teks penuh yang dikemas dalam CD-ROM. Pada saat ini dalam telah tersedia data base dalam bidang lingkungan, teknologi tepat guna dalam budidaya peternakan, pengolahan pangan, alat pengolahan, pengelolaan air dan sanitasi, institusi penelitian dan pengembangan di Indonesia, Katalog induk jaringan kerjasama sebelas perpustakaan, materi pelatihan untuk digitalisasi perpustakaan, bahkan tersedia kumpulan resep masakan Indonesia. Masyarakat umum dapat datang ke Warintek untuk mengakses semua basis data tersebut di atas, mencetaknya dan membawa pulang untuk dipelajari lebih lanjut. Dari sini dapat diartikan bahwa Warintek dalam hal ini telah menerapkan pembelajaran berbantuan komputer secara mandiri. Mengingat Warintek juga menjalin kerjasama dengan berbagai institusi, salah satunya adalah Universitas Terbuka (UT), maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti materi ajar UT dapat diakses secara off-line masyarakat melalui Warintek yang tersebar di seluruh kecamatan di indonesia. Dengan demikian aksesibilitas pembelajaran melalui komputer baik secara mandiri maupun dalam jaringan akan meningkat. Walaupun peserta pendidikan jarak jauh harus pergi ke warnet, warposnet, ataupun Warintek, karena tersedia sampai pada level kecamatan maka pengurangan fleksibilitas dari sisi tempat akses tidaklah terlalu signifikan pada umumnya. Namun karena informasi dan program pembelajaran selalu tersedia, kecuali ada kerusakan pada jaringan atau komputer server penyedia informasi dan program pembelajaran, maka tidak terjadi penurunan pada taraf fleksibilitas waktu. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kasus telekonferensi baik audio maupun video, siaran radio dan televisi.
Melihat perkembangan aksesibilitas komputer dan jaringan komputer di atas, maka salah satu kesimpulan studi kasus yang diselenggarakan ITU mengenai prospek e-ASEAN, yaitu “Digital divide is not an infrastructure problem but an affordability and awareness problem” (ITU, 2001). Digital divide adalah kesenjangan akses pada informasi digital yang disebabkan oleh adanya dua kelompok anggota masyarakat dimana yang satu mempunyai akses pada jaringan informasi digital sedang kelompok yang lain tidak. Kesenjangan ini mempunyai dampak yang serius karena masyarakat yang tidak mempunyai akses pada jaringan informasi akan tertinggal.
Sumber Artikel:Arbi, Z. (2001). Untuk TI, Belajarlah sampai ke Cina . Kompas, Selasa, 27 November 2001 [online] URL: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0111/27/ti/untu33.htm.
Bates, A.W. (1995). Technology, Open Learning and Distance Education. Routledge, London.
Daniel, J.S. (1996). Mega-Universities and Knowledge Media: Technology Strategies for Higher Education. Kogan Page, London
Bates, A.W. (1995). Technology, Open Learning and Distance Education. Routledge, London.
Daniel, J.S. (1996). Mega-Universities and Knowledge Media: Technology Strategies for Higher Education. Kogan Page, London
Baca juga
0 comments:
Post a Comment