Testamoniium De Audiitu

Posted by

Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata adalah ketentuan yang mengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.
 
Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama.
 
Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
 
Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.
 
Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara. Inti dari berbagai definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23
tahun 1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.
 
Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan (seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam
masyarakat.
 
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan
cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata. Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata.
 
Cara menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara
Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan. Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
 
Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutanperaturan Hukum Acara Perdata bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
 
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berlaku sekarang di negara kita, masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan, baik produk Kolonial Belanda dulu maupun produk nasional setelah Indonesia Merdeka.
 
Berbagai macam peraturan perundang-undangan yang memuat Hukum Acara Perdata tersebut, akan disebutkan satu per satu berikut ini, yang merupakan sumber Hukum Acara Perdata atau tempat dimana dapat ditemukan peraturan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia. 
 
1. HIR (Herziene Inlandsche Reglemen)
Herziene Inlandsche Reglemen (HIR) adalah merupakan Hukum Acara Perdata yang merupakan alat untuk menyelenggarakan hukum materil, sehingga hukum acara itu harus digunakan sesuai dengan keperluan hukum materiil dan hukum acara itu tidak boleh digunakan apabila hukum tersbeut bertentangan dengan hukum materiil. HIR tidak hanya memuat ketentuanketentuan Hukum Acara Perdata saja, tetapi juga memuat ketentuanketentuan Hukum Acara Pidananamun setelah adanya KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) yang diundangkan pada tangal 31 Desember 7 1981, maka ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana yang termuat dalam HIR tidak berlaku lagi.
 
Ketentuan Hukum Acara Perdata dalam HIR dituangkan dalam Pasal 115 sampai dengan 245 serta beberapa yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal 394, sebab rangkaian pasal-pasal yang terakhir ini mengatur hal-hal berkenaan dengan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
 
Keseluruhan pasal-pasal HIR mengenai Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas yakni Pasal 115 sampai dengan Pasal 245 tersebut, terhimpun dalam satu Bab yaitu Bab IX dengan judul “ Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata, Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri”.
 
Bab yang memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata ini terdiri dari beberapa bagian , yaitu :
  • Bagian I (Pasal 115 sampai dengan Pasal 161) tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan; 
  • Bagian II (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177) tentang bukti; 
  • Bagian III (Pasal 178 sampai dengan Pasal 187) tentang musyawarah dan putusan; 
  • Bagian IV (Pasal 188 sampai dengan Pasal 194) tentang banding; 
  • Bagian V (Pasal 195 sampai dengan Pasal 224) tentangmenjalankan putusan; 
  • Bagian VI (Pasal 225 sampai dengan Pasal 236) tentang beberapa hal mengadili perkara-perkara istimewa; dan 
  • Bagian VII (Pasal 237 sampai dengan Pasal 245) tentang izin perkara tanpa ongkos perkara.
 
2. Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg) adalah merupakan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura. Rbg terdiri dari 5 (lima) Bab yang memuat 723 pasal. Bab I, II, III, IV dan V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidana tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat No. 1
Tahun 1951.
 
Ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari 7 (tujuh) titel dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 323, titel I, II, III, VI dan VII tidak berlaku lagi karena pengadilan Districtgerecht, Magistraadgerecht, dan Raad Justitle sudah tidak ada lagi. Yang berlaku hingga sekarang adalah titel IV dan V bagi Landraad (sekarang pengadilan negeri).
 
Titel IV tersebut terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu :
  • Bagian I (Pasal 142 sampai dengan Pasal 188) tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan; 
  • Bagian II (Pasal 189 sampai dengan Pasal 198) tentang musyawarah dan putusan; 
  • Bagian III (Pasal 199 sampai dengan Pasal 205) tentang banding; 
  • Bagian IV (Pasal 206 sampai dengan Pasal 258) tentang menjalankan putusan; 
  • Bagian V (Pasal 259 sampai dengan Pasal 272) tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa; 
  • Bagian VI (Pasal 273 sampai dengan Pasal 281) tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara. 
  • Sedangkan Titel V (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314) tentang bukti.
 
3. Burgerlijk Wetboek
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata materiil, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang Pembuktian dan daluarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993).
 
4. Ordonansi Tahun 1867
Ordonansi tahun 1867 No. 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonansi ini diambil over dalam menyusun Rechtsreglement voor de Buitenwengesten (Rbg).
 
PembuktianPembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Jadi pembuktian hanyalah diperlukan dalam suatu perkara di muka pengadilan. Jadi tidak ada perkara atau sengketa di muka pengadilan mengenai hak perdata seseorang, maka pembuktian tersebut tidak perlu dilakukan oleh yang bersangkutan (Riduan Syahrani, 2000 : 76).
 
Pembuktian dalam jawab-menjawab di muka sidang Pengadilan Negeri, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya, maupun untuk membantah hak perdata pihak lain (Wirdjono Prodjodikoro, 1975 : 101-102).
 
Peristiwa-peristiwa tersebut sudah barang tentu tidak cukup hanya dikemukakan begitu saja secara tertulis maupun lisan, akan tetapi harus diringi dan disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis (Riduan Syahrani, 2000 : 76).
 
Pihak-pihak yag berperkaralah yang berkewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya. Pihak-pihak yang berperkara tidak perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya. Sebab, hakim menurut asas Hukum Acara Perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan hakimlah yang bertugas menerapkan Hukum Perdata Materiil terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya (Supomo, 1972 : 70).
 
Dalam melakukan pembuktian, pihak-pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan, harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta ketentuan alat-alat bukti tersebut dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR (Pasal 162 sampai dengan 177), Rbg (Pasal 282 sampai dengan 314), Stb. 1867 No. 29 (tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan) dan BW Buku IV (Pasal 1865 sampai dengan 1945). Wirjono Prodjodikoro (1975 : 102) dalam hubungan ini menyatakan, bahwa :
 
“Pengadilan Negeri pada prinsipnya harus menuruti hukum pembuktian yang termuat dalam HIR dan Rbg, tetapi bilamana perlu boleh memakai hukum pembuktian BW sebagai pedoman bilamana dalam suatu perkara perdata harus dilaksanakan hukum perdata yang termuat dalam BW dan pelaksanaannya hanya dapat terjadi secara tepat dengan memakai hukum pembuktian dalam BW”.
 
Supomo (1972 : 70) dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri mengemukakan, bahwa :
“Mr.Wichers, perancang reglemen menulis dalam laporannya tangal 6 Juni 1848 (T. 13, hal. 370), bahwa ia membuat peraturanperaturan tentang pembuktian di dalam reglemen itu unutk menghindarkan kemungkinan hakim berbuat sekehendaknya atau untuk menjaga supaya hakim tidak memakai pasal-pasal BW tentang pembuktian untuk Pengadilan Negeri. Akan tetapi yang dimuat dalam reglemen Indonesia tidak lain ialah peraturanperaturan pembuktian yang terdapat dalam BW hanya dengan sekledar perubahan-perubahan yang perlu. Rechstreglement Buitengewesten 1927 mengoper pearturan reglemen Indonesia dan pasal-pasal dari Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan, ditambah dengan sebagian dari buku IV BW.
 
Testamonium De auditu
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.
 
Analisis
Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau sesuatu yang diterangkannya. Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian (). Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan. 
 
Pada umumnya, testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

 
Baca juga:


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 2:07 AM

0 comments:

Post a Comment