|Sosiologi Pendidikan (Analisis Pengertian dan Tujuannya)|
Al-Qur’an menempatkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk Tuhan yang lainnya. (Q.S. al-Tin (95): 4). Keistimewaan ini melahirkan ciri-ciri tertentu dalam hal bersikap dan berperilaku. Banyak manusia memberikan sebutan keistimewaan yang dimiliki manusia itu, di antaranya adalah makhluk yang mampu berpikir atau yang biasa disebut homo sapiens. Arifin mengatakan manusia disebut homo sapiens karena makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan.
Salah satu gariza manusia adalah ingin mengetahui segala sesuatu yang belum diketahui. Selain sebutan tersebut, juga manusia disebut makhluk homo religius (makhluk beragama) atau makhluk homo divinans (makhluk bertuhan) dan homo educandum (makhluk yang harus dididik) atau animal educable (sebangsa binatang yang dapat dididik) serta homo socius (makhluk snosial).
Manusia makhluk sosial, karena di dalam kehidupan sehari-harinya tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial selalu berkeinginan berinteraksi atau berteman dengan individu lainnya. Keinginan ini terutama berhubungan dengan aktivitas hidup di lingkungannya.
Adam adalah manusia pertama ia tidak dapat hidup tanpa didampingi oleh manusia lain yaitu istrinya yang bernama Hawa. Berbeda dengan hewan ia dapat hidup dengan sendiri dan mencari makan sendiri seperti anjing, kucing, dan sebagainya. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati, bayi misalnya harus diajar makan, berjalan, bermain dan sebagainya.
Hubungan manusia dengan manusia lainnya yang paling urgen adalah reaksi yang timbul sebagai akibat berinteraksi antara seseorang dengan yang lainnya. Misalnya seorang guru mengajar di depan kelas ia menyampaikan pelajaran kepada peserta didiknya. Peserta didik itu merespon dengan baik materi pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Guru itu memberikan pujian kepadanya maka dengan demikian terjadilah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga dapat melahirkan keserasian tindakan dengan orang lain. Mengapa demikian? Karena sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu:
- Keinginan menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (masyarakat)
- Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekeliling-nya.
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendak untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, manusia membutuhkan kelompok sosial atau biasa disebut social group. Kelompok-kelompok sosial ini merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan hidup bersama yang didasari kesadaran untuk saling tolong menolong atau ”taawun”.(QS. al- Maidah /5 : 2 ).
Sehubungan dengan hal tersebut S. Nasution mengatakan kelakuan manusia pada hakikatnya hampir seluruhnya bersifat sosial yakni dipelajari dalam interaksi dengan manusia lainnya. Hampir segala sesuatu yang dipelajari seseorang merupakan hasil hubungan dengan orang lain di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya. Materi pelajaran atau isi pendidikan ditentukan oleh kelompok atau masyarakat. Selanjutnya dikatakan, masyarakat dapat terjamin kelangsungan hidupnya dengan baik apabila mereka melalui pendidikan. Pendidikan itu harus diteruskan oleh generasi muda melalui interaksi sosial.
Melalui pendidikan (di rumah, sekolah dan masyarakat) akan melahirkan terbentuknya kepribadian seseorang. Sedang kepribadian pada hakikatnya adalah gejala sosial dimana manusia bertempat tinggal. Olehnya itu, salah satu sasaran sosiologi pendidikan adalah memeperhatikan keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat seseorang mengorganisasikan pengalamannya.
Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini yaitu deskripsi sosiologi pendidikan, pengertian sosiologi, dan tujuan sosiologi pendidikan.
|Deskripsi Sosiologi Pendidikan|
Sebelum dikemukakan pengertian sosiologi pendidikan terlebih dahulu dikemukakan deskripsi secara singkat lahirnya sosiologi pendidikan itu. Sosiologi pada garis besarnya terbagi dua yaitu sosiologi murni dan sosiologi terapan. Sosiologi murni selalu melakukan sesuatu penyelidikan demi ilmu pengetahuan tanpa memikirkan bagaimana akhirnya ilmu pengetahuan itu digunakan nantinya. Sedang sosiologi terapan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh sosiologi murni dengan harapan dapat menggunakan ilmu pengetahuan tersebut untuk membantu memecahkan problema-problema sosial. Sebagai contoh sosiologi murni selalu mencari dasar-dasar penyebab munculnya sesuatu permasalahan-permasalahan sosial (huru-hara atau kerusuhan, rasial dan lain-lain) untuk dipelajari. Sedang sosiologi terapan hanya berusaha menggunakan ilmu pengetahuan yang telah tersedia untuk mencegah terjadinya permasalah-permasalahan sosial tersebut.
Sosiologi pendidikan termasuk sosiologi terapan ia berorientasi pada interaksi edukatif antara individu dan kelompok dalam masyarakat dengan maksud mengatasi atau menanggulangi berbagai persoalan edukatif. Misalnya, antara lain kenakalan remaja dan problema keluarga, sebab sosiologi mempelajari unsur-unsur kemasyarakatan secara keseluruhan.
Pernyataan tersebut dipahami bahwa sosiologi pendidikan merupakan implementasi dari sosiologi murni. Jika diperhatikan latar belakang munculnya sosiologi maka diperoleh informasi bahwa sosiologi adalah cabang ilmu sosial yang usianya masih muda. Istilah sosiologi untuk pertama kalinya digunakan oleh Auguste Comte, seorang ahli filsafat kebangsaan Prancis. Pada tahun 1838 terbitlah bukunya yang berjudul ” Positive Philosophy ” olehnya itu, tokoh ini lazim dikenal sebagai bapak sosiologi.
Beberapa sumbangan penting Comte terhadap sosiologi antara lain :
- Ia mengatakan bahwa ilmu sosiologi harus didasarkan pada pengamatan, perbandingan, eksprimen, dan metode historis secara sistematis. Objek yang dikaji berupa fakta dan objektif serta bermanfaat kepada kepastian dan kecermatan.
- Ia menyumbangkan pemikiran yang mendorong perkembangan sosiologi yang dikenal dengan hukum kemajuan manusia atau hukum tiga jenjang (jenjang teologi, jenjang metafisika dan jenjang positif).
Comte memperkenalkan metode positif sehingga ia dianggap sebagai perintis positivisme. Karena dalam pandangannya sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam.
Pada periode berikutnya muncullah ilmu-ilmuan yang memfokuskan pengertian yang membahas masalah-masalah sosial atau kemasyarakatan seperti Herbart Spencert, berasal dari Inggris. Pada tahun 1876 mengembangkan suatu teori yang diberi nama evolusi sosial. Pada tahun 1883 seorang yang berasal dari Amerika yang bernama Lester Word menerbitkan sebuah buku yang berjudul ”Djnamic Sociology”. Dalam buku itu menganjurkan suatu kemajuan sosial melalui aksi sosial. Pada tahun 1895 Emile Durkheim ( salah seorang pelopor terkemuka dalam pengembangan sosiologi ) menerbitkan buku yang berjudul ”Rules of Sociologycal Metod” dan masih banyak tokoh-tokoh yang lain yang mengemukakan teori-teori sosiologi.
Pada tahun 1890-an mata pelajaran sosiologi mulai diajarkan di berbagai universitas di Amerika. Pada awal abad ke-20 sosiologi mempunyai peranan penting dalam pemikiran pendidikan sehingga lahirlah sosiologi pendidikan sebagaimana akhir abad ke-19 psikologi mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan, sehingga lahirlah suatu disiplin ilmu baru yaitu psikologi pendidikan.
E.H. Wilds dalam Abu Ahmadi mengatakan sosiologi pendidikan dan psikologi pendidikan mempunyai peranan komplementer bagi pemkiran pendidkan. Sosiologi pendidikan memandang segala pendidikan dari sudut struktur sosial masyarakat. Sedang psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari sudut perkembangan pribadi. Selanjutnya dikatakan tugas pendidikan menurut sosiologi adalah memelihara kehidupan dan mendorong kemajuan masyarakat. Pada umumnya kaum pendidik dewasa ini memandang tujuan akhir pendidikan lebih bersifat sosialistis dari pada individualistis.
Sosiologi pendidikan dalam perjalannya mengalami pasang surut, karena ada yang menganggap bahwa sosiologi pendidikan itu adalah sub pembahasan dalam sosiologi. Sebelum berakhir perang dunia ke-2 sosiologi pendidikan menghilang karena tidak dianggap urgen lagi untuk dipelajari di lembaga pendidikan tenaga kependidikan Amerika Serikat.
Setelah selesai perang dunia ke-2 perkembangan masyarakat berubah secara drastis. Masyarakat dunia menghendaki adanya perubahan dalam menyahuti berbagai perkembangan dan kebutuhan baru terhadap penyesuaian perilaku lembaga pendidikan dalam menyikapi perlunya dimensi pendidikan menjadi instrumen terpenting dalam memajukan masyarakat. Karena itu, sosiologi pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu dimunculkan kembali sebagai dari bagian ilmu penting di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Pernyataan tersebut dipahami bahwa sosiologi pendidikan adalah sesuatu disiplin ilmu yang sangat urgen dalam membantu memcahkan berbagai masalah sosial dalam masyarakat. Masalah-masalah sosial ini dialami oleh dunia pendidikan dewasa ini. Di Indonesia misalnya berbagai permasalahan sosial yang dihadapi pemerintah cukup kompleks di antaranya permasalah pendidikan ditengah-tengah masyarakat yaitu pengembangan SDM dan segala sarana dan prasarana yang mendukungnya.
|Pengertian Sosiologi Pendidikan|
Sosiologi pendidikan terdiri atas dua kata yaitu sosiologi dan pendidikan. Kedua istilah ini dari segi etimologi tentu berbeda maksudnya namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia sehingga kedua istilah ini menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terutama dalam sistem pemberdayaan manusia sampai saat ini, pendidikan dimanfaatkan sebagai instrumen pemberdayaan manusia. Sosiologi di lihat dari segi pengertian terminologi para ahli pendidikan dan ahli sosiologi telah berusaha untuk memberikan definisi sosiologi pendidikan, walaupun definisi tentang sosiologi pendidikan itu belum mencakup secara keseluruhan makna sosiologi pendidikan. Para ahli telah mengemukakan pengertian antara lain:
- Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memperoleh perkembangan indvidu yang lebih baik.
- F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalamannya.
- Charles A. Ellwood, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial18
- W. Dodson mengatakan sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempersoalkan pertemuan dan percampuran daripada lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas maka terbentuklah tingkah laku dan sekolah dianggap sebagian daripada total cultural milieu.
Berdasarkan pengertian sosiologi pendidikan yang dikemuka-kan oleh para ahli tersebut kelihatannya terjadi perbedaan namun pada hakikatnya memiliki pandangan yang sama bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan pendidikan melalui proses interaksi antara individu dan kelompok antara kelompok dan kelompok dalam masyarakat, kemudian terbentuklah perubahan dalam masyarakat. Di dalam proses interaksi yang melibatkan guru, peserta didik dan remaja terjadilah proses sosialisasi. Sosialisasi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar pihak yang dididik mematuhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Soerjono Soekanto mengatakan di dalam proses sosialisasi khususnya yang tertuju pada anak dan remaja, terdapat berbagai pihak yang mengaku berperan. Pihak-pihak tersebut dapat disebut sebagai lingkungan-lingkungan sosial tertentu dan pribadi-pribadi tertentu.
Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan, di dalamnya terjadi proses interaksi sosial antara guru, peserta didik dan staf administrasi yang saling mempengaruhi sehingga terbentuklah perilaku-perilaku sosial, yang berbeda antara rumah tangga dan masyarakat. Hasan Langgulung mengatakan sekolah merupakan Institusi formal untuk belajar, mengharuskan sejumlah persyaratan kepada pendidikan. Akibatnya, belajar di sekolah sangat berlainan dengan yang berlaku di dalam keluarga, dalam teman-teman sebaya atau dalam komunitas. Jadi, pendidikan dalam pengertiannya yang sangat luas dapat dianggap sebagai suatu proses sosialisasi yang dilalui seseorang untuk mempelajari cara hidupnya. Ia adalah suatu proses yang berkesinambungan semenjak lahir sampai mati.
Dimensi sosial pendidikan menitikberatkan pada pembicaraan antara lain:
- Fungsi–fungsi sosial yang dimainkan oleh pendidikan yang berlaku di sekolah. Misalnya pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi muda. Ini berlaku pada masyarakat.
- Asas sosial yang mempengaruhi pendidikan adalah ciri-ciri budaya yang dominan pada kawasan-kawasan tertentu di mana sekolah itu berada. Biasanya mempengaruhi antara lain klas sosial, etnis, ras, dan status sosioekonomi. Misalnya pesantren di Indonesia dan kuttab di negeri Arab.
- Aspek sosial yang memainkan peranan pendidikan adalah faktor organisasi dari segi birokrasi. Disamping itu juga guru, staf administrasi, bimbingan orang tua, dan teman-teman sebaya besar pengaruhnya dalam pelaksanaan pendidikan.
Dimensi sosial pendidikan tersebut dapat dipahami, bahwa sitem apapun yang digunakan selalu dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan dan kekuatan sosial, budaya, spiritual, ekonomi, dan politik.
Sehubungan hal tersebut Abu Ahmadi mengatakan bahwa sosiologi pendidikan tidak hanya berbicara tentang lembaga-lembaga pendidikan formal, tetapi juga lembaga-lembga lainnya misalnya keluarga, kelompok permainan, lembaga agama (masjid, gereja, wihara dan sebagainya) dan media lainnya bahkan sampai kepada cerita-cerita rakyat.
Pernyataan tersebut memberikan ketegasan bahwa sosiologi pendidikan bahasan-bahasannya selalu mengikuti perkembangan atau perubahan yang terjadi ditengah masyarakat.
Ibnu Khaldun salah seorang bapak sosiologi (1332- 1406) dalam Robert H. Lauer mengatakan hukum perubahan itu berlaku pada tingkat kehidupan masyarakat (bukan pada tingkat idividual). Karena itu, meskipun kehidupan idividual bukan merupakan poin dari kekuatan historis sangat besar itu, individu itupun tak mampu menjauhkan diri dari hambatan-hambatan yang ditimpakan atas perlakuannya oleh hukum-hukum masyarakat.
Apa yang dikatakan Khaldun tersebut dapat dipahami kekuatan sosial sangat besar, mampu mengubah segala keadaan. Misalnya saja di Indonesia penguasa orde baru yang didukung oleh militer dan organisasi politik tertentu, dapat dilenserkan oleh kekuatan sosial dalam masyarakat. Khaldun membangun teorinya dengan mengatakan manusia adalah makhluk sosial. Selanjutnya ia mengatakan sifat sosial manusia berasal dari kenyataan bahwa untuk menolong dirinya sendiri dalam aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, manusia harus menyandarkan diri kepada orang lain. Misalnya membangun sekolah, mesjid dan sebagainya. Ini berarti bahwa tiada orang yang secara mutlak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa melalui usaha kerjasama dengan manusia lain.
Barlow dalam Muhibbin Syah mengatakan bahwa sebahagian besar yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan dan penyajian. Misalnya perilaku (modeling). Dalam hal ini peserta didik belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespon sebuah stimulus itu. Peserta didik ini juga dapat mempelajari respon-respon baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku. Contoh dari orang lain misalnya guru atau orang tuanya.
Kualitas kemampuan peserta didik dalam melakukan perilaku sosial sebagai hasil pengamatan terhadap model atau perilaku tergantung kepada siapa yang menjadi model. Maksudnya semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas peniruan perilaku sosial dan moral peserta didik itu. Jadi, jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa ketergantungan orang lain.
Para ahli yang mengikuti aliran sosiologi menganggap bahwa perkembangan adalah proses sosiologi. Misalnya anak manusia mula-mula bersifat pra-sosial kemudian dalam perkembangannya sedikit demi sedikit disosialisasikan.
Badwin dalam Sumadi mengatakan, setidak-tidaknya ada dua macam peniruan pada anak yaitu: nondeliberate imitation (anak meniru gerakan-gerakan sikap orang dewasa) dan deliberate imitation (anak-anak bermain peran sosial misalnya menjadi ibu, penjual koran, penjual baju dan lain-lain)28 Selanjutnya ia mengatakan proses peniruan itu terjadi pada tiga taraf:
- Taraf proyektif. Pada taraf ini anak mendapatkan kesan mengenai model yang ditiru.
- Taraf subyektif. Pada taraf ini anak cenderung untuk mengikuti gerakan atau sikap model yang ada di sekitarnya.
- Taraf ejektif. Pada taraf ini anak menguasai hal yang ditirunya, dimengerti bagaimana ia bergaul dengan temannya atau masyarakat sekitarnya dan sebagainya.
Tujuan imitasi anak tersebut tiada lain adalah penyesuaian tingkah laku dan perbuatan anak dengan norma-norma sosial. Ini juga berarti terjadi proses sosialisasi terhadap anak.
|Tujuan Sosiologi Pendidikan.|
Berbicara tentang tujuan pendidikan, tentu tidak dapat terlepas dari tujuan hidup yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah salah satu instrumen yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagi makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Manusia dalam upayanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakat dapat hidup terus.
J. Dewey dalam Uyoh Sadullah mengatakan kelangsungan hidup terjadi self renewal. Kelangsungan self renewal inipun terjadi karena pertumbuhan, karena pendidikan yang diberikan kepada anak-anak dan para pemuda di masyarakat. Masyarakat meneruskan, menyelamatkan sumber dan cita-cita masyarakat. Selanjutnya dikatakan tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik harus fleksibel dan mencerminkan aktivitas bebas.
Kingsley Price mengatakan tujuan pendidikan itu adalah suatu kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun masyarakat. Menurut faham ini masyarakat pada hakikatnya adalah terbaik. Namun yang dianggap baik adalah masyarakat yang demokratis, karena memberi kesempatan sama untuk setiap pekerjaan, tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan kesempatan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian dalam melaksanakan segala aktivitas dalam masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dipahami bahwa sosiologi pendidikan memegang peranan penting dalam mengamati perubahan sosial dilihat dari segi edukatif.
S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan memiliki beberapa konsep tujuan di antaranya sebagai berikut:
- Analisis proses sosialisasi
- Analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat
- Analisis interaksi sosial di sekolah dan antara sekolah dan masyarakat
- Alat kemajuan dan perkembangan sosial
- Dasar untuk menetukan tujuan pendidikan
- Sosiologi terapan dan
- Latihan bagi petugas pendidikan.
Kosep tujuan sosiologi pendidikan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan masyarakat dalam pendidikan merupakan proses sosialisasi yang dapat dijadikan media oleh individu untuk dapat berinteraksi dengan tepat di dalam masyarakat. Sosiologi pendidikan sebagai alat untuk menganalisis tujuan pendidikan secara objektif. Olehnya itu, sosiologi pendidikan akan menganalisis masyarakat dan kebutuhannya. Hasil analisisnya disampaikan kepada setiap orang sebagai anggota masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul di tengah masyarakat. Fenomena itu adakalanya bersifat negatif dan adakalnya bersifat positif. Mengapa terjadi demikian? Maka yang dapat menjawab adalah sosiolgi pendidikan. Sebab pendidikan tugasnya menganalisis dan memberi informasi tentang perubahan dalam masyarakat apakah itu positif atau negatif, apkah harus terjadi, kalau memang harus terjadi, maka tentu ada jalan keluarnya atau solusinya untuk mengatasi hal-hal yang bersifat negatif, dan hal yang bersifat positif dipertahankan. Sebagai contoh di Indonesia fenomena sosial yang bersifat negatif terjadi di antaranya munculnya berbagi aksi atau demonstrasi yang tidak terarah dan meresahkan masyarkat seperti demo buruh, demo pemilukada, demo mahasiswa. Tentu hal tersebut terjadi karena adanya ketimpangan di dalam kelompok masyarakat dan masyarakat merasa dirugikan dan diabaikan.
Sehubungan hal tersebut, Abu Ahmadi mengatakan tujuan sosiologi pendidikan di Indonesia, yaitu:
- Berusaha memahami peranan sosiologi dari kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Sekolah harus dapat menjadi teladan di dalam masyarakat di sekitarnya, bahkan lebih luas atau perkataan lain mengadakan sosialisasi intlektual untuk memajukan kehidupan di dalam masyarkat.
- Untuk memahami seberapa jauh membina kegiatan sosial peserta didiknya untuk mengembangkan keperibadiannya.
- Untuk mengetahui pembinaan idiologi pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan pendidikan dan pengajaran.
- Untuk mengadakan integrasi kurikulum pendidikan masyarakat sekitarnya, agar pendidikan mempunyai kegunaan peraktis di dalam masyarakat
- Untuk menyelidiki faktor-faktor kekuatan masyarakat
- Untuk memberi kontribusi positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
Muhyi Batubara mengatakan tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya adalah untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Ary mengatakan sosiologi pendidkan bertujuan untuk menentukan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada falsafah hidup bangsa tersebut.36 Misalnya Indonesia falsafat hidupnya adalah pancasila maka tujuan pendidikannya harus sesuai dengan falsafah hidup negara itu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 thn 2003 pasal 1 ayat 1 dikatakan pendidikan adalah usha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya pasal 3 dikatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.37 Untuk mewujudkan pendidikan nasional disusunlah kurikulum yang memperhatikan tahap perkembangan masyarakat dan peserta didik serta kesesuain dengan lingkungan dan kebutuhan pembangunan nasional.
Lembaga pendidikan yang bertanggung jawab mengoperasional-kan kurikulum tersebut adalah lembaga pendidkan formal dengan menyesuaikan dengan jenjang pendidkan.
Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga non formal dan informal. Olehnya itu, sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik di dalam rumah tangga, sekolah maupun di masyarakat serta kemajuan sosial. Banyak pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberi kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat. Pernyataan ini benar, karena semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat semakin sejahteralah masyarakat itu.
E.G. Payne mengatakan sosiologi pendidikan bertujuan utama memberikan kepada guru (siapapun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan yang efektif dalam bidang sosiologi, sehingga dapat memberikan kontribusinya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut Payne tersebut bahwa sosiologi pendidikan tidak hanya menyoroti dengan proses belajar dan sosialisasi, tetapi juga segala sesuatu dalam pendidikan dapat dianalisis sosiologis, seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan metode mengajar yaitu di antaranya metode sosio drama, role playing.
Dengan memperhatikan analisis tujuan sosiologi pendidikan yang dikemukan para ahli tersebut maka dapat ditarik konkulusi, bahwa sosiologi pendidkan memberi manfaat yang besar terutama para pendidik yang menganalisis hubungan antara manusia di sekolah dan struktur masyarakat serta hal-hal yang berhubungan kelancaran proses pendidikan di sekolah, seperti pencapaian tujuan pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan. Di sampng itu, juga memberi manfaat untuk menganalisis hubungan manusiawi di dalam keluarga, perusahan, agama, politik, masyarkat, dan sistem hubungan sosialnya.
Sumber:
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan. Cet.I ; Jakarta : Rineka Cipta, 1991
Arifin, M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1975
Basrowi, Pengantar Sosiologi. Cet.I, Bogor ; Galia Indonesia, 2005
Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan. Cet.I; Jakarta; Ciputat Press, 2004
Cohen, Bruce J. Theory and Problems of introduction to Sociology alih bahasa Sahat Simamora. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Cet.I; Jakarta: Renikacipta, 2000
Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. Cet. II; Jakarta: Renika Cipta, 2001
Gambar: Sosiologi Pendidikan
0 comments:
Post a Comment